BMKG Kaji Iklim di Kutub

- Editor

Kamis, 15 Oktober 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ekspedisi Puncak Jaya Mengkaji Dampak Pemanasan Global
Sejumlah peneliti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ikut ekspedisi ke Kutub Selatan dan Puncak Jaya, Papua, untuk mengkaji dampak perubahan iklim. Riset juga untuk mengetahui pola fenomena atmosfer di sana sehingga bisa membuat prediksi sistem deteksi dini jika berisiko bagi Indonesia.

“Jika terjadi bencana, jumlah korban dan kerugian bisa besar akibat kita tak mengetahui pola fenomena dan faktor penyebab bencana,” kata Kepala BMKG Andi Eka Sakya, Selasa (13/10), dalam jumpa pers di Jakarta.

Pengenalan pola fenomena atmosfer, terutama terkait perubahan iklim, melalui ekspedisi ke Kutub Selatan dan Puncak Jaya bisa menjadi jalan memprediksi fenomena yang mungkin menimbulkan bencana bagi manusia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Fenomena atmosfer di Kutub Selatan, misalnya, bisa mendampak Indonesia karena ada angin muson dari selatan ke utara, yang jadi “penghubung” kedua wilayah. Namun, hubungan itu belum banyak dipelajari dan pola fenomenanya belum diketahui. Andi berharap, hasil riset bisa seperti kajian El Nino yang menghasilkan kemampuan prediksi fenomena interaksi atmosfer dengan lautan di Samudra Pasifik itu sehingga persiapan menghadapi dampak kemarau panjang di Indonesia bisa dimulai jauh hari.

Peneliti BMKG yang bergabung dalam riset ke Kutub Selatan, Wido Hanggoro, menyebut, pengaruh kondisi atmosfer Kutub Selatan terhadap Indonesia terlihat saat fenomena menurunnya suhu secara drastis, 3-9 derajat celsius di Jakarta dan sekitarnya pada 13 Juli 2014.

Saat itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG merilis, penyebab penurunan ekstrem suhu di sekitar Queensland, Australia, serta kedatangan cold front di wilayah barat benua itu. Padahal, “Iklim di Kutub Selatan kemungkinan memengaruhi kondisi di Australia saat itu, tetapi kami belum melihatnya. Jika kita sudah mengetahui pola hubungan tersebut, kita bisa mendeteksi dini kejadian serupa di masa depan,” ujar Wido.

4f80ae0a2fc2434a88ad3ea8e1569ef6KOMPAS/YUNIADHI AGUNG–Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya (tengah) berpose dengan para peneliti dari BMKG dan pihak sponsor yang akan melaksanakan ekspedisi di Puncak Jayawijaya (Papua) dan Antartika, Selasa (13/6), di Jakarta. Rangkaian ekspedisi itu merupakan bentuk kontribusi Indonesia terhadap pemahaman dinamika iklim secara global.

Selain Wido, peneliti BMKG lain, Kadarsah, juga ikut ke Kutub Selatan. Ekspedisi itu kerja sama dengan Bureau of Meteorology serta Australian Antarctic Division pada Departemen Lingkungan Australia. Wido dan Kadarsah akan tiba di Hobart, Tasmania, Australia, Kamis (15/10), untuk aklimatisasi sepekan sambil diskusi dengan peneliti lain.

Setelah itu, mereka akan berlayar sekitar sepekan menggunakan kapal riset Aurora Australis milik Australia menuju Stasiun Meteorologi Davis di Kutub Selatan. Riset di stasiun itu bakal berjalan 1-2 minggu, sebelum tim peneliti kembali ke Hobart.

Di Davis, Wido akan mengembangkan simulasi model untuk mengetahui dinamika atmosfer Kutub Selatan serta merumuskan cara memprediksi fenomena atmosfer di sana. Kadarsah akan bekerja dengan Light Detection and Ranging (Lidar) untuk menganalisis komponen di atmosfer, misalnya untuk mengetahui adanya aerosol yang bisa menahan sinar matahari sehingga memengaruhi iklim.

Pemanasan global
Ekspedisi ke Puncak Jaya mengikutsertakan empat peneliti BMKG, yaitu Dyah Lukita Sari, Ferdika A Harapan, Najib Habibie, dan Donny Kristianto. Kegiatan sepekan itu mulai 25 Oktober. Ohio State University, Columbia University, dan PT Freeport terlibat.

Menurut Ferdika, penelitian di Puncak Jaya untuk membuktikan dampak pemanasan global pada berkurangnya lapisan es di sana. Data sebelumnya, total luas wilayah es Puncak Jaya berkurang 0,15 kilometer persegi per tahun sejak 1850. Pada 2011, total luas es tinggal 1 km persegi.

Ekspedisi tahun ini kelanjutan ekspedisi 2010 dan 2014. Pada 2010, tim ekspedisi menancapkan tiang penanda di tahun-tahun berikutnya terkait apakah es mencair dari atas, bawah, atau keduanya. Tim ekspedisi 2014 mencari tahu dengan melihat lapisan es pada tiang itu, tetapi terhalang cuaca buruk.

Tahun 2010, tim juga mengambil sampel es dengan mengebor 30 meter lalu sampel mirip es lilin itu dibawa untuk diteliti. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG Edvin Aldrian mengatakan, pengkajian sampel es bertujuan mengetahui kondisi iklim masa lampau.

Sejauh ini, peneliti belum menemukan material jejak aktivitas manusia, termasuk penambangan, pada sampel es tahun 2010. “Artinya, penyusutan lapisan es murni akibat pemanasan global,” ucap Edvin. (JOG)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “BMKG Kaji Iklim di Kutub”.
———
BMKG Ekspedisi Riset ke Puncak Jaya dan Antartika

Mencairnya es di Kutub Selatan dan adanya lapisan es serta salju di Puncak Jaya, Papua, menjadi bukti terus berjalannya pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk mendalaminya, termasuk mengetahui pola-polanya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika terlibat dalam ekspedisi ke kedua lokasi tersebut.

“Kegiatan ini merupakan landasan untuk dua agenda yang lebih besar pada 2017-2019,” ujar peneliti BMKG yang ikut ekspedisi ke Kutub Selatan atau Antartika, Kadarsah, Selasa (13/10), saat jumpa media di Jakarta. Kedua agenda itu adalah Tahun Benua Maritim (Year of Maritime Continent/YMC) dan Year of Polar Initiative (YPI) di Antartika. Hasil penelitian akan menjadi sumbangan berharga bagi riset global dan pijakan bagi pemahaman hubungan telekoneksi iklim antara wilayah tropis dan Antartika.

Selain Kadarsah, peneliti BMKG lain, Wido Hanggoro, juga terlibat dalam ekspedisi ke Kutub Selatan. Mereka akan bergabung dalam penelitian bersama di Stasiun Meteorologi Davis (di titik koordinat 68 derajat 35 menit Lintang Selatan dan 77 derajat 58 menit Bujur Timur), bergabung dengan tim ekspedisi Bureau of Meteorology (BOM)-Australian Antarctic Division (AAD) dan berangkat hari Rabu (14/10). Tujuan penelitian adalah untuk memahami pengaruh laut terhadap kondisi iklim dan cuaca Indonesia.

Setelah sepekan mengikuti aklimatisasi di Hobart, Australia, mereka akan berlayar dengan kapal riset dari Hobart menuju stasiun meteorologi tersebut. Simulasi model meteorologi resolusi tinggi dan pengamatan udara akan menggunakan light detection and ranging (Lidar).

Sementara itu, dalam ekspedisi ke Puncak Jaya, peneliti BMKG yang berangkat berjumlah empat orang, yaitu Dyah Lukita Sari, Ferdika A Harapak, Najib Habibie, dan Donny Kristianto. BMKG bekerja sama dengan Ohio University, Columbia University, dan Freeport untuk ekspedisi ini. Riset ke Puncak Jaya bakal menjadi yang ketiga kalinya sejak 2010 dengan tujuan memahami dampak pemanasan global, terutama di wilayah tropis (dilintasi khatulistiwa).

Kepala BMKG Andi Eka Sakya menuturkan, keikutsertaan peneliti BMKG merupakan bentuk kontribusi Indonesia bagi pengkajian iklim, termasuk perubahan iklim dan dampaknya. Hasil riset dari kedua tempat pun bisa menunjukkan hubungan fenomena klimatologi antara Kutub Selatan dan Puncak Jaya.

Ia menambahkan, dengan mengetahui pola iklim di Kutub Selatan dan dampaknya pada wilayah Indonesia, peneliti nantinya bisa menghasilkan sistem peringatan dini jika terjadi suatu fenomena di Kutub Selatan. Harapannya, bisa seperti prediksi El Nino yang sudah bisa sejak Mei atau Juni dan bisa diperkirakan skala kekuatannya.

J GALUH BIMANTARA

Sumber: Kompas Siang | 13 Oktober 2015

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB