Tahun lalu, suhu rata-rata di Indonesia naik dibanding suhu rata-rata tahun 2013. Padahal, suhu rata-rata 2013 sudah lebih tinggi dibanding suhu rata-rata normal. Dengan demikian, 2014 dinyatakan tahun terpanas yang pernah tercatat di Indonesia.
”Kondisi itu sesuai analisis global yang menyatakan 2014 sebagai tahun terpanas di dunia,” kata Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan di Jakarta, Jumat (20/2). Dalam rilis 2 Februari, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan, kenaikan suhu akan menjadi tren yang berlanjut.
Data WMO, suhu rata-rata global di permukaan darat dan laut tahun 2014 mencapai 0,57 derajat celsius di atas suhu rata- rata jangka panjang, yakni 14 derajat celsius. Suhu rata-rata jangka panjang menggunakan acuan periode 1961-1990. Sebagai perbandingan, suhu tahun 2010 lebih tinggi 0,55 derajat celsius dibanding periode rata-rata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laporan BMKG, anomali atau perbedaan suhu tahun tertentu dibandingkan suhu rata-rata normal pada 2014 merupakan yang paling tinggi dari yang pernah dilaporkan. Suhu udara rata-rata tahun 2014 lebih tinggi 0,68 derajat celsius dibanding suhu rata-rata normal. Anomali itu naik 28,30 persen dibanding anomali suhu rata-rata di 2013 sebesar 0,53 derajat celsius.
Suhu rata-rata Indonesia tahun lalu 27,25 derajat celsius, meningkat dari suhu rata-rata 2013 sebesar 27,1 derajat celsius. Untuk Indonesia, acuan periode rata-rata adalah 1980-1990, sebesar 26,57 derajat celsius.
Dodo menyebutkan, wilayah yang banyak mengalami anomali tinggi, di atas 0,67 derajat celsius, adalah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Jika dikelompokkan berdasarkan kelas anomali, stasiun pengamatan BMKG yang mencatat anomali suhu di atas 0,67 derajat celsius sebanyak 17 stasiun. Pada 2013, hanya 8 stasiun yang mencatat anomali suhu di atas 0,67 derajat celsius.
Tahun 2014, 12 stasiun mencatat anomali suhu pada kisaran 0,33-0,67 derajat celsius, sedangkan empat stasiun mencatat kurang dari 0,33 derajat celsius.
Meskipun selisih suhu 2014 terhadap suhu periode rata-rata secara angka terlihat kecil, dampaknya sangat besar pada proses di atmosfer. ”Contohnya, anomali suhu permukaan laut yang hanya 0,5 derajat celsius bisa memicu El Nino (fenomena peningkatan suhu muka laut yang bisa memberi dampak kekeringan),” tuturnya.
Variabilitas iklim
Meskipun suhu terus naik, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Widada Sulistya mengatakan, terlalu dini mengatakan bahwa suhu rata-rata Indonesia telah berubah menjadi lebih tinggi dengan melihat kenaikan suhu pada 2014. Kondisi itu kemungkinan lebih terkait variabilitas iklim. ”Jangan diartikan suhu telah naik 0,68 derajat celsius. Itu hanya sesaat, tahun itu saja,” ucapnya.
Ia menambahkan, kenaikan suhu tersebut juga tidak bisa hanya dikaitkan dengan perubahan iklim. Sebab, berbagai faktor pada saat itu ikut memengaruhi kenaikan, antara lain adanya El Nino, monsun, dan badai di sekitar Indonesia dalam setahun.
Perubahan tata lingkungan pun bisa memengaruhi kenaikan suhu, seperti perubahan dari lahan hijau menjadi jalan aspal atau gedung-gedung yang mengurangi penyerapan sinar matahari. ”Kompleks sekali. Dalam skala kecil, perubahan di Kemayoran berbeda dengan Depok dan Bogor, karena perubahan lingkungannya berbeda,” ujarnya.
Namun, ia tidak memungkiri, perubahan iklim dalam skala besar kemungkinan memengaruhi peningkatan suhu tahun lalu. Sebab, perubahan iklim memang sedang terjadi dan berakibat pada pemanasan global.
Kepala Bidang Informasi Perubahan Iklim BMKG Nasrullah menambahkan, kenyataan bahwa perubahan iklim menuntut manusia untuk beradaptasi. Salah satunya adalah menghemat penggunaan air mengingat curah hujan cenderung terus turun.
Ia mencontohkan, dari data pada Stasiun Klimatologi Pondok Betung, Tangerang, Banten, jumlah curah hujan normal pada kurun waktu 1981-2010 lebih rendah dibandingkan 1971-2000. Meski perubahan masih dalam perdebatan global, kondisi cuaca patut diantisipasi. (JOG)
Sumber: Kompas, 21 Februari 2015
Posted from WordPress for Android