Hawking 75 Tahun

- Editor

Selasa, 10 Januari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Empat hari lagi, tepatnya 8 Januari 2017, Stephen Hawking genap berusia 75 tahun. Dialah fisikawan terkemuka dalam ilmu pengetahuan modern setelah Albert Einstein. Meski menghabiskan sebagian besar hidupnya di kursi roda karena penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS), Hawking dihormati karena teori-teorinya tentang semesta yang menggemparkan.

Hawking juga melambangkan semangat hidup yang luar biasa. Tahun 1963, ketika dokter mendiagnosis serangan motor neuron disease—sekarang dikenal sebagai ALS—yang melemahkan fungsi otot, saraf, dan bahkan suaranya, hidupnya diperkirakan tinggal dua tahun lagi. Ia membalikkan ramalan medis itu dan bertahan hidup hingga lebih dari 50 tahun.

Maka, ulang-tahunnya yang ke-75 disambut dengan sukacita. Centre for Theoretical Cosmology (CTC) yang bebasis di Cambridge, Inggris, salah satunya, menyiapkan konferensi internasional bertajuk ”Gravity and Black Holes”. Konferensi itu membahas temuan-temuan terbaru di bidang gravitasi fisik dan kosmologi, juga masa depan semesta dengan keberhasilan mendeteksi langsung gelombang gravitasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Meskipun baru berlangsung 2-5 Juli 2017, masyarakat ilmiah antusias menyambut. Apalagi, para pembicara ahli di bidangnya. Selain Hawking, ada Bruce Allen dari Max Planck Institute, Raphael Bousso dari Universitas Berkeley, hingga Andy Strominger dari Universitas Harvard, yang sudah bersedia datang.

Perjalanan panjang
Sebagai siswa, Hawking sebenarnya termasuk pemalas. Ia tidak pernah terlihat cemerlang di sekolah ataupun saat kuliah. Kepada The Guardian ia mengaku, ia tidak bisa membaca dengan baik sampai usia delapan tahun, tulisan tangannya berantakan, dan tugas-tugas dari gurunya sembarangan ia kerjakan.

Kejeniusannya baru muncul saat di kursi roda, ketika tidak bisa lagi melakukan banyak hal kecuali fokus pada ilmu pengetahuan. Tahun 1979, ia diangkat sebagai Lucasian Professor, suatu posisi akademik di Universitas Cambridge, Inggris, yang amat prestisius. Dari sejak ditetapkan pada tahun 1663 hingga saat ini, Lucasian Professor hanya ditempati oleh 19 orang, termasuk di antaranya Isaac Newton, George Stokes, dan Paul Dirac.

Area yang paling dicintainya tentu saja adalah pengetahuan tentang semesta. Menggunakan teori relativitas Einstein, ia menyatakan bahwa Big Bang terjadi 14 miliar tahun lalu, dipicu oleh keganjilan suatu titik yang teramat kecil.

Hawking juga membuktikan bahwa lubang hitam yang daya gravitasinya mampu menyedot apa pun masuk ke dalamnya, ternyata tidak abadi. Dalam teori yang dikenal sebagai ”Radiasi Hawking” ia mengatakan, lubang hitam mengeluarkan radiasi yang membuatnya perlahan menguap.

Kontroversial
Namun demikian, bukan Hawking bila tidak memicu kontroversi. Orang mengagumi perjuangan Hawking melawan kelumpuhan yang menggerogoti seluruh tubuhnya, sekaligus membenci dirinya karena bercerai setelah 26 tahun perkawinan, menikahi perawatnya, lalu bercerai lagi. Orang menghormati teorinya tentang lubang hitam, tetapi skeptis dengan bukunya The Grand Design, yang menyebut pembentukan semesta berlangsung spontan, semata karena ada peluang.

Walau begitu, Hawking adalah anggota Pontifical Academy of Sciences dari Vatikan, dan bertemu Paus Fransiskus pada November 2016. Seperti diberitakan Mail Online (28/11/2016), Paus Fransiskus menyambut hangat kehadirannya, menepuk pundaknya, dan menyatakan penghargaan atas kerja brilian Hawking memahami semesta.

Hawking, di sisi lain mengkritisi Brexit dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS (Independent, 2/12/2016). ”Brexit dan Trump adalah sinyal kemarahan orang-orang yang merasa diabaikan para pemimpinnya. Perlukah membalasnya? Menurut saya, itu malah akan menjadi kesalahan buruk.”—AGNES ARISTIARINI
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul “Hawking 75 Tahun”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB