Perguruan Tinggi Keluhkan Pemotongan Anggaran
Pemotongan anggaran pendidikan tinggi sekitar Rp 1,95 triliun memberatkan perguruan tinggi negeri. Penghematan terbesar dari pengadaan sarana dan prasarana untuk tahun ini dinilai mengkhawatirkan. Hal itu berisiko terhadap peningkatan mutu pendidikan tinggi.
Pengadaan sarana dan prasarana, seperti laboratorium/bengkel/studio dan rumah sakit pendidikan, merupakan fasilitas penunjang yang dibutuhkan untuk meningkatkan mutu dan daya saing perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Jika tidak ada kepastian keberlanjutan dana dalam pengadaan sarana dan prasarana, PT pesimistis dengan komitmen pemerintah mengedepankan kualitas pendidikan tinggi.
“Banyak sarana dan prasarana yang ada di PTN saat ini sudah usang sehingga tidak memadai. Pengadaan sarana dan prasarana tetap menjadi program penting yang harus bisa dijalankan setiap tahun,” kata Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Rochmat Wahab yang juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi X DPR, Rabu (15/6), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rapat digelar oleh Komisi X terkait dengan efisiensi anggaran.
Ravik Karsidi, Ketua Dewan Pertimbangan FRI, menambahkan, sudah ada surat dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kepada 58 pimpinan PTN (termasuk politeknik) pada 9 Juni lalu yang menyatakan bahwa pengadaan sarana dan prasarana yang sudah disetujui ditunda dulu atau istilahnya self blocking.
“Kami khawatir kebijakan ini membawa dampak hukum. Sebab, pengadaan sarana dan prasarana ini sudah diumumkan kepada publik, bahkan ada yang sudah proses lelang,” ujar Ravik yang juga Rektor Universitas Negeri Surakarta.
Menanggapi informasi dari FRI, pemimpin rapat Komisi X Ferdiansyah dari Fraksi Partai Golkar menyatakan, sampai saat ini Komisi X masih belum menyetujui pemotongan anggaran Kemristek dan Dikti. Bahkan, Komisi X sedang berjuang supaya tidak terjadi pemotongan agar program yang direncanakan, seperti pembangunan sarana dan prasarana di PT, tetap bisa dijalankan.
Rinto Subekti dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan, semestinya, dengan terpisahnya pendidikan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kemristek dan Dikti membuat anggarannya bertambah sehingga peningkatan mutu cepat terwujud. Pihaknya sudah minta agar jika ada penambahan anggaran, nanti diprioritaskan untuk anggaran sarana dan prasarana yang penting sebagai pendukung PT, penambahan beasiswa Bidikmisi, bantuan operasional PTN (BOPTN), dan hibah perguruan tinggi swasta (PTS).
Herry Suhardiyanto, anggota Dewan Pertimbangan FRI yang juga Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia, mengatakan, harus ada kepastian dan keberlanjutan dana untuk mendukung PTN. Komitmen APBN yang mengalokasikan minimal 20 persen untuk pendidikan harus benar, dikembalikan pada tujuan semula, bukan termasuk gaji guru dan dosen atau pendidikan kedinasan.
Dukungan pendanaan di PTN belum menggembirakan. BOPTN belum jelas formulanya. Alokasi BOPTN yang diusulkan sedikitnya Rp 6 triliun, tetapi yang tersedia sekitar Rp 4,55 triliun.
Selain itu, peningkatan kuota beasiswa Bidikmisi yang dibutuhkan untuk mendukung mahasiswa potensial dari keluarga tidak mampu sulit dipenuhi karena anggaran PT yang tidak meningkat signifikan, bahkan turun. “Kuota Bidikmisi tetap, sementara jumlah PTN bertambah. Padahal, kita tidak mungkin membendung lulusan SMA/sederajat yang hendak kuliah,” ujar Herry yang juga Rektor Institut Pertanian Bogor.
Fathur Rokhman, anggota Dewan Pertimbangan FRI yang juga Rektor Universitas Negeri Semarang, mengatakan, alokasi BOPTN untuk kampusnya berkurang Rp 4 miliar dari tahun sebelumnya yang nilainya sekitar Rp 38 miliar.
Rektor Universitas Bina Nusantara Harjanto Prabowo mengingatkan, pendidikan bukan masalah teknis. Jika bangsa ini meyakini pendidikan merupakan investasi untuk masa depan bangsa, pemerintah harus berjuang supaya anggaran memadai.
PTS pun perlu dukungan untuk meningkatkan mutunya. “Bagaimana PT kita mau meningkatkan daya saing dari PT negara tetangga kalau pendanaan PT minimal,” kata Harjanto.
Harjanto juga menyoroti soal pengadaan peralatan laboratorium yang dibeli dari luar negeri yang dikenai pajak tinggi, sama seperti mobil mewah. “Di mana keberpihakan pada pendidikan? Jika negara menganggap pendidikan penting, kenapa menarik pajak dari pendidikan? Soal penyediaan anggaran sebenarnya bisa diadakan dengan menggeser yang tidak prioritas,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menyebutkan, efisiensi anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana di kementerian ini, termasuk PTN, sekitar Rp 1,8 triliun ditunda karena tidak berpengaruh besar terhadap pelayanan publik jika dibandingkan dengan BOPTN dan beasiswa. (ELN)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2016, di halaman 11 dengan judul “Sarana-Prasarana Terdampak”.