Mahasiswi Indonesia di Harvard Ungkap Punahnya 61 Mikroba Pencernaan

- Editor

Senin, 14 Oktober 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dengan menganalisis dan membandingkan DNA dari sampel feses modern dan feses kuno, peneliti menemukan 61 mikroba yang pernah hidup di pencernaan manusia.

—–Marsha Christanvia Wibowo, mahasiswi doktoral asal Indonesia di Harvard Medical School, terlibat dalam penemuan puluhan mikroba pencernaan baru pada manusia kuno yang telah punah pada manusia modern. Temuan ini menunjukkan evolusi bakteri dan mikroba lain di pencernaan manusia karena perubahan pola makan, yang berperan dalam memicu diabetes dan berbagai penyakit lainnya. Foto: Dokumentasi Marsha C. Wibowo, 2021

Para ilmuwan, salah satunya mahasiswi Indonesia di Harvard Medical School, menemukan puluhan mikroba pencernaan baru pada manusia kuno yang telah punah pada manusia modern. Temuan ini menunjukkan evolusi bakteri dan mikroba lain di pencernaan manusia karena perubahan pola makan, yang berperan dalam memicu diabetes dan berbagai penyakit lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Temuan ini didapatkan para ilmuwan dengan menganalisis DNA mikroba yang ditemukan dalam paleofeses atau kotoran kering manusia berusia 1.000-2.000 tahun dari gua-gua yang sangat kering di Utah dan Meksiko bagian utara dengan tingkat sekuensing genom yang sangat tinggi.

“Kami menemukan 61 spesies mikroba baru (di feses kuno), yang tidak ditemukan pada manusia modern,” kata Marsha C. Wibowo, mahasiswi Indonesia yang tengah mengambil doktoral di Harvard Medical School, secara daring, Jumat (14/5). Marsha penulis pertama artikel yang terbit di jurnal Nature pada 12 Mei 2021.

Hilangnya bakteri-bakteri yang dulu menghuni pencernaan manusia ini, menurut Marsha, kemungkinan berkaitan dengan munculnya penyakit kronis yang kini banyak diderita, seperti diabetes. “Dengan penemuan ini, kita bisa lebih mempelajari sejarah evolusi mikrobiota usus manusia,” kata dia.

Mikrobioma pencernaan (gut microbiome) merupakan kumpulan triliunan mikroorganisme yang berkoloni dalam pencernaan manusia yang berperan penting bagi kesehatan. Selain membangun imunitas, mikroorganisme itu juga bisa membantu tubuh melawan berbagai penyakit. Berbagai kajian telah menunjukkan adanya perbedaan ragam mikrobioma ini pada komunitas dan usia berbeda.

Misalnya, kajian Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Endang Sutriswati Rahayu dan tim yang diterbitkan di World Journal of Gastroenterology (2019) menemukan, populasi mikrobioma anak-anak di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua. Kelompok bakteri paling dominan yaitu clostridium, prevotella, atopobium, bifidobacterium, dan bacteroides. Tingkat Clostridium perfringens pada populasi di Yogyakarta lebih rendah dibandingkan dengan di Bali.

—-Penelitian Yuan-Kun Lee dari National University of Singapore dan tim menemukan adanya perbedaan mikrobiota jenis Prevotella dan Bifidobacterium pada anak-anak di Yogyakarta dan Bali dengan Tokyo, Bangkok, Beijing dan lima kota lain di Asia. Penelitian yang telah dipublikasikan di jurnal Nature pada 2015 ini menyebutkan, anak-anak di Bali, Yogyakarta, dan Khong Kaen di Thailand sama-sama memiliki Prevotella yang tinggi, sedangkan di kota-kota lain cenderung rendah. Sumber: Nature.com

Marsha berharap, suatu saat bisa bekerja sama dengan para peneliti di Indonesia untuk mengkaji lebih mendalam mengenai perubahan mikrobioma pencernaan di Indonesia, dan kaitannya dengan berbagai tren penyakit, khususnya diabetes.

Perbedaan
Joslin Aleksandar Kostic, penulis senior dalam paper ini yang juga Asisten Profesor Mikrobiologi di Harvard Medical School, dalam keterangan tertulis menyebutkan, penelitian ini adalah yang pertama mengungkapkan spesies mikroba baru dalam spesimen kuno.

Dalam penelitian sebelumnya di Finlandia dan Rusia, Kostic dan timnya menemukan, anak-anak di kawasan industri lebih mungkin mengembangkan diabetes tipe 1 dibandingkan di kawasan non-industri. Ditemukan juga mikrobioma usus mereka sangat berbeda.

“Kami mengidentifikasi mikroba dan produk mikroba tertentu yang kami yakini menghambat terbentuknya kekebalan di awal kehidupan,” kata Kostic. “Dan ini kemudian mengarah pada insiden yang lebih tinggi tidak hanya diabetes tipe 1, tapi penyakit autoimun dan alergi lainnya.”

Kostic bersama Marsha Wibowo kemudian membandingkan DNA dari delapan sampel usus purba yang sangat terawat baik dari gua-gua kering itu, dengan DNA dari 789 sampel manusia modern. Lebih dari setengah sampel modern berasal dari orang-orang yang menjalani pola makan industri “barat” dan sisanya dari orang-orang yang mengonsumsi makanan non-industri dan sebagian besar tumbuh di dalam komunitas mereka sendiri.

Perbedaan antara populasi mikrobioma sangat mencolok. Misalnya, bakteri yang dikenal sebagai Treponema succinifaciens tidak ditemukan dalam satu mikrobioma barat yang dianalisis, tetapi ada di setiap satu dari delapan mikrobioma kuno. Sementara itu, mikrobioma kuno lebih cocok dengan mikrobioma non-industri modern.

Penelitian ini menemukan, hampir 40 persen spesies mikroba kuno yang dulu hidup pada pencernaan manusia belum pernah terlihat sebelumnya pada manusia modern. Hal ini menunjukkan adanya kepunahan sebagian mikroba kuno yang dulu menghuni pencernaan manusia.

Menurut kajian Marsha dan tim ini, mikrobioma pencernaan manusia kuno memiliki keragaman yang relatif lebih tinggi, daripada manusia industri modern.

Keberagaman makanan
Kostic mengatakan, keberagaman makanan manusia kuno sangat memeengaruhi keragaman mikroba. “Dalam budaya kuno, makanan yang Anda makan sangat beragam dan dapat mendukung koleksi mikroba yang lebih beragam,” sebut Kostic.

Akan tetapi, ketika manusia menuju industrialisasi dan lebih banyak makan dengan membeli dari toko bahan makanan, mereka akan kehilangan banyak nutrisi yang membantu mendukung mikrobioma yang lebih beragam.

“Kami pikir ini bisa menjadi strategi bagi mikroba untuk beradaptasi di lingkungan yang bergeser lebih banyak daripada mikrobioma industri modern, di mana kita makan hal yang sama dan menjalani kehidupan yang sama kurang lebih sepanjang tahun,” kata Kostic.

Sedangkan di lingkungan yang lebih tradisional, banyak hal berubah dan mikroba perlu beradaptasi. “Mereka mungkin menggunakan koleksi transposase yang jauh lebih besar untuk mengambil dan mengumpulkan gen yang akan membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda,” imbuhnya.

Penemuan lain yang penting dari kajian ini adalah populasi mikroba kuno di pencernaan ini memiliki lebih sedikit gen yang terkait dengan resistensi antibiotik. Sampel kuno juga menampilkan jumlah gen yang lebih rendah yang menghasilkan protein yang menurunkan lapisan lendir usus, yang kemudian dapat menghasilkan peradangan yang terkait dengan berbagai penyakit.

Selain itu, penelitian ini dapat menjelaskan kontroversi ilmiah tentang apakah populasi mikroba usus diwariskan secara vertikal dari generasi ke generasi manusia, atau berevolusi terutama dari lingkungan sekitarnya. Melihat garis keturunan dari bakteri umum Methanobrevibacter smithii dalam sampel kuno, mereka menemukan evolusinya konsisten dengan strain nenek moyang bersama yang telah bertanggal kira-kira ketika manusia pertama kali bermigrasi melintasi Selat Bering ke Amerika Utara.

“Mikroba ini, seperti genom kita sendiri, telah bepergian bersama kita,” kata Kostic.

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 15 Mei 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB