Terapi Divine Kretek untuk Kanker

- Editor

Rabu, 21 September 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dokter Singapura pun Sempat Menyerah

Kanker adalah penyakit yang mematikan. Biaya mahal dan pengobatan yang menyakitkan, seringkali membuat orang kehilangan harapan. Dokter Greta Zahar dkk mencoba mengembangkan metode pengobatan alternatif yang unik.

KELUARGA Agustinus Imam Istiyanto (61) kini agak berlega hati. Mereka gembira melihat perkembangan kesehatan Imam yang menunjukkan tanda-tanda membaik.

Dosen Teknik Industri ITB itu mengikuti terapi balur dan divine kretek di Rumah Balur yang dikelola Dr Greta Zahar (72) di Jl Otista, Jakarta Timur, mulai 11 Agustus lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada Oktober 2010, Imam Istiyanto diketahui menderita kanker  jenis Merkel Cell Carcinoma yang dikenal ganas. Upaya pengobatan kemoterapi dilakukannya hingga ke Singapura. Namun dokter di negeri jiran itu menyerah. Keluarga Imam tak mau berhenti mencoba. Pengobatan pun dilanjutkan ke China. Ternyata di Negeri Tirai Bambu itu, juga tidak muncul harapan.

”Pulang dari China akhir Juli lalu, kondisinya menyedihkan. Kakak saya nggak bisa menelan makanan karena mulutnya penuh sariawan. Dia harus diinfus. Levernya bengkak karena bekerja keras menetralisasi kemoterapi. Tubuhnya sangat lemah. Dia sudah benar-benar pasrah,” kata Christiana Retnaningsih, adiknya, yang dosen Unika Soegijapranata itu.

Pada 22 Juli 2011, Retnaningsih mengikuti bincang-bincang Redaksi Suara Merdeka  dengan Prof Dr Sutiman B Sumitro, ahli biologi molekuler  dari Universitas Brawijaya Malang tentang terapi asap kretek (dinamai divine kretek) dan balur untuk penyembuhan kanker.

Terapi ini ditemukan dan dikembangkan oleh Dr Greta Zahar, ahli fisika nuklir lulusan Jerman. Dalam forum itu, Prof Sutiman memberikan latar belakang sainsnya dari terapi balur dan asap divine kretek tersebut.

Banyak orang yang telah terselamatkan dengan metoda tersebut. Termasuk istri Prof Sutiman, Tintrim Rahayu, yang terkena kanker payudara stadium tinggi dan dua kali operasi.

Orang penting lain yang tersembuhkan adalah dr Subagyo, ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Malang. Istri Subagyo, yaitu dokter Saraswati, kini satu tim dengan Prof Sutiman dan Dr Greta mengembangkan terapi balur dan divine kretek untuk mengatasi kanker dan berbagai penyakit lainnya.

Retnaningsih merasa beruntung bisa ikut forum di Suara Merdeka. Dari acara itu, dia pun mendapat undangan untuk ikut seminar hari berikutnya, di mana Prof Sutiman dan dr Saraswati tampil di forum yang diikuti banyak dokter dan ahli.

”Saya beruntung sekali karena di forum itu saya bisa berdekatan dengan Ibu Tintrim Rahayu sehingga bisa menggali cerita penderitaannya dan kesembuhannya,” kata Retnaningsih.

Cerita, pengetahuan baru, dan bahan-bahan seminar yang dia dapat itu dikirimkan ke kakaknya di Bandung. Dia merasa senang kakaknya akhirnya mengikuti terapi di rumah balur Dr Greta.

”Pada hari kelima terapi, kondisi kakak saya sudah agak membaik. Perutnya mengecil. Dia sudah bisa jalan agak lama dan menikmati makanan kesukaannya, soto. Sikapnya lebih optimistik dan rasa humornya sudah mulai muncul,’’ aku Retnaningsih.

”Kemarin dia cerita ikut bersih-bersih kamarnya untuk menghilangkan kejenuhan, tapi sambat masih gampang lelah,” kata Retnaningsih,
Dosen Unika yang saat ini mengikuti program doktoral di Fakultas Kedokteran Undip itu menilai, kemajuan yang didapat kakaknya tergolong luar biasa dibanding kondisi awal Agustus lalu. ”Namun jalan yang harus ditempuh masih panjang. Harus sabar dan tetap memelihara harapan,” katanya.

Terapi untuk penyembuhan kanker yang dilakukan di rumah balur itu mengombinasikan tiga cara, yakni balur, asupan asap divine kretek, dan asupan asam amino. Fungsinya untuk meluruhkan dan mengeluarkan radikal bebas, yang menjadi sumber penyakit, dari dalam tubuh penderita,

”Jika penyebabnya sudah bisa diatasi, kita percaya sistem tubuh pemberian Tuhan yang sangat kompleks ini akan melakukan recovery dengan sendirinya,” kata Prof Sutiman.

Menurut Ketua Lembaga Peluruhan Radikal Bebas Malang dr Saraswati, radikal bebas adalah senyawa kimia aktif dalam fase gas dan bermuatan listrik. Jika jumlahnya terkendali, ia bermanfaat untuk menjalankan proses kehidupan.

Sebaliknya, jika dalam keadaan berlebihan, radikal bebas dapat mengganggu dan menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, diabetes, autis, rematik, alergi, dan sebagainya.

Kelebihan radikal bebas itu bisa terjadi, lanjut dr Saraswati, karena proses penuaan, infeksi penyakit, makanan yang kurang seimbang (banyak karbohidrat dan lemak), menghirup udara yang tercemar, mengonsumsi makanan yang terkontaminasi radiasi, serta kemoterapi.

Paling Berbahaya
Secara sederhana, Saraswati menjelaskan, jika kelebihan radikal bebas itu menghantam DNA, maka yang bersangkutan akan terkena autis. Jika yang diserang adalah protein pengendali jaringan pertumbuhan (P53), maka pengendalian jaringan tak berfungsi, terjadilah kanker.

Dan, ketika yang terkena radikal bebas adalah virus, maka virus itu menjadi lebih ganas karena mengalami mutasi genetik.

Di antara radikal bebas itu, Mercuri (Hg) tergolong yang paling berbahaya. Hg dapat dengan mudah memproduksi elektron ke dalam bentuk yang sangat reaktif. Kelebihan Hg radikal bebas akan menyebabkan kanker, autis, shizoprenia, dan berbagai penyakit kelainan genetik.

Menurut Yoshiaki Omura, peneliti dari Jepang, semua sel kanker mengandung Hg di dalamnya.

Dengan latar belakang seperti itu, maka untuk terapi kanker dan penyakit lainnya adalah menetralkan radikal bebas di dalam tubuh manusia, atau mengeluarkannya dengan detoksifikasi.

”Pada prinsipnya, terapi balur, memasukkan asap divine kretek serta asam amino adalah juga detoksifikasi,” kata dr Saraswati.

Asam amino berfungsi melarutkan zat radikal bebas dan membuatnya floating. Sedangkan terapi balur membuat radikal bebas yang floating itu keluar dari tubuh manusia.

Dalam praktik, pembaluran dilakukan di atas lempeng tembaga, karena pada prinsipnya radikal bebas mengandung muatan listrik. Maka, dengan tidur di lempeng tembaga (Cu) yang dibumikan (grounding), proses pengeluaran radikal bebas itu lebih  mudah.

”Zat-zat radikal bebas yang keluar dari tubuh itu akan tampak bercak-bercaknya di lempeng tembaga,” kata Saraswati.

Sejak metoda ini dikembangkan awal tahun 2000-an hingga saat ini, ribuan orang sudah mencobanya untuk berbagai kondisi sakit. Mereka bukan pasien, melainkan relawan, karena mereka merupakan bagian dari penembangan penelitian .

Saat ini Griya Balur tidak hanya di Jakarta, melainkan juga di Malang, Jogja dan juga Semarang yang baru dibuka Juli 2011 lalu. Tidak lama lagi, di Kudus juga akan dibuka. (Anto Prabowo -43)

Sumber: Suara Merdeka, 19 September 2011

———–

Mungkinkah Penemunya Mendapatkan Nobel?

image

TIM UTAMA : Tim utama peneliti terapi balur-divine. Dari kiri: dokter Saraswati, Prof Sutiman, Dr Greta Zahar, dan Ir Tintrim Rahayu. (43)

”PENEMUAN larutan divine merupakan mahakarya dalam ilmu pengetahuan yang bisa menjadi tonggak peningkatan kesehatan berdasarkan kearifan lokal,” kata Guru Besar Bagian Patologi Anatomi FK Undip, Prof Dr Sarjadi SpPA (K) dalam keterangan pers yang dikirim ke berbagai media, Juni lalu.

Larutan divine yang ditemukan oleh Dr Greta Zahar itu dikembangkan bersama Prof Sutiman dengan perspektif nanobiologi. Jika dioleskan ke rokok lalu rokoknya dibakar, asapnya bisa mengatasi penyakit kanker, autis, serta meningkatkan secara optimal kondisi sehat manusia.

Tidak hanya untuk manusia, partikel asap divine kretek ini, dalam penelitian yang sudah dilakukan dan masih terus dikembangkan, juga mampu meningkatkan hasil dan kualitas tanaman-tanaman kedelai, anggrek, serta padi. Tanaman-tanaman itu juga tahan terhadap hama penyakit tanaman.

Menurut Sarjadi, Indonesia kaya berbagai macam tanaman yang berpotensi tinggi masuk ke lingkup pengobatan modern, di antaranya daun tembakau. Namun, diakuinya, riset komprehensif terhadap manfaat daun tembakau terlihat stagnan, akibat citra negatif terhadap daun tembakau sebagai penyebab sakit dan kematian.

”Citra itu terbentuk karena gencarnya pemberitaan tentang bahaya merokok. Sebaliknya tidak ada penelitian atau tulisan ilmiah yang memberitakan bahwa daun tembakau bermanfaat untuk kesehatan, sampai akhirnya muncul temuan divine kretek oleh Dr Greta ini,” kata Sarjadi.

Mungkinkah Dr Greta yang menemukan  larutan divine dan metoda penyembuhan penyakit dengan perspektif radikal bebas sebagai sumber utamanya, bisa memperoleh Nobel di bidang sains?

Pertanyaan itu sempat muncul dalam bincang-bincang Suara Merdeka dengan Prof Sutiman dan dr Saraswati beberapa waktu lalu. Ahli biologi molekuler itu dengan tenang mengatakan, hal itu bukan mustahil, karena temuan yang dihasilkan Greta tergolong luar biasa.

”Tapi kita tahu tidak mudah mendapatkannya. Belum ada orang Asia yang mendapatkan Nobel di bidang sains, baru di bidang perdamaian dan sastra. Jalan yang harus ditempuh untuk Nobel panjang sekali. Antara lain, temuan-temuan ini bisa masuk dalam publikasi internasional. Tidak mudah menembus sindikasi yang dikuasai orang-orang Amerika dan Eropa,” katanya.

Nobel penting, kata Prof Sutiman. Tetapi yang lebih penting adalah mengungkapkan latar belakang sains di balik berbagai obat-obatan dan pengobatan tradisional yang turun temurun  dilakukan masyarakat, misalnya jamu.

”Kami memulai dengan riset di kretek, yang merupakan salah satu temuan dan aset penting dari bangsa kita. Senang sekali jika kemudian juga bisa mengungkap lainnya.î

Terapi dengan asap (rokok) kretek ini memang kontroversial. Pastilah banyak ”musuh”-nya, karena selama ini rokok dicitrakan sebagai sumber penyakit. Tetapi semuanya bisa dijelaskan secara saintis.

Pendekatan sains medis modern memang cenderung reduksionistis. Banyak simplifikasi dan asumsi yang menyertainya. Termasuk ketika melihat rokok, yang dianggap sangat berbahaya karena punya kandungan nikotin dan tar yang bersifat karsinogen (pemicu kanker).

Dengan cara pandang ini, kretek dinilai lebih berbahaya dibanding rokok filter, lalu kretek filter lebih berbahaya dibanding rokok putih.

Faktanya, menurut Sutiman, ada 11.000 zat di dalam rokok yang saling terikat dan saling menetralisir. Memang, kalau nikotin dan tar itu berdiri sendiri, mereka bersifat karsinogen, sama seperti asap kendaraan bermotor atau asap bakaran sate. Tetapi jika terikat dengan lainnya, mereka menjadi netral.

Alumnus Universitas Nagoya Jepang itu menganalogikan, setiap inci persegi kulit manusia mengadung 32 juta bakteri. Tentu mengerikan jika membayangkan seluruh bakteri ini bisa menjadi sumber penyakit. Faktanya, sebagian besar jasad-jasad renik itu justru penting untuk daya tahan hidup kita.

Fisika Kuantum

Perkembangan sains yang radikal telah menghadirkan fisika kuantum. Jika dengan fisika Newton, kita hanya mengenal komponen atom-atom yang besar, yang tunduk pada hukum gravitasi, maka dengan fisika kuantum kita dituntun untuk melihat unsur-unsur supermikro, yaitu nano.

Dalam dua dimensi, nanometer seukuran dengan sepersemilyar meter atau sepuluh pangkat minus sembilan meter.

Mikroskop elektron termodern hanya bisa melihat ukuran 100 nanometer. ”Ukuran nano hanya bisa diimajinasikan. Misalnya DNA,” katanya.

Dengan pendekatan fisika kuantum ini, lanjut Sutiman, kita bisa melihat bahwa asap rokok adalah kumpulan partikel-partikel, ada yang besar dan punya potensi karsinogen jika tak terikat komponen lain, ada juga yang sangat renik yang ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan.

Dengan cara pandang fisika kuantum itu sangatlah mungkin dihasilkan divine kretek yang bermanfaat bagi kehidupan. Pada prinsipnya divine kretek adalah konversi dari kretek biasa menjadi asap divine yang mengandung struktur nano yang kompleks yang dapat memasok elektron dalam ukuran mililevel volt.

”Dalam ukuran nano, yang terjadi adalah medan gaya listrik. Asap divine bisa berfungsi suplai energi, sekaligus menangkap radikal bebas Hg yang menjadi sumber penyakit,” kata Sutiman.

Sutiman, yang bukan perokok, saat ini pun turut mengisap divine rokok, sama seperti istrinya yang menjadikan divine rokok bagian dari terapinya.

”Asap divine rokok mensuplai energi lebih efisien dibanding makanan,” tuturnya. (Anto Prabowo-43)

Sumber: Suara Merdeka, 20 September 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 1,103 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB