Perubahan iklim akibat pemanasan suhu global dampaknya kian nyata. Beberapa wilayah kini makin panas dan kering. Sebaliknya, di kawasan lain justru kian basah. Akibat lain adalah meningkatnya frekuensi terjadi cuaca ekstrem.
“Tren kejadian ini, yang jelas akan terus terjadi, perlu diantisipasi dan ditransformasikan jadi tantangan sekaligus peluang,” kata Kepala Badan Meteoro-logi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya, Rabu (23/3), di Jakarta, bertepatan dengan peringatan Hari Meteorologi Sedunia bertema “Lebih Panas, Lebih Kering, Lebih Basah di Masa Depan”. Adapun BMKG menetapkan tema “Anomali cuaca dan iklim: tantangan dan peluang masa depan”.
Pada 2015, suhu permukaan rata-rata dunia sekitar 0,73 derajat celsius di atas catatan data periode 1961-1990 yang rata-rata 14 derajat celsius. Untuk pertama kali suhu 1 derajat celsius di atas periode pra-industri 1880-1899. “Ini berarti kita ada di pertengahan menuju 2 derajat celsius, yakni batasan kehidupan Bumi di level genting,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun lalu, suhu global naik dalam waktu lama, terutama karena emisi gas rumah kaca dan El Nino. Peningkatan suhu terjadi di kawasan Amerika Selatan, Afrika, sebagian besar Eropa, timur laut Eurasia, Timur Tengah, dan bagian barat Amerika Utara.
Data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan, tahun 2011-2015 adalah periode lima tahun terpanas yang pernah tercatat. Perubahan iklim itu meningkatkan risiko terjadi gelombang panas hampir 10 kali selama periode tersebut. Adapun dekade 2001-2010 juga terpanas, dengan suhu rata-rata 0,47 derajat celsius di atas periode 1961-1990.
Pada abad ke-21 ini ada sejumlah kejadian gelombang udara panas, termasuk di India, pada 2002 dan 2003 yang menewaskan lebih dari 1.000 orang. Pada 2003 terjadi gelombang panas di Eropa dan menyebabkan lebih dari 66.000 orang meninggal.
Suhu permukaan tertinggi tercatat 56,7 derajat celsius di Furnace Creek, Greenland, California, Amerika Serikat, pada 10 Juli 1913. Sementara di Lintang Selatan, suhu udara 50,7 derajat celsius di Oodnadatta, Australia.
Atas dasar itu, Andi menekankan perlu langkah adaptasi, di antaranya meningkatkan literasi perubahan iklim, terutama bagi petani dan nelayan. Itu membantu pembuatan keputusan, misalnya menentukan jenis komoditas dan waktu tanam. Bagi nelayan, data cuaca dan iklim membantu waktu berlayar.
Kondisi cuaca dan iklim dunia masa depan tergantung dari kegiatan manusia. Peran aktif menjaga dan memperbaiki mutu lingkungan membuat masa depan lebih baik. Caranya antara lain mengurangi emisi dan penghijauan lahan. (YUN)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Perubahan Iklim Jadi Tantangan”.