Kesadaran masyarakat mendeteksi dini terjadinya kanker pada dirinya masih kurang. Padahal dengan deteksi dini, kanker dapat ditemukan pada fase awal. Dengan demikian, pengobatannya lebih mudah dan murah dibandingkan dengan kanker fase lanjut.
Kurangnya kesadaran masyarakat memeriksakan diri untuk mendeteksi kanker setidaknya terlihat di Instalasi Deteksi Dini dan Onkologis Sosial Rumah Sakit Kanker Dharmais. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata jumlah kunjungan di instalasi tersebut 3.000 orang dengan kenaikan 10 persen per tahun.
Kepala Instalasi Deteksi Dini dan Onkologi Sosial RS Kanker Dharmais Hardina Sabrina, Jumat (18/12), di Jakarta, mengatakan, tahun 2014, jumlah kunjungan di instalasi deteksi dini mencapai 3.717 orang. Jumlah ini dinilai Hardina masih sedikit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Hardina, sedikitnya kunjungan deteksi dini antara lain disebabkan layanan ini belum ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Masih banyak orang keberatan mengeluarkan biaya sendiri untuk deteksi dini kanker.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Peneliti mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Rini Riffiani mengisolasi bakteri yang hidup dalam spons asal Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu, Selasa (5/5), di Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Ia menargetkan mendapatkan bakteri yang bisa membantu pembuatan obat anti kanker dan anti obesitas.
“Biaya penapisan kanker payudara dengan mamografi Rp 275.000. Jika mamografi ditambah MRI Rp 1,8 juta. Penapisan kanker leher rahim dengan alat konvensional Rp 200.000 dan dengan alat yang lebih canggih yang akurasinya bisa hingga 90 persen Rp 600.000,” kata Hardina.
Sedikitnya kunjungan deteksi dini tidak mengherankan jika 60-70 persen kanker yang berobat ke RS Dharmais sudah pada stadium lanjut (III dan IV). Dari 10 besar penyakit kanker yang ada di Dharmais selama 2013-2014, sekitar 44 persen sudah stadium III dan 32 persen stadium IV. Ini salah satu yang menyedot pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) amat besar. Biaya pengobatan kanker stadium lanjut bisa lima kali lipat dari biaya pengobatan kanker stadium awal.
Ahli dari Novartis Oncology mempresentasikan fakta-fakta tentang kanker dan inovasi-inovasi pengobatan kanker di Asia pada temu media di Singapura, beberapa waktu lalu. Kasus kanker dan kematian yang diakibatkan oleh kanker makin tinggi di Asia karena perubahan gaya hidup yang semakin minim aktivitas olahraga, ditambah peningkatan jumlah perokok, serta perubahan pola makan.–KOMPAS/AMANDA PUTRI
Petugas Museum Kanker Indonesia (MKI) Deanandya mengamati jaringan kanker pada Hari Kanker Sedunia di Surabaya, beberapa waktu lalu. Melalui koleksi yang dipamerkan, pengunjung mendapat informasi secara lengkap tentang serba-serbi kanker berikut cara pencegahannya.–KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Cukup banyak
Kepala Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan Eni Gustina mengatakan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, diperkirakan ada 40 orang dari 100.000 penduduk menderita kanker.
Saat ini, ujar Eni, kebijakan Kementerian Kesehatan diarahkan pada upaya yang bersifat promotif preventif. Dukungan anggaran untuk ini cukup besar. Pihaknya akan mengirim media sosialisasi kanker ke kabupaten/kota untuk disampaikan kepada masyarakat.
Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) Prof Soehartati Gondhowiardjo menyampaikan, angka insiden kanker lebih tinggi dari kasus HIV/AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Oleh karena itu, perlu upaya lebih keras untuk menyosialisasikan informasi tentang kanker kepada masyarakat. Sayangnya, mulai dari deteksi dini, hingga pengobatan banyak informasi seputar kanker yang salah kaprah.
Menurut Soerhartati, dengan hidup sehat, peluang terjadinya kanker menurun 38 persen. Contoh hidup sehat, menurut Soehartati, antara lain tidak merokok, mencegah obesitas, olahraga teratur, diet seimbang, serta mengelola stres.
Andaipun dinyatakan mengidap kanker, jika terdeteksi sejak dini, masih terdapat peluang 30 persen untuk bisa dikontrol hingga pasien bisa bertahan hidup lebih dari lima tahun.
ADITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas Siang | 18 Desember 2015
—————–
Kanker Bisa Memiskinkan Pasien
Mahalnya biaya terapi kanker menyebabkan setidaknya lima persen dari pasien di Asia Tenggara dan keluarganya jatuh miskin. Untuk itu, perlu ada kebijakan yang memprioritaskan pencegahan dan edukasi serta subsidi yang tepat sasaran.
Dr Nirmala Bhoopati, Social and Preventive Medicine, University of Malaya Faculty of Medicine, Kuala Lumpur, Malaysia, menyatakan, angka itu diperoleh dari data yang dikumpulkan di 8 negara di Asia Tenggara, yakni Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Tim peneliti mengevaluasi para pasien yang mengeluarkan biaya terapi lebih dari 30 persen penghasilannya. Para pasien tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan berpenghasilan di bawah 2 dollar AS per hari.
Pengeluaran besar untuk terapi kanker berdampak negatif bagi pasien. Berdasarkan studi, hampir 20 persen pasien tak berobat karena tak bisa membayar obat. Pasien kurang mampu punya risiko kematian 80 persen dalam 12 bulan setelah diagnosis dibandingkan pasien lain yang tak kesulitan ekonomi.
Menurut Prof Christoph Zielinski, dari Medical University of Vienna, Austria, dalam European Society for Medical Oncology (ESMO) Asia 2015, di Singapura, Jumat (18/12), seperti dilaporkan wartawan Kompas,Amanda Putri, kanker menimbulkan beban keuangan signifikan kepada pasien, termasuk di negara berpendapatan menengah ke atas. Karena itu, pasien di negara menengah ke bawah menghadapi beban lebih besar. Hanya deteksi dini yang bisa meringankan beban finansial itu.
Mereka yang didiagnosis terkena kanker stadium lanjut tak punya asuransi kesehatan, berpendapatan rendah, menganggur, dan berpendidikan rendah, sehingga rentan krisis finansial. “Stadium kanker menjelaskan mayoritas risiko dari malapetaka finansial dan kematian lebih cepat,” kata Nirmala.
Namun, pasien berpendapatan minim tetap rentan secara finansial meski didiagnosis kanker stadium dini. Jadi, strategi mengatasi dampak finansial pada pasien kanker yang kurang mampu harus diprioritaskan.
Studi itu menawarkan data signifikan bagi pengambil kebijakan untuk menerapkan strategi pengendalian kanker yang efektif. Deteksi dini mengurangi dampak ekonomi dan kesehatan pada pasien berpendapatan menengah ke bawah. Akses layanan medis dan perlindungan risiko finansial pun perlu ditingkatkan.
Inovasi terapi
Terkait kemajuan terapi, Tanguy Seiwert, Associate Director Program Kanker Kepala dan Leher University of Chicago, Amerika Serikat, mengatakan, terapi imun punya efek samping jauh lebih kecil dibandingkan kemoterapi. “Sistem kekebalan tubuh terlalu kuat bisa menyerang tubuh sehingga tetap ada efek samping terapi imun,” ujarnya.
Richard Quek, Deputy Head Divisi Onkologi Medik Pusat Kanker Singapura, mengatakan, pengobatan kemoterapi tak efektif, khususnya pada melanoma. Terapi melanoma paling efektif ialah terapi target dan terapi imun karena titik kanker terdeteksi jelas di permukaan kulit.
Aung Myo, AP Regional Medical Affairs Director, Oncology MSD, menyebut, pada 2011-2015, riset pembrolizumab mencapai lebih dari 160 uji klinis pada 30 jenis tumor, melibatkan 22.000 pasien. Hasilnya positif pada 17 jenis tumor antara lain, kanker paru dan kanker hati.
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Kanker Bisa Memiskinkan Pasien”.