Ilmuwan Barat menyebutnya gut microbiome. Dalam bahasa Indonesia, orang mengenalnya sebagai flora usus. Inilah populasi mikroba yang hidup dalam usus kita, yang jumlahnya mencapai puluhan triliun mikroorganisme-termasuk sedikitnya 1.000 spesies bakteri yang sudah diketahui dengan lebih dari 3 juta gen-yang membantu pencernaan.
Meski sudah dikenal sejak pertengahan 1880-an dengan ditemukannya bakteri yang lalu dinamai Escherichia coli sesuai nama penemunya, Theodor Escherich, dokter anak dari Austria, riset serius tentang flora usus baru berlangsung di era modern.
Pada abad ke-20, berbagai mikroorganisme berhasil diisolasi dari rongga hidung, tenggorokan, kulit, saluran pencernaan, dan saluran kemih sebagai bagian dari mikroorganisme manusia. Hal itu yang kemudian mendasari penelitian secara intensif flora usus pada abad ke-21.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian terbaru flora usus seperti yang dipublikasikan BBC Two berlangsung di Inggris dengan 30 responden sukarelawan. Adalah Dr Michael Mosley yang memimpin penelitian itu dalam Trust Me, I’m a Doctor, program televisi yang digemari di Inggris, bekerja sama dengan Rumah Sakit NHS Highland yang berlokasi di Inverness, Skotlandia.
Penelitian berawal dari banyaknya produk makanan dan probiotik yang ditawarkan di pasar. Produk probiotik berarti mengandung ragi dan bakteri hidup, biasanya disertai klaim akan membuat kinerja flora usus jadi lebih baik. Betulkah demikian?
Untuk membuktikannya, responden dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama mencoba minuman probiotik di pasaran, yang biasanya mengandung satu atau dua spesies bakteri dan diharapkan bisa berkembang biak di usus. Kelompok kedua mencoba minuman fermentasi tradisional yang disebut kefir yang mengandung sekelompok bakteri dan ragi.
Kelompok ketiga mengonsumsi makanan kaya serat prebiotik yang disebut inulin. Prebiotik adalah substansi yang dapat dimakan bakteri baik dalam usus kita. Sementara inulin banyak diperoleh pada artichokes, akar chicory, dan keluarga bawang: bawang merah, bawang bombai, serta bawang putih. Mereka mengonsumsi makanan sesuai dengan kelompoknya dan diamati selama empat minggu.
Ternyata pada kelompok yang mengonsumsi minuman probiotik ada bakteri yang berubah sedikit, yakni Lachnospiraceae sp.Namun, pada kelompok kedua dan ketiga ada perubahan signifikan. Pada kelompok yang mengonsumsi makanan kaya prebiotik dan inulin, jumlah bakteri baik bagi kesehatan usus bertambah. Temuan itu sejalan dengan hipotesis penelitian.
Temuan paling menarik adalah pada kelompok yang mengonsumsi kefir. Di pencernaan mereka berkembang bakteri Lactobacillalessp yang dikenal baik untuk kesehatan usus. Bakteri itu juga menolong para pelancong saat terkena diare dan menetralisasi mereka yang menderita intoleransi laktosa.
Makanan fermentasi secara alami memang lumayan asam. Dengan demikian, mikroba yang ada menyesuaikan diri sehingga bisa berkembang biak di dalam pencernaan dan akhirnya memperbaiki kinerja usus.
Dengan demikian, mereka yang ingin sehat pencernaannya sebaiknya memilih makanan dan minuman yang difermentasi secara tradisional karena masih kaya bakteri. Menurut Dr Paul Cotter dari Universitas Roehampton, makanan yang difermentasi secara modern biasanya juga dipasteurisasi. Akibatnya, banyak bakteri baik jadi mati.
Ingin sehat? Mungkin ini saatnya mengonsumsi makanan dan minuman yang difermentasi.–AGNES ARISTIARINI
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Bakteri Menyehatkan”.