Judul tulisan ini tidaklah berlebihan walau lingkupnya memang hanya Indonesia. Saat ini bisa dikatakan hanya Suherry Arno (56) pelaku fotografi dengan teknik pradigital di negeri ini yang sangat serius. Fotografi yang dimaksud adalah fotografi yang menghasilkan imaji dengan proses pembakaran oleh cahaya pada bahan kimia, baik dalam pembuatan negatif maupun dalam proses pencetakan gambarnya.
Memang banyak anak muda saat ini yang tergila-gila pada cabang fotografi yang disebut juga sebagai fotografi analog ini. Namun, para pehobi mula ini umumnya hanya melakoni fotografi analog sebatas memotret memakai film. Proses selanjutnya umumnya dilanjutkan dengan proses digital.
Proses pencetakan analog yang mereka lakukan pun umumnya hanya memakai satu metode, yaitu cetak perak halida. Jarang mencetak sendiri, juga jarang sampai mencetak dengan ukuran sangat besar karena keterbatasan alat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum kita kembali membicarakan Suherry Arno, baiklah kita bahas perbedaan signifikan antara fotografi digital yang mutakhir dan fotografi analog yang sering dikatakan sudah ketinggalan zaman ini. Bagus mana cetak analog dan digital?
Secara teknis pada pemotretan, cara digital kini jauh lebih maju. Kepekaan cara digital juga sudah jauh melebihi cara analog. Pada kepekaan setara ISO 1600, film yang ada saat ini sudah sulit menghasilkan imaji halus. Film ukuran besar sudah tak ada yang punya ISO terlalu tinggi, juga sudah jarang yang membuatnya.
Jadi, secara pemotretan umum, sistem analog sudah ketinggalan dibandingkan dengan sistem digital manakala tolok ukur yang dipakai adalah film ukuran kecil seperti ukuran 135 atau medium format selebar 6 sentimeter.
Pada film-film pelat ukuran besar, kehalusan gambar yang dihasilkan sistem analog masih sangat memukau, tetapi kamera yang dipakai sungguh-sungguh sangat besar sampai sebesar televisi tabung ukuran 40 inci.
Namun, dalam proses cetak, sistem analog mampu menghasilkan nuansa cetak yang rasanya sampai kapan pun tidak bisa disaingi cetak digital. Selain cetak digital cuma memakai tinta yang selalu pudar kala terkena sinar UV berkepanjangan, cetak digital tak bisa memberi penampilan kontras “semewah” hasil terbakarnya aneka senyawa perak pada kertas foto konvensional, terutama pada cetakan besar.
“Selain itu, cetak analog juga masih mengenal cetak karbon, cetak platinum, dan cetak polimer yang masing-masing ‘rasa’ penampilannya tidak akan bisa ditiru tinta cetak sistem digital,” papar Suherry dalam sebuah perbincangan di studio foto pribadinya tidak jauh dari Tugu Kujang di Kota Bogor awal September lalu.
Bagi Suherry, fotografi klasik bukan cuma proses menciptakan imaji. “Proses fotografi klasik sudah menarik saya sejak saya masih kecil. Saya menganggap seni fotografi tertinggi ada di fotografi klasik ini, terutama di proses menghasilkan negatif, lalu membalikkannya jadi citra positif. Proses, sekali lagi proses. Itu yang sangat indah,” katanya.
Sebesar mesin cuci
Suherry tidak main-main dengan ucapannya. Dia mempelajari fotografi klasik dengan sangat serius dari beberapa pakar di Indonesia dan Amerika Serikat dalam beberapa kali kunjungan. Konsekuensi dari belajar dengan ahli kelas berat dunia itu membuat Suherry juga harus membeli aneka peralatan kamar gelap sesuai tuntutan keahlian yang dicanangkan para gurunya.
Terkait alat cetak foto, misalnya, Suherry memiliki beberapa alat cetak foto analog, bahkan ada yang hanya satu-satunya di Indonesia karena ukuran, harga, dan kecanggihannya. Salah satu alat cetak yang dimilikinya mampu mencetak negatif berukuran 20 cm x 25 cm dengan merek Zona VI. Beberapa alat cetak dalam ukuran lebih kecil juga terpasang di studio Suherry yang merupakan pengusaha bahan makanan ini.
Adapun terkait kamera analog, Suherry memiliki belasan kamera format besar yang memakai film lembaran. Salah satu yang sangat dibanggakan Suherry adalah kamera merek Ebony yang memotret dengan film berukuran 45 cm x 60 cm. Lensa untuk kamera sebesar mesin cuci ini adalah buatan pabrikan Snyder dengan nama Suherry Arno tertera di badan lensa itu.
“Dengan film sebesar itu, saya hanya bisa melakukan contact print untuk mendapatkan cetakan fotonya. Hasil cetakan dengan negatif sebesar itu sangatlah halus kalau ditangani dengan benar,” papar Suherry.
Benarkah sudah sama sekali menghindari proses digital?
“Tentu tidak. Saya mencintai fotografi secara total. Saya juga memakai kamera digital merek Phase One untuk menghasilkan imaji mutu sangat tinggi,” kata Suherry.
Di tangan Suherry, hasil dari kamera digital itu ia pakai untuk menghasilkan film negatif bermutu tinggi yang disebut digital negative (DN). Proses ini dipelajari Suherry juga dengan berguru kepada para pakar di Amerika Serikat. Lalu dari DN itu, Suherry membuat cetakan analog dalam berbagai pilihan cetak.
Saat ini Suherry sedang sibuk mencetak sendiri beberapa foto karyanya untuk sebuah pameran foto tunggal yang akan dilakukannya di Jakarta. Pameran foto ini sungguh sebuah pameran seni fotografi tertinggi yang pernah dibuat di Indonesia dengan cetakan-cetakan analog yang rumit, langka, dan tentu saja sangat mahal.
“Pameran tunggal ini sungguh bukan untuk mencari untung, melainkan semata untuk menunjukkan semua sisi seni fotografi klasik yang sangat saya cintai,” kata Suherry yang mulai belajar mengenal kamera pada 1990.
SUHERRY ARNO
Lahir:
Bogor, 23 Januari 1961, Anak kelima dari enam bersaudara
Pendidikan:
S-1 Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya (lulus 1985)
Berguru fotografi, “printing”, atau ”digital negative” kepada beberapa pakar dari Amerika Serikat, antara lain Bruce Barnbaum, Howard Bond, John Sexton, Patrick Jablonski, Charles Cramer, Michael Smith, Paula Chamlee, Dan Burkholder, Nelson, Carbon Print, France Scully, Mark Osterman, Kerik Kouklis, dan Mark Nelson
Pekerjaan/kegiatan:
Direktur Pelaksana PT Kuala Pangan
Pelaku fotografi klasik
ARBAIN RAMBEY
——–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2017, di halaman 16 dengan judul “Pemain Tunggal Fotografi Klasik”.