Pemerintah menyiapkan Peraturan Presiden tentang Penanggulangan Sampah di Laut. Payung hukum ini jadi pegangan kementerian atau lembaga, termasuk pemerintah daerah, untuk menjalankan tugas dan membuat terobosan guna mencegah pengotoran sampah di laut.
Peraturan presiden ini bisa memperkuat Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah. Sebab, Perpres No 97/2017 lebih banyak mengatur pengelolaan sampah di terestrial. Sampah terestrial menyumbangkan 80 persen sampah di lautan.
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddin, Rabu (11/4/2018), di Jakarta mengatakan, Perpres Penanggulangan Sampah di Laut sudah mendapat persetujuan untuk proses final. ”Paling seminggu-dua minggu ini selesai,” kata Safri seusai membuka seminar ”Darurat Sampah dan Solusinya” yang diadakan Asosiasi Profesi Teknologi Lingkungan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Deputi Sumberdaya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim Kementeiran Koordinator bidang Kemaritiman Safri Burhanuddin, Rabu (11/4/2018) di Jakarta, membuka Seminar Darurat Sampah dan Solusinya yang digelar oleh Asosiasi Profesi Teknologi Lingkungan Indonesia (APTLI).
Ia menegaskan, Indonesia serius menjalankan komitmen pengurangan sampah plastik di laut sampai 70 persen pada 2025. Safri tak ingin Indonesia dituding jadi penghasil sampah di laut terbesar kedua setelah China (studi Jenna R Jambeck, Universitas Georgia, 2015).
Karena itu, perpres tersebut juga berisi rencana aksi nasional penanggulangan sampah di laut 2018-2025. Rencana aksi itu meliputi gerakan nasional peningkatan kesadaran pengampu kepentingan, pengelolaan sampah terestrial, penanganan sampah pesisir dan laut, mekanisme pendanaan, pengawasan, penegakan hukum, serta penelitian dan pengembangan.
Mekanisme pendanaan, misalnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), diperlukan karena kabupaten atau kota tak berani mengucurkan anggaran bagi pengelolaan sampah di laut. Mereka berdalih tak lagi punya kewenangan di laut setelah pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah.
Terobosan daerah
Sri Indah Wibi Nastiti, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, mencontohkan, sejumlah daerah kreatif mengelola sampah. Makassar mewajibkan pegawai pemerintah aktif di bank sampah. Adapun Surabaya menerapkan barter sampah dengan tiket bus.
Pemerintah daerah juga meminta pemerintah pusat menerbitkan payung hukum biaya pengolahan sampah atau tipping fee untuk energi. Di sisi lain, pemerintah daerah mengeluhkan tipping fee terlalu tinggi sehingga memersulit pengelolaan sampah.
Di sisi lain, sejak nomenklatur dinas kebersihan dilebur dalam dinas lingkungan hidup, anggaran banyak tersedot untuk pengelolaan sampah. Hal ini mengorbankan program lingkungan hidup lain.
Sri Indah Wibi Nastiti pun meminta agar penilaian Adipura lebih tegas dalam pemberian penghargaan dan sanksi atau disinsentif bagi daerah. Itu membuat pemda lebih serius dan meningkatkan prioritas penanganan sampah.
Pemanfaatan sampah
Menurut Safri, pemanfaatan sampah keresek plastik sebagai campuran aspal terhambat pasokan. Setiap kilometer jalan selebar 7 meter dan tebal 4 sentimeter membutuhkan sampah keresek sebanyak 3 ton. ”Keresek dipakai karena selama ini dipandang tidak memiliki nilai (oleh pemulung atau bank sampah),” katanya.
Keresek dipakai karena selama ini dipandang tidak memiliki nilai
Namun, hal itu juga membuat pemerintah kesulitan mendapatkan pasokan kantong keresek. Karena itu, pemerintah meminta bank sampah dan pemulung mengumpulkan kantong keresek untuk dijual ke pemerintah.
”Model bisnis sudah terjamin ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kalau bisa terkumpul, Kementerian PUPR juga mau menyumbangkan alat cacah, misalnya bisa memasok 30 ton per bulan,” ujarnya.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 April 2018