Yan Rumbiak; Merawat Burung Khas Papua

- Editor

Kamis, 28 Juni 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Selama sekitar 21 tahun, Yan Rumbiak berusaha menjaga dan merawat burung-burung di Papua. Dia dengan setia berusaha agar keanekaragaman burung endemis Papua tetap terjaga. Dengan demikian, mereka yang ingin melihat keanekaragaman burung tersebut bisa bertandang ke taman burung di Biak, Papua.

Di Taman Burung Biak yang terletak sekitar 25 kilometer arah timur kota Biak, atau 30 menit perjalanan dari pusat kota Biak, terdapat 26 jenis burung dengan jumlah keseluruhan 102 ekor. Taman burung itu terletak antara Biak dan Distrik Bosnik.

”Setiap burung mempunyai perilaku yang berbeda. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri,” kata Yan Rumbiak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selama puluhan tahun, pria berusia 54 tahun ini berusaha mengenal dan memahami perilaku setiap jenis burung tersebut. Yan menambahkan, memang masih banyak jenis burung di Papua yang belum menjadi koleksi Taman Burung Biak.

”Tetapi, dari 26 jenis burung yang ada di sini, minimal pengunjung sudah punya bayangan betapa kaya koleksi fauna, khususnya burung, di Papua,” katanya.

Di Papua ada sekitar 852 jenis burung, tetapi yang sudah didokumentasikan sebanyak 602 jenis. Burung-burung itu bersarang di daratan dan 209 jenis di antaranya termasuk endemis. Di sisi lain, sejak tahun 1970, sudah ribuan burung di Papua yang diperdagangkan dan dibawa ke luar Bumi Cenderawasih.

Adapun 26 jenis burung yang menjadi koleksi Taman Burung Biak itu antara lain burung julang irian (Rycticeros plicatus), beo irian, betet (Laniidae), kakatua rawa (Cacatua pastinator), bayam (Ecletus roratus), cenderawasih ekor panjang, cenderawasih merah (Paradisaea rubra), dan cenderawasih berparuh sabit.

Keakraban Yan dengan burung-burung tersebut membuat dia tak pernah bosan menghabiskan waktunya di taman itu. Ia lalu bercerita tentang kesehariannya.

”Begitu sampai (di taman burung) setiap pagi, saya disapa burung beo dengan ucapan ’selamat pagi’,” ujarnya.

Sapaan itu bagi Yan ibarat seorang anak yang tengah belajar bicara dengan orangtuanya. Ia juga mengajari burung beo menyapa pengunjung, misalnya dengan ucapan ”selamat siang”.

”Sapaan (burung beo) itu memberi kesan tersendiri bagi pengunjung,” katanya. Buktinya, jika beo sudah memberi salam, tamu pun tertarik berinteraksi dengan burung-burung di taman itu.

”Tetapi, tamu dilarang meraba atau mengelus burung-burung yang ada di sini. Ini demi menghindari kemungkinan membuat burung tidak nyaman,” katanya.

Untuk menunjukkan betapa penting keberadaan Taman Burung Biak ini, berkali-kali Yan mengatakan, ”Jika ada pejabat, turis, atau siapa saja yang ingin melihat keanekaragaman burung asli Papua, mereka cukup melihatnya di sini, di taman burung,” tuturnya meyakinkan.

Selama ini, taman burung yang didirikan tahun 1991 itu juga menjadi pusat pembelajaran bagi pelajar, mahasiswa, dan peneliti burung. Namun, sebagai salah satu tujuan wisata, sampai kini keberadaan taman burung tak memberi keuntungan bagi pendapatan asli daerah karena tak ada pungutan bagi pengunjung.

Hasil sitaan

Burung koleksi taman ini umumnya diperoleh dari hasil sitaan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Biak dan aparat keamanan di Bandara Biak. Satwa tersebut disita saat hendak dibawa ke luar Papua melalui udara ataupun laut.

Ia menuturkan, penyelundupan burung asli Papua ke luar daerah cukup tinggi. Orang umumnya tergiur dengan uang karena di Biak, misalnya, seekor burung cenderawasih hidup berharga Rp 300.000-Rp 350.000. Sementara burung nuri dihargai Rp 100.000-Rp 150.000 per ekor dan kakatua dihargai Rp 250.000-Rp 400.000.

Setiap bulan ada penyitaan burung oleh aparat keamanan di Bandara Biak dan pelabuhan. Beberapa ekor dari burung sitaan tersebut lalu diserahkan ke Taman Burung Biak, selebihnya dilepaskan ke alam bebas, habitat aslinya.

Setiap hari, Yan membersihkan kandang dari kotoran burung. Kotoran tersebut kemudian dikumpulkan di tempat yang telah disiapkan. Kotoran burung itu lalu diproses agar bisa digunakan sebagai pupuk untuk tanaman di taman burung.

”Selain memberi makan dan minum burung, saya juga bertugas memperbaiki kandang burung yang rusak. Sambil mengerjakan, biasanya saya mengamati apa ada burung betina yang sedang bertelur atau ada yang sakit,” tuturnya.

Yan mengaku tak pernah bolos memeriksa kandang burung, termasuk pada hari libur.

”Saya tak mau nanti ada burung yang mati kelaparan,” ujarnya. Menurut Yan, makanan burung itu berupa pepaya dan biji-bijian, seperti padi, jagung pipilan, dan kacangkacangan.

Flu burung

Yan bercerita, dia sempat khawatir dengan berita serangan flu burung di Indonesia. Namun, sampai kini tak ada penyakit flu burung yang menyerang hewan di taman burung itu. Bahkan, kata dia, Papua dinyatakan bebas dari flu burung.

”Sebenarnya ada dokter hewan yang khusus bertugas menangani burung yang sakit di sini. Setiap bulan dokter datang. Jika ada burung yang sakit mendadak, saya bisa panggil dokter hewan atau petugas lain yang paham penyakit burung,” katanya.

Dia merasa beruntung karena anak-anaknya pun mau membantu sang ayah merawat burung-burung itu. Hal yang membuat Yan khawatir adalah oknum yang tak bertanggung jawab. Mereka berusaha mencuri atau menembak burung di taman burung.

”Selalu ada orang seperti itu, mau mencuri burung. Mereka sampai memanjat tembok pagar. Ini membuat saya khawatir,” tuturnya.

Di sisi lain, ia merasa bahagia jika ada burung yang bertelur, apalagi saat telur itu menetas. ”Anak burung itu kami tunggu sampai berusia sekitar tiga bulan, baru dilepaskan ke alam bebas. Di sini tak ada burung yang diperdagangkan,” ujarnya menegaskan.

Jenis burung yang sering berkembang biak antara lain kasuari, mambruk, kumkum, bayam, dan nuri. ”Burung cenderawasih agak sulit berkembang biak di sini. Cenderawasih biasanya memilih lokasi agak tersembunyi, jauh dari sudut taman. Cenderawasih tak suka ditempatkan di lokasi yang ramai manusia atau lalu lintas kendaraan,” paparnya.

Menurut Yan, Taman Burung Biak membutuhkan biaya operasional sekitar Rp 600.000 per bulan. Dana itu diperoleh dari APBD. ”Uang itu untuk belanja makanan burung,” katanya.

Sebagai pegawai honorer, Yan mendapat gaji Rp 1,4 juta per bulan. Penghasilan itulah yang digunakan untuk menghidupi istri dan kelima anaknya. (KORNELIS KEWA AMA)

Sumber: Kompas, 28 Juni 2012

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan
Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah
Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas
Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik
Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian
Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan
Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien
Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”
Berita ini 24 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 26 Desember 2014 - 09:24 WIB

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan

Jumat, 19 Desember 2014 - 07:11 WIB

Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah

Selasa, 16 Desember 2014 - 05:51 WIB

Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

Selasa, 9 Desember 2014 - 07:26 WIB

Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

Senin, 8 Desember 2014 - 07:27 WIB

Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB