Di tengah kerasnya kehidupan sebagai pemulung, Robi Pantalemba (45) tetap berusaha untuk berbagi kepada sesama. Ia mengumpulkan ribuan buku bekas di gubuk reotnya dan membolehkan siapa pun untuk “memulung” pengetahuan di sana, termasuk para mahasiswa.
Di bukit kecil tak jauh dari pusat ekonomi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Robi Pantalemba mendirikan sebuah gubuk reot di tanah yang miring. Gubuk yang terletak 15 meter di bawah rumah sederhananya itu berantakan. Di sisi kiri gubuk, ada tumpukan kardus. Berhadapan dengan pintu masuk gubuk, berserakan kabel dan barang elektronik kumal.
Di gubuk itu, Robi setiap hari memilah barang bekas yang bisa dijual lagi dan buku yang bisa ia koleksi. Buku-buku tersebut kemudian ia simpan di sebuah ruangan sederhana yang menggantung di antara gubuk dan rumahnya. Di sana, bau apek barang bekas berganti dengan aroma ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berbagai jenis buku menyesaki ruangan berukuran 2,5 meter x 3 meter itu. Sebagian buku disandarkan begitu saja di dinding, sebagian ditumpuk, atau digantung pada beberapa tali sepanjang 3 meter di sisi dinding kiri dan kanan. Sebagian lagi diletakkan di dalam kardus.
Buku yang ia koleksi berjumlah 2.500-an. Ada buku pengetahuan agama Islam, pertanian, politik, buku bacaan anak-anak, dan novel yang laku di pasaran, seperti Perahu Kertas (2009) karya Dewi “Dee” Lestari, Edensor (buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi (2007) karya Andrea Hirata, dan Gadis Kretek (2012) karangan Ratih Kumala. Di antara tumpukan buku, ada pula karya novelis ternama Brasil, Paulo Coelho, Sebelas Menit (2011).
Buku-buku bekas itu masih utuh meski dipenuhi bercak kuning dan hitam. Robi memperbolehkan siapa saja untuk menikmati buku koleksinya di sana, sambil duduk di sofa butut atau di atas karpet lusuh yang bolong di sana sini.
Memulung pengetahuan
Robi dan istrinya, Adrien V Rimbing, menjadi pemulung dan pengepul barang sejak 2006. Sejak saat itu, mereka melalui hari-hari di tengah bau busuk sampah di tempat pembuangan akhir atau tempat pembuangan sampah sementara. Di tempat itu, mereka berdua memulung aneka barang bekas yang masih punya nilai, katakanlah seperti kardus, kertas, barang elektronik, atau kabel.
Saat memulung, mereka juga kerap menemukan buku-buku bekas. “Tiap hari kami paling sedikit mendapatkan 4-5 buku. Sayang, kalau buku-buku ini tidak disimpan untuk dibaca,” ujar Robi di rumah sederhananya di Jalan Bali, Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Timur, Jumat (17/6) lalu. Hingga sore hari itu, ia mengaku mendapatkan lima buku bekas.
Kebiasaan mengumpulkan buku bekas itu Robi lakukan sejak 2007 atau setahun setelah terjun sebagai pemulung sekaligus pengepul barang bekas. Saat itu, Robi dan keluarga masih tinggal di rumah kontrakan di kawasan Palu Selatan.
Selain dari tempat sampah, ia juga memperoleh buku dari pemulung lainnya. Robi membeli buku-buku bekas seharga Rp 1.000 per kilogram.
Buku-buku yang Robi dan istri kumpulkan itu lama-kelamaan menumpuk. Saking banyaknya, pada 2013, tumpukan buku milik Robi dan istri tidak bisa ditampung lagi di rumah kontrakan. Karena kondisi itu, sebagian buku koleksi mereka dijual ke pengepul lain di Kota Palu. Namun, setelah itu Robi menyesal.
“Itu sangat kami sayangkan juga. Tetapi, situasi membuat kami harus membuat pilihan,” ucap Robi yang intens membaca, kemudian aktif di Lembaga Adat Kelurahan Lolu Utara.
ROBI PANTALEMBA—
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Lahir:
Palu, 29 Januari 1971
Pendidikan:
Sekolah Menengah Pertama
Pekerjaan:
Pengepul Barang Bekas
Penghargaan:
Piagam Penghargaan Pemberdayaan Pemulung dari PT Telkom Indonesia (2012)
Istri:
Adrien V Rimbing
Anak:
Ria Regina (20)
Verni Veriza (18)
Adistia (15)
Jibril (13)
Linga Akbar (10)
Tahun 2013, Robi dan keluarga pindah rumah ke Jalan Bali, Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Timur. Di kediamannya yang baru, semangatnya untuk mengoleksi buku kembali menggelora. Seperti sebelumnya, dia tekun memilah buku dari tumpukan barang bekas lainnya.
Saat mereka menyortir barang bekas, mereka kerap dikerubungi sejumlah siswa sekolah dasar yang tertarik dengan buku-buku. Dari situlah, muncul ide di kepala Robi untuk membuat taman bacaan mini di salah satu sudut rumahnya.
Setelah ide itu ia wujudkan, anak-anak SD di lingkungannya rutin datang untuk membaca buku-buku tersebut. Tidak sedikit pula mahasiswa yang menyambangi taman bacaan mini itu untuk mencari sejumlah buku yang tidak mereka temukan di perpustakaan kampus.
“Pernah ada mahasiswa yang ingin sekali meminjam buku yang katanya langka. Tetapi, saya bilang, baca di sini saja supaya buku yang sama bisa juga dinikmati orang lain,” tutur Robi.
Di taman bacaan tersebut, pengunjung tidak diperkenankan meminjam buku untuk dibawa ke rumah. Buku hanya dibaca di tempat itu atau difoto kopi kalau memang diperlukan. Aturan itu ditetapkan agar buku koleksi tidak hilang. Jika ada buku yang hilang, berarti lenyap pula kesempatan orang lain menimba ilmu pengetahuan dari sumber yang sama.
Tamatan SMP
Hidup Robi termasuk keras. Ia pernah hidup sebatang kara sebelum membentuk keluarga bersama istrinya. Ia tidak sempat mendapat pendidikan tinggi. “Saya hanya menamatkan pendidikan SMP. Itu standar pendidikan yang tidak memungkinkan seseorang bersaing lagi untuk saat ini,” ujarnya.
Namun, Robi tidak mau menyerah. Ia berusaha “memulung” pengetahuan apa saja dari buku-buku yang ia temukan di tempat sampah. Ia percaya, membaca memberinya daya untuk membuat perubahan.
Ketika memperoleh banyak buku, ia tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga orang lain. Ia ingin ribuan buku bekas koleksinya juga bisa diakses orang lain. Karena itu, di tengah kesumpekan hidupnya sebagai pemulung, ia membuka taman bacaan mini yang bersahaja.
Ia tidak keberatan menyisihkan uangnya yang cuma sedikit, untuk membuat taman bacaan dan membeli buku bekas dari pemulung lain. Ia tidak pernah menghitung untung-rugi. Ia sudah cukup puas melihat anak-anak bersemangat membaca buku-buku bekas yang ia kumpulkan.
“Saya ingin anak-anak punya bekal pengetahuan agar tidak bernasib seperti saya, menjadi pemulung,” ujar Robi yang memperoleh Piagam Penghargaan Pemberdayaan Pemulung dari PT Telkom Indonesia pada Desember 2012.
Pria berusia 45 tahun itu berencana akan memperluas taman bacaan miliknya. Dengan begitu, semakin banyak orang yang bisa “memulung” ilmu pengetahuan di sana.
VIDELIS JEMALI
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2016, di halaman 16 dengan judul “Pemulung yang Membagi Ilmu”.