Ikan Hias Asing Jangan Dilepaskan ke Perairan
Dua tahun terakhir, identifikasi sementara lintas kementerian menunjukkan, sedikitnya 1.800 spesies flora dan fauna asing berpotensi menjadi invasif di berbagai ekosistem di Indonesia. Data itu digunakan sebagai dasar petugas untuk menangkal introduksi hingga memusnahkan spesies yang telanjur masuk.
”Kami inventarisasi dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kami siapkan menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup,” kata Arief Yuwono, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Rabu (21/5), di Jakarta.
Ia bersama Slamet Budi Prayitno, Guru Besar Perikanan Universitas Diponegoro, menjadi narasumber pada diskusi media memperingati Hari Keanekaragaman Hayati 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Arief, peraturan itu telah masuk biro hukum. Peraturan menteri yang jadi turunan atas UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup itu berisi tata cara atau mekanisme pemantauan dan peredaran spesies asing. Demi memudahkan pengawasan, peraturan dilengkapi foto, nama, dan asal spesies invasif asing.
Spesies asing invasif merupakan jenis flora/fauna yang mendominasi saat diintroduksi atau terintroduksi pada ekosistem baru, baik dari dalam negeri (antarpulau) maupun dari luar negeri. Pada ekosistem baru itu, jenis ini tumbuh dan bereproduksi cepat sehingga merugikan spesies asli.
Ihwal sebaran
Dominasi spesies asing itu umumnya sengaja dibudidayakan untuk diambil manfaat ekonomi atau keunggulan biologi. Contoh, lele dumbo (Clarias gariepinus) yang sejak 1985 dibudidayakan, karena sangat cepat tumbuh, menggeser lele lokal.
Lalu, ikan bawal yang kerabat ikan piranha, diintroduksi ke Indonesia pada 1986 sebagai komoditas ikan air tawar. Namun, pemeliharaan ikan bawal (Collosoma sp) di perairan umum tak direkomendasikan karena bersifat rakus dengan memangsa telur dan ikan kecil lain.
Pada flora, tanaman Acaccia nilotica dari Afrika, yang digunakan sebagai penyekat di TN Baluran, kini malah mendominasi dan mengurangi areal pakan banteng (Bos javanicus). Di TN Gunung Merapi-Merbabu, suksesi letusan 2010 dikuasai A decurrens.
Slamet Budi mengatakan, jenis ikan invasif asing masuk ke perairan Indonesia melalui jalur penghobi ikan hias/ornamen, budidaya pangan ataupun tak sengaja. ”Sebelum tahun 2000, tidak ada analisis mendalam terhadap dampak spesies bagi lingkungan, apalagi terhadap keanekaragaman hayati,” ujarnya.
Namun, keterbatasan pengawasan membuat beberapa spesies mudah masuk dengan mengelabui petugas karantina, seperti ikan piranha (Pygocentrus sp/ Serrasalmus sp), yang mirip ikan bawal dan ikan Etriplus suratinsis yang mirip ikan nila (Oreochromis niloticus).
Ikan-ikan itu masuk sebagai ikan hias. Namun, harganya kini jatuh sehingga rawan dibuang ke perairan umum. Selain kedua spesies itu, Slamet Budi pun menyebutkan, ikan Esox sp dan Palmas sp sebagai ikan ornamen mulai redup sehingga rawan dibuang ke perairan umum.
”Kepada para penghobi, kalau memiliki ikan hias asing yang dirasa sudah tak berharga, dimatikan (eradikasi) saja. Jangan dilepas ke perairan, sangat berbahaya bagi ekosistem dan biodiversitas perairan,” kata dia.
Kasus mencolok beberapa waktu lalu adalah lepasnya ikan aligator dan diduga ikan piranha di Waduk Cirata dan Jatiluhur. Belasan ikan aligator yang dapat berukuran hingga tiga meter itu lepas dari keramba. Ikan itu dikhawatirkan memangsa habis ikan di waduk. (ICH)
Sumber: Kompas, 22 Mei 2014