Terapi oksigen hiperbarik awalnya populer sebagai pengobatan penyakit dekompresi akibat penyelaman. Akumulasi nitrogen saat menyelam yang membentuk gelembung udara menyumbat aliran darah dan saraf sehingga memicu masalah kesehatan.
Kini, terapi itu digunakan untuk membantu mengatasi berbagai penyakit hingga gaya hidup sehat. Menurut situs hyperbaricoxygentherapy.org, pengguna memakai oksigen murni lebih tinggi daripada tekanan atmosfer ruang tertutup sehingga oksigen diserap semua sel dan jaringan tubuh. Itu meningkatkan aliran oksigen, memperbaiki fungsi sel dan organ rusak, termasuk otak.
Menurut Sekretaris II Ikatan Dokter Hiperbarik Indonesia Erick Supondha, hiperbarik menggabungkan oksigen murni dan tekanan udara di dalam ruang udara bertekanan tinggi (RUBT) atau hyperbaric chamber. Selama terapi, pasien berada di RUBT sambil menghirup oksigen murni lewat alat bantu napas, dipantau perawat dan operator.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terapi tersebut bisa meningkatkan efektivitas pengobatan. Terapi ini, katanya, bisa mengobati keracunan karbon monoksida, dekompresi, juga membantu mengobati penyakit lain, seperti luka akibat diabetes, stroke, patah tulang.
Meski bermanfaat dan minim efek samping, terapi hiperbarik harus menyesuaikan kondisi tubuh. Misalnya, setelah 5 kali terapi, pasien harus berhenti dua hari sebelum melanjutkan terapi. Pasien harus beristirahat seminggu setelah menjalani 20 kali terapi.
Faktor keamanan pasien selama di RUBT jadi hal utama. Karena itu, perawatan dan pengoperasian hiperbarik sesuai panduan jadi keharusan. Ada potensi efek merugikan jika tak menerapkan standar yang benar. Selain penyakit dekompresi, bisa ada keracunan gas, dan trauma.(ADH/EVY)
———–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2016, di halaman 1 dengan judul “Seputar Hiperbarik”.