Indonesia memiliki 474 lembaga riset atau penelitian yang tersebar di sejumlah perguruan tinggi, kementerian, dan lembaga penelitian non-kementerian. Mestinya, dengan jumlah lembaga penelitian yang sangat melimpah, Indonesia bisa maju pesat di berbagai bidang. Namun, kenyataannya, lembaga-lembaga penelitian tersebut berjalan sendiri- sendiri dan tanpa koordinasi.
Lembaga penelitian di kementerian, misalnya Pusat Penelitian Air Kementerian Pekerjaan Umum, Pusat Penelitian Pertanian, dan Pusat Penelitian Kehutanan. Perguruan tinggi juga memiliki pusat penelitian dengan fokus yang hampir sama.
Adapun pusat penelitian non-kementerian ada tujuh lembaga, di bawah Kementerian Riset dan Teknologi. Ketujuh lembaga itu adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, dan Badan Standardisasi Nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Keberadaan lembaga riset yang bertebaran ini tidak berjalan sinergis. Ego sektoral masih dirasakan,” kata Kepala Dewan Riset Nasional Andrianto Handojo, Selasa (25/10), di Jakarta.
Untuk penelitian biodiesel sawit, misalnya, ada 11 lembaga penelitian yang melakukannya dan berjalan sendiri-sendiri. Anggaran yang dihabiskan untuk penelitian itu sekitar Rp 15,2 miliar, tetapi tidak berlanjut ke tingkat aplikasi massal.
Andrianto mengatakan, Dewan Riset Nasional selama ini diberikan kewenangan sebagai penyusun Agenda Riset Nasional. Namun, keberadaan lembaga ini sering diabaikan sejumlah lembaga riset karena dewan ini berada di bawah Kementerian Riset dan Teknologi.
Direktur Industri, Iptek, dan BUMN Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Mesdin Kornelis Simarmata mengatakan, sebagai grand design penelitian, sebenarnya sudah dirancang sistem inovasi nasional. Di dalamnya sudah ada tujuh bidang iptek prioritas untuk dilakukan. ”Tetap sistemnya belum berjalan,” kata Mesdin.
Tak ada kenaikan gaji
Penelitian hingga saat ini berjalan tanpa arah jelas. Sebanyak 62.995 orang terlibat dalam penelitian. ”Jumlah itu mencakup 58 persen peneliti, 23 persen teknisi, dan 19 persen staf pendukung peneliti,” kata Nani Grace Berliana, peneliti pada Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI.
Ironisnya, meski sama-sama peneliti dan golongan pangkatnya sama, gaji yang diterima setiap bulan bisa sangat jauh berbeda. Profesor atau guru besar di perguruan tinggi negeri golongan pangkat IV/E, misalnya, bisa memperoleh pendapatan di atas Rp 14 juta per bulan berikut sejumlah tunjangan. Namun, profesor riset yang berada di lembaga penelitian non-kementerian, untuk golongan pangkat yang sama, maksimal gajinya Rp 3,6 juta dan tunjangan peneliti Rp 1,6 juta per bulan.
Meskipun terjadi ketimpangan gaji yang sangat lebar, Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta di Bandung, Jawa Barat, Selasa, menegaskan, belum ada rencana untuk menaikkan gaji profesor riset.
”Yang sedang diupayakan adalah mengaplikasikan hasil penelitian,” kata Gusti Muhammad Hatta.
(NAW/ELN/ELD/ISW)
Sumber: Kompas, 26 Oktober 2011