Lu Daopei; Bapak Transplantasi Sumsum Tulang

- Editor

Jumat, 22 April 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Usianya 85 tahun, tetapi langkahnya masih tegap, wajah segar, ingatannya pun jernih. Ia adalah Prof Lu Daopei, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Peking, yang dikenal sebagai “Bapak Transplantasi Sumsum Tulang Asia”.

Transplantasi sumsum tulang (bone marrow transplantation/ BMT) dilakukan Lu pada tahun 1964 terhadap penderita anemia aplastik berat berusia 22 tahun. Pasien perempuan itu ditransplantasi dengan sumsum tulang dari saudara kembarnya. Kini, ia berusia 74 tahun, hidup sehat dan tercatat sebagai salah satu kasus BMT yang hidup terlama. Transplantasi ini merupakan yang keempat di dunia dan yang pertama di Asia.

Saat melakukan transplantasi, Lu belum pernah belajar ke luar negeri. Ia belajar ilmu kedokteran di Universitas Nasional Tongji tahun 1948 dan lulus sebagai dokter tahun 1955. Ia lalu menjadi residen di Rumah Sakit Universitas Peking, berlanjut mengajar sampai menjadi guru besar di Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Peking.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lu meneliti hematologi sejak tahun 1957. Pengetahuan tentang BMT diperoleh dari berbagai literatur. Selain bahasa Mandarin, dia menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Rusia. Kebetulan, Beijing memiliki perpustakaan sangat lengkap. Mula-mula ia menerapkan dan mengasah keterampilan mengambil sumsum tulang belakang pada mayat. Setelah mahir, ia baru menerapkannya pada manusia.

“Saat itu tekanan sangat tinggi, tidak hanya secara medis, tetapi juga sosial dan politis, dalam mencoba teknik baru pada pasien. Harus ada jaminan bahwa pasien selamat dan sembuh. Tanggung jawab yang sangat besar untuk berhasil. Selain pasien, donor harus dijaga keselamatannya, apalagi saudara kembar pasien tersebut sedang hamil,” Lu menuturkan saat ditemui di Rumah Sakit Hebei Yanda Ludaopei di Beijing, Tiongkok, pertengahan Maret lalu.

Kondisi pasien terus dipantau. Tiap langkah harus diperhitungkan agar tidak terjadi kegagalan ataupun infeksi. Apalagi, saat itu antibiotik masih jarang dan belum ada ruang isolasi khusus pencegah infeksi. “Semua peralatan dibuat sendiri, misalnya jarum untuk mengambil sumsum tulang dan transplantasi,” katanya.

Untuk mengatasi keterbatasan antibiotik, Lu meminta perusahaan farmasi mengekstrak zat dari bawang putih sebagai obat pencegah infeksi. “Saya sangat bersyukur transplantasi berhasil dan pasien hidup sampai sekarang,” ujarnya.

Keluarga dokter
Ayah Lu, Lu Nashan, adalah dokter mata pengobatan tradisional Tiongkok. Istri Lu, Liu Pingyi, juga dokter. Satu dari dua anak Lu, yakni Lu Peihua atau Peggy, adalah dokter ahli hematologi yang fokus pada limfoma dan myeloma. Sebagian cucu Lu juga memilih profesi dokter.

Setelah bertemu di ruang rapat, kami berbincang di kantornya yang nyaman, Lu didampingi Peggy. Kantor berukuran sekitar 4 meter x 8 meter itu berisi kursi dan meja kerja, lemari buku, serta seperangkat sofa. Sejumlah piagam penghargaan terpasang di dinding.

Di keluarga besar, setidaknya ada 21 dokter, delapan di antaranya dokter mata. Namun, Lu memilih mendalami ilmu penyakit dalam, khususnya hematologi, karena dianggap menantang. “Banyak penyakit yang harus dipelajari. Umumnya penyakit di bidang hematologi atau gangguan darah merupakan penyakit ganas yang sulit disembuhkan,” katanya.

Keterbatasan tidak menyurutkan semangat. Lu justru bekerja keras mencari cara membantu pasien. “Saat orang-orang aktif berpolitik, saya memilih fokus meneliti,” ujarnya. Di masa revolusi kebudayaan, saat tidak bisa lagi mengisi waktu senggang dengan bermain biola, dia memilih melakukan percobaan dan mencari teknik baru di rumah sakit.

Kontribusi
Seusai revolusi kebudayaan, Lu mendirikan Unit Transplantasi Sumsum Tulang tahun 1980 serta menjadi pendiri Program Donor Sumsum Tulang Tiongkok. Pada tahun itu juga, ia pergi ke Inggris untuk belajar di Rumah Sakit Hammersmith, London, selama enam bulan. Tahun 1986, ia mendalami transplantasi di Brigham and Women’s Hospital, Universitas Harvard, Amerika Serikat.

Prof Lu terus mengembangkan berbagai terobosan dalam terapi leukemia dan penyakit hematologi. Salah satunya, transplantasi sel punca hematopoietik (HSCT). Dia melakukan HSCT dengan donor pihak ketiga (di luar keluarga) pada tahun 1980-an. HSCT antara lain untuk mengobati kasus agammaglobulinemia (penyakit keturunan gangguan kekebalan tubuh akibat kekurangan immunoglobulin/ imunodefisiensi genetik).

Tim peneliti yang ia pimpin membuktikan bahwa gammaglobulin dari plasenta dapat memperbaiki graft versus host disease (GvHD), yakni komplikasi akibat transplantasi sumsum tulang yang tidak sesuai. Bank tali pusat pertama di Tiongkok dibentuk oleh Lu pada 1997. Dia dan kolega juga memanfaatkan sel pembunuh yang dipicu sitokin (cytokine induced killer cell)sebagai terapi kekebalan tubuh. Ini terbukti efektif pada leukemia akut serta terapi hepatitis. Terapi itu kemudian dimanfaatkan oleh banyak rumah sakit di Tiongkok.

Tahun 1997, Lu membuktikan bahwa arsenik sulfida (As4S4 atau As2S3) efektif untuk menerapi leukemia promyelositik akut (APL). Pemberian arsenik bersama sejenis obat kemoterapi dosis rendah dapat menyembuhkan pasien APL. “Arsenik sulfida merupakan bahan obat tradisional yang populer dan aman serta telah digunakan selama ribuan tahun dan lebih dari 200 tahun digunakan sebagai obat sifilis sebelum penisilin,” tuturnya.

Namun, penambangan, ekstraksi, transportasi, serta proses untuk menjadi obat harus diawasi betul. Penanganan yang salah, misalnya terekspos suhu tinggi, bisa mengubah arsenik sulfida menjadi arsenik oksida yang sangat berbahaya dan mematikan.

Lu mendirikan dan menjadi Direktur Institut Hematologi Universitas Peking (1981-2005), kemudian menjadi direktur kehormatan. Pada 1996, ia terpilih menjadi anggota tetap Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok (CAE). Lu juga mengemban berbagai jabatan pada organisasi hematologi dan di lembaga terkait transplantasi di tingkat nasional dan regional.

Kini, Lu dan keluarga memimpin Ludaopei Medical Group. Ia masih berpraktik dua kali seminggu di Rumah Sakit Hebei Yanda Ludaopei yang terletak di Kota Sehat Yanda Internasional. Kawasan seluas 40.000 m2 itu terletak di Beijing timur, sekitar 30 kilometer dari Lapangan Tiananmen.

Lu menyebut, tantangan dalam hematologi adalah menyembuhkan berbagai penyakit hematologi berat, menemukan obat baru, serta melakukan imunoterapi, yakni membasmi sisa sel ganas dengan sel kekebalan tubuh. “Tantangan lain, mengatasi penolakan tubuh pada transplantasi alogenik (transplantasi dari donor yang tak ada hubungan darah),” katanya.

e688e0786665422aa38b815ed5a54d4eProf Lu Daopei–KOMPAS/ATIKA WALUJANI

LU DAOPEI

Lahir:Shanghai, 30 Oktober 1931

Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Universitas Nasional Tongji (1948-1955)
Short course Hammersmith Hospital, London, Inggris (1980)
Short course Brigham and Woman’s Hospital, Universitas Harvard, AS (1986)

Jabatan, antara lain:
Guru Besar Universitas Peking dan Universitas Fudan
Direktur Pusat Hematologi Universitas Fudan
Direktur Medis Rumah Sakit Lu Daopei (Beijing, Shanghai) dan Rumah Sakit Hebei Yanda Ludaopei
Anggota Dewan Eksekutif Kelompok Transplantasi Sumsum Tulang dan darah Asia-Pasifik
Ketua Asosiasi Hematologi Tiongkok (200-2006)
Ketua Komite Hematologi-Onkologi Asosiasi Anti Kanker Tiongkok (1995-2011)

Penghargaan, antara lain:
Prize of the National Science Conference on Medicine, Pharmacy and Hygiene, 1978
The National Prize of Progress in Science and Technology, 1985
Center for International Blood and Marrow Transplant Research, 2016 Distinguished Service Award 2016

ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 April 2016, di halaman 16 dengan judul “Bapak Transplantasi Sumsum Tulang”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB