Angkutan Massal

- Editor

Selasa, 8 September 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Selama tiga tahun kepemimpinannya, Wali Kota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa (1998-2001) sukses memaksa warga kotanya meninggalkan kendaraan pribadi dengan menyediakan sistem bus rapid transit Trans Millenio. Publikasi Land Transport Authority Journey Singapura pada November 2014 menunjukkan pengguna transportasi publik di Bogota mencapai 62 persen dari total 6,8 juta penduduk kota tersebut.

Pengadaan angkutan massal memang menjadi kebutuhan mendesak di kawasan perkotaan, termasuk di Indonesia. Dalam rapat terbatas tanggal 25 Februari 2015, Presiden Joko Widodo juga menginstruksikan kota-kota besar di Indonesia segera memulai pembangunan infrastruktur transportasi massal. Sedemikian pentingnya angkutan massal perkotaan, hal ini juga dimasukkan sebagai satu dari 12 agenda sektor prioritas pembangunan infrastruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

20111116PolusiUdara161111-1Angkutan massal perkotaan di Indonesia kian dibutuhkan karena urbanisasi ke kota yang tak bisa dicegah. Wilayah pedesaan akan terus ditinggalkan orang dan perkotaan akan semakin didambakan. Mengacu pada proyeksi Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 65 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2030. Bank Dunia pun memprediksi sebanyak 68 persen dari populasi Indonesia bakal memadati wilayah perkotaan pada 2025.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Proyeksi urbanisasi perlu disikapi serius mengingat tren pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia termasuk tinggi. Dalam laporan bertajuk East Asia’s Changing Urban Landscape: Measuring a Decade of a Spatial Growth, Bank Dunia menunjukkan tingginya tingkat urbanisasi Indonesia di antara negara Asia. Rata-rata pertumbuhan urbanisasi Indonesia 4,4 persen per tahun pada 1960-2013. Sementara negara lain seperti Tiongkok, Filipina, dan India, pertumbuhan kaum urban masing-masing 3,6 persen, 3,4 persen, dan 3 persen setiap tahun.

Dari kerangka waktu, proyeksi-proyeksi ini menunjukkan bahwa ancaman kepadatan penduduk perkotaan sudah di depan mata. Hanya dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun ke depan, transportasi massal di kota-kota seluruh Indonesia perlu segera diwujudkan.

Jika transportasi massal yang andal tak juga terwujud, pemakaian kendaraan pribadi terus meningkat. Imbasnya, kepadatan di jalan raya akan semakin tinggi dan kemacetan parah tak bisa dihindari. Padahal, saat ini lalu lintas di beberapa kota besar sudah mengkhawatirkan.

Publikasi Kementerian Perhubungan tahun 2014 menunjukkan, 10 kota, yakni Bogor, Bandung, Jakarta, Surabaya, Depok, Bekasi, Tangerang, Medan, Makassar, dan Semarang, tercatat sebagai kota termacet di Indonesia. Kecepatan rata-rata kendaraan di 10 kota tersebut hanya 15,32 km/jam hingga maksimal 27 km/jam.

Problemnya, kemacetan menimbulkan rentetan dampak ikutan, yakni kerugian sosial ekonomi. Salah satu contohnya Jakarta yang diperkirakan mengalami kerugian akibat kemacetan senilai Rp 68,2 triliun per tahun.

Sebanyak Rp 38,5 triliun adalah nilai kerugian karena penyakit dari polusi udara, ditambah kerugian dari sisi penggunaan bahan bakar minyak senilai Rp 29,7 triliun. Angka itu belum termasuk biaya sosial dan psikologis yang harus ditanggung warga akibat pemborosan waktu tempuh beraktivitas. Hitungan ini baru Jakarta, belum ditambahkan kerugian di kota-kota lain yang tak kecil. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2015, di halaman 17 dengan judul “Angkutan Massal”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB