Ikan Asli Indonesia Bisa Menjadi Sasaran Berikutnya
Riset ikan nila salina, nila yang bisa hidup di laut hasil perekayasaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, memasuki tahap akhir. Namun, komersialisasi ikan terkendala biaya budidaya yang lebih mahal dibandingkan nila air tawar. Karena itu, perlu studi strategi pemasaran.
“Hilirisasi sudah dilakukan sehingga ke depan bisa dimanfaatkan warga,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, Rabu (23/9), saat kunjungan kerja ke lokasi pengkajian budidaya ikan nila salina di lahan PT Nuansa Ayu Karamba, Kepulauan Seribu, Jakarta. Acara itu dihadiri Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto dan Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo.
Saat ini, harga ikan salina Rp 40.000 per kilogram sehingga berpeluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang membudidayakan. Sementara harga nila yang hidup di air tawar Rp 15.000-Rp 18.000 per kilogram. Ikan nila salina mengalami penyesuaian luar biasa mengingat nila secara alami hidup di air tawar. Dengan perekayasaan oleh peneliti BPPT, nila bisa hidup di laut bersalinitas atau berkadar garam tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti senior bidang pengembangbiakan dan genetika ikan BPPT, Ratu Siti Aliah, menjelaskan, pengembangan ikan nila salina terdorong setelah sekitar 600.000 hektar lahan tambak ditinggalkan selama bertahun-tahun karena budidaya udang windu bangkrut. Di sisi lain, jumlah lahan tambak berkadar garam tinggi terus bertambah akibat naiknya permukaan laut ke area pertambakan sebagai dampak perubahan iklim.
Proses penelitian
Ratu bersama peneliti budidaya perikanan BPPT, M Husni Amarullah (almarhum), memimpin pengkajian perekayasaan nila tahan salinitas tinggi sejak 2007. Nila dikenal bersifat eurihalin, yakni punya toleransi lebar terhadap salinitas, mulai 0 hingga 20-25 ppt (part per million/bagian per juta). Namun, untuk mendapatkan banyak ikan yang tahan terhadap salinitas tinggi perlu intervensi teknologi.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Ikan nila salina dalam karamba milik PT Nuansa Ayu Karamba, Kepulauan Seribu, Jakarta, Rabu (23/9). Ikan yang merupakan varietas nila (Oreochromis niloticus) yang bisa hidup di laut itu hasil pengembangan peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Habitat alami ikan nila adalah perairan tawar.
Ratu mengumpulkan sejumlah strain atau varietas unggul spesies nila (Oreochromis niloticus), antara lain nirah, merah nifi, nirwana, dan sultana. Ia menjalankan metode kejut salinitas pada seluruh sampel ikan, yakni dengan membuat salinitas air mencapai 35-40 ppt. Nila biasanya hidup di air bersalinitas kurang dari 5 ppt.
Peneliti menyilangkan nila antara satu strain dan strain lain. Dari segi pertumbuhan dan kelangsungan hidup, Ratu mendapatkan hasil persilangan terbaik ialah pasangan jantan strain sultana dan betina merah nifi, yang kemudian dinamakan nila salina.
Keunggulan ikan varietas laut itu antara lain mampu hidup di air bersalinitas 20-25 ppt dengan tingkat kelangsungan hidup 85 persen, produktivitas di lahan tambak 10-12 ton per hektar, tekstur daging kenyal, serta mengandung asam lemak Omega 3, 6, 9, dan EPA/DHA tinggi asalkan kandungan plankton di laut cukup dan asupan nutrisi memadai.
Rintisan usaha
BPPT bekerja sama dengan PT Nuansa Ayu Karamba sebagai rintisan skala usaha nila salina sejak 2014. Setidaknya sudah 20.000 ekor dibesarkan di karamba jaring apung perusahaan ini. PT Nuansa Ayu Karamba menyediakan lahan karamba di Kepulauan Seribu untuk pembesaran, sedangkan pengembangbiakan dan pembenihan di tambak air tawar di Karawang, Jawa Barat. Itu karena organ reproduksi nila tidak berfungsi pada salinitas di atas 5 ppt.
Namun, Kepala Bidang Teknologi Produksi Perikanan dan Peternakan BPPT Dedy Yaniharto mengatakan, bukan tak mungkin di masa mendatang lokasi pengembangbiakan nila salina dibangun di dalam area Kepulauan Seribu asalkan ada wilayah dengan air tawar cukup. Dengan demikian, biaya transportasi benih bisa diminimalkan.
Martin Hadinoto, pemilik PT Nuansa Ayu Karamba, menjelaskan, pemanfaatan nila salina saat ini masih sebatas untuk konsumen di restorannya. Namun, ada prospek positif karena nila salina tergolong yang paling murah dibandingkan ikan laut budidaya lain, termasuk bandeng, dalam menu restorannya.
“Dalam seminggu, 50 kilogram habis,” ujar Martin. Kendala utama sebelum nila salina dilepas ke pasar adalah harga. Biaya pemeliharaan di laut lebih tinggi. Modal budidaya nila air tawar Rp 18.000 per kg, sedangkan nila salina Rp 20.000-Rp 25.000 per kg. Perlu studi strategi pemasaran agar masyarakat semakin tertarik pada nila salina.
Spesies asing
Meski demikian, budidaya nila harus penuh kehati-hatian. Nila merupakan spesies asing, berasal dari Sungai Nil, Afrika, dan masuk ke Indonesia tahun 1969. Di perairan tawar habitat alaminya, nila berpotensi memangsa ikan lain jika kehabisan pakan sehingga mengancam populasi jenis-jenis ikan asli Indonesia.
Terkait itu, Nasir mengatakan, keberhasilan pengembangan nila di laut itu langkah awal. “Berikutnya mungkin ikan lokal. Contohnya, ikan patin dari segi Omega 3 baik,” tuturnya.
Ratu menambahkan, budidaya nila salina pun penuh kehati-hatian. Ketidakmampuan nila salina berkembang biak di laut bisa menjadi cara mengendalikan populasi sehingga tak jadi invasif dan mengancam keragaman jenis ikan di laut. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Riset Nila Salina Menjanjikan”.