Lahir di San Fransisco, California, Amerika Serikat, pada 1986 dan lama tinggal di luar negeri tak membuat Miryanneka Alwi atau Mita Alwi (31) lupa tanah leluhurnya. Cucu tokoh legendaris Banda, almarhum Des Alwi, ini sekarang meneruskan kiprah kakeknya menjaga Banda Naira.
Ketika masih berumur enam bulan, bayi Mita dibawa orangtuanya pulang ke Banda. Di tanah leluhurnya tersebut, ia dibesarkan dan mencecap pendidikan dasar, mulai dari taman kanak-kanak hingga SD kelas VI.
Dua hari sebelum kerusuhan Mei 1998 pecah, Mita diungsikan ke Bali yang situasinya lebih kondusif. Di sana ia menghabiskan masa sekolah menengah pertama sampai 2003.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitu lulus SMP, Mita pindah lagi ke lain kota. Sejak 2003 hingga 2005, ia pindah sekolah ke sebuah SMA swasta di Jakarta. Setelah lulus 2005, ia memilih kursus dan kuliah ke London, Inggris. ”Selama tinggal di London, setiap setahun sekali saya selalu menyempatkan diri pulang ke Banda,” ujarnya, beberapa waktu lalu, di halaman Hotel Maulana milik Des Alwi yang kini dikelolanya.
Meski lama tinggal di luar negeri, Mita tetap dekat dengan tanah leluhurnya. Sejak 2011, setiap kali pulang ke Banda, Mita selalu mengajak anak-anak SD di Banda untuk belajar mencintai lingkungan, belajar bahasa Inggris gratis, membuat kerajinan, hingga berlatih musik.
Kelompok belajar itu ia namai Warnawarni Kids. Ia mendirikan kelompok ini dengan dana terbatas sekitar Rp 3 juta yang terkumpul dari donasi teman-teman seniman Mita di Bali. Uang tersebut lalu digunakan Mita untuk merenovasi rumah tua milik kakek buyutnya, Said Baadila (ayah Des Alwi), membeli cat, kuas, akrilik, kertas, pensil, bolpoin, dan perlengkapan belajar lainnya.
Agar anak-anak terbiasa membaca, Mita juga mendirikan sebuah perpustakaan anak-anak yang berisi koleksi buku-buku pribadinya. Di perpustakaan anak itu kurang lebih ada 2.000-an judul buku dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Awalnya, kegiatan ini ditentang oleh beberapa orangtua anak-anak karena dicap sebagai aktivitas di luar jalur agama. ”Ada anak-anak yang akhirnya diancam orangtua mereka, kalau tetap ikut kegiatan, mereka tidak akan disekolahkan lagi. Kami pun akhirnya menyiasati dengan menjadwalkan kegiatan belajar setiap hari Minggu pukul 15.00 setelah habis mengaji dan setiap hari Sabtu pukul 16.00 selepas waktu mengaji pula,” ujarnya.
Ketika pertama kali digelar, jumlah anak yang datang baru sekitar 40-an anak. Namun, setelah diberi poster-poster indah, yang datang bergabung ke kelompok Warnawarni Kids pun akhirnya mencapai ratusan anak.
Tahun lalu, anak-anak juga diajari bermain musik. Namun, karena belakangan tidak ada lagi guru musik, pelatihan itu dihentikan.
Sejak November 2016, gedung tempat anak-anak Warnawarni Kids belajar yang merupakan rumah tua peninggalan Belanda mulai bocor atapnya dan retak-retak di beberapa bagian tiangnya. Karena membahayakan bagi anak-anak, kegiatan anak- anak dipindahkan ke sebuah ruangan di Hotel Maulana.
Rasa memiliki Banda
Prinsip yang ditanamkan Mita kepada anak-anak didiknya adalah bagaimana menumbuhkan kecintaan dan rasa memiliki mereka terhadap alam Banda. Karena itulah secara rutin anak-anak selalu diajak mengumpulkan sampah-sampah plastik di sekitar pulau dan perairan Banda.
”Sekarang anak-anak sudah terbiasa mengumpulkan sampah-sampah plastik. Sebaliknya, orang-orang tua justru tidak tertib,” ujar Mita.
Beberapa program kegiatan kebersihan lingkungan pun dilakukan, mulai dari Banda Clean Up Day, kerajinan tangan dari sampah plastik, belajar membuang sampah yang benar, dan sebagainya. Trik yang dilakukan adalah membuat anak-anak jatuh cinta dengan lingkungan mereka.
”To love is to know me,” kata Mita. Kuncinya adalah jangan sampai anak-anak tidak mempunyai rasa memiliki terhadap alam ini. Karena itu, anak-anak selalu diajak untuk mengenali ikan-ikan laut Banda, menggambar terumbu karang, menggambar gunung api dan sebagainya yang merupakan ikon-ikon alam sehari-hari mereka.
Ke depan, Mita berharap agar kegiatan-kegiatan merawat kebersihan lingkungan Banda yang telah dimulai anak-anak dilirik pula oleh pemerintah daerah setempat. Menurut dia, selama ini upaya pembangunan yang dilakukan pemda cenderung kurang ramah lingkungan. Semua jalanan di Banda rata-rata diaspal dan ditutup beton. Akibatnya, air hujan pun tidak mudah meresap ke tanah.
Rencana pemda setempat memperpanjang landasan bandara di Banda dengan cara melakukan reklamasi sepanjang 80 meter juga ditentangnya. Menurut Mita, yang dilakukan sekarang semestinya adalah pengoptimalan jadwal penerbangan ke dan dari Banda yang tidak pernah jelas.
”Yang dibutuhkan sekarang adalah sistem navigasi yang bagus saja, bukan perpanjangan landasan bandara. Pembangunan besar-besaran di Banda justru akan cepat mengubah pulau ini dan Banda nantinya akan semakin panas,” katanya.
Semakin panas
Dibanding beberapa tahun lalu, menurut Mita, sekarang suhu udara di Banda memang cenderung semakin panas. Peningkatan suhu udara ini terjadi seiring dengan makin sedikitnya tegakan-tegakan pohon.
Saya biarkan pohon-pohon besar tetap tumbuh di Hotel Maulana. Setiap pohon di hotel ini dulu ditanam opa (Des Alwi) sebagai penanda kelahiran cucu-cucunya, termasuk saya,” ungkap Mita.
Karena perhatiannya terhadap kelestarian alam Banda, sejak dipercaya keluarga mengelola hotel peninggalan kakeknya, Mita menghindari penggunaan kebutuhan hotel yang kurang ramah lingkungan, mulai dari tisu, sedotan, hingga minuman kemasan plastik. Semuanya digantikan dengan bahan-bahan yang bisa didaur ulang.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Miryanneka Alwi
LAHIR:
San Fransisco, California, AS, 1986
SUAMI:
Anwar Baadila
PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN:
TK di Banda (1990-1992)
SD di Banda (1992-1998)
SMP Dyatmika School di Bali (1999-2003)
SMA Persatuan Sekolah Kristen Djakarta (2003-2005)
A levels di Ealing Institue of Media (2005-2007)
Sejumlah kursus dan pengalaman kerja di Inggris (2007-2010)
Universitas Roehampton di Inggris (2010-2013)
Kerja di Inggris (2013-2016)
Mengelola Hotel Maulana di Banda Naira (2016-sekarang)
Pendiri Warnawarni Kids (2011-sekarang)
ALOYSIUS B KURNIAWAN
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2017, di halaman 16 dengan judul “Menjaga ”Beningnya” Alam Banda”.