Pemerintah perlu mendorong integrasi industri teknologi informasi komunikasi, terutama telekomunikasi seluler dan jaringan, dengan sektor industri strategis lainnya di Indonesia. Upaya ini bakal mampu mengoptimalkan kontribusi bisnis telekomunikasi seluler dan jaringan.
Hal itu diungkapkan ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Hendri Saparini, dalam forum diskusi grup “Mencari Alternatif Solusi terhadap Dampak Depresiasi Nilai Rupiah pada Industri Telekomunikasi”, Senin (7/9), di Jakarta.
Diskusi itu dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia Alexander Rusli, Chief Economist Danareksa Research Institute Kahlil Rowter, Telecom Analyst Merrill Lynch Roshan Raj.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Industri telekomunikasi seluler tumbuh selalu di atas 9 persen. Besarnya kebutuhan komunikasi masyarakat, terutama data, terus memberikan kontribusi positif pada pendapatan perusahaan. Meski begitu, investasi yang mereka keluarkan juga cukup besar, ” ujar Hendri.
Salah satu bentuk investasi adalah modernisasi infrastruktur jaringan telekomunikasi seluler. Beberapa operator tengah menggenjot modernisasi teknologi pendukung 4G LTE. Program pemerataan pita lebar ke seluruh Indonesia juga sedang dikerjakan hingga target selesai tahun 2019.
Namun, pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini berdampak terhadap kinerja industri telekomunikasi seluler dan jaringan. Dia mencontohkan, dampaknya terlihat dari persentase laba bersih. Pada triwulan I-2015, persentasenya 10 persen. Pada triwulan II-2015 turun menjadi 9-9,5 persen.
Sejumlah pembangunan modernisasi prasarana menggunakan dollar AS. Ketika pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tetap terjadi, operator mengalami kesulitan operasional untuk membangun infrastruktur.
Alexander menyatakan, diperlukan solusi jangka panjang untuk industri telekomunikasi seluler dan jaringan. Metode pembangunan infrastruktur berbagi (infrastructure sharing) dapat menjadi alternatif. Selama ini beberapa operator telah melakukannya secara pasif. Apabila upaya itu dilakukan aktif, pemerintah perlu melakukan kajian manfaat positif dan negatifnya.
“Bisnis telekomunikasi kian mengarah pada layanan data. Selain persoalan beban biaya infrastruktur, kendala lain terletak pada ekosistem, seperti mahalnya harga perangkat komunikasi dan penyerapan aplikasi buatan lokal,” kata Alexander.
Dukungan kebijakan pemerintah diperlukan agar kinerja industri telekomunikasi seluler kian efisien. Sebagai contoh, di bidang jasa teknologi informasi komunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk telah menyediakan pusat data yang bisa digunakan siapa saja. Namun, pemerintah, BUMN, dan swasta berlomba membangun sendiri sistem pusat data sehingga pemakaian kurang maksimal.
Contoh lainnya, pemanfaatan infrastuktur jaringan dan layanan telekomunikasi seluler untuk program inklusi keuangan pemerintah. Operator bisa bersinergi dengan perbankan.
Rudiantara mengatakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika mendorong konsep bisnis telekomunikasi dan jaringan berkelanjutan. Salah satunya program infrastruktur berbagi. Program ini tengah digodok bentuk regulasinya.
Kahlil mengungkapkan, untuk menghadapi pelambatan ekonomi, pasar lindung nilai (hedging) diperlukan. Hal ini disebabkan biaya lindung nilai terlalu besar jika ditanggung sendiri oleh operator. (MED)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2015, di halaman 17 dengan judul “Dorong Integrasi TIK dengan Industri Strategis”.