Darah yang diskrining atau diuji secara serologi belum tentu aman dari virus hepatitis B. Hal itu disebabkan virus hepatitis B tersamar tidak teridentifikasi saat diskrining. Karena itu, perlu pengujian secara molekuler dengan nucleic acid amplification test untuk mengetahui keberadaan virus tersebut.
Menurut mantan Direktur Unit Donor Darah Pusat Palang Merah Indonesia (PMI) Yuyun SM Soedarmono, yang melakukan penelitian terkait ini pada 2010, terdapat sekitar 10 persen virus hepatitis B tersamar (occult hepatitis B) yang berada dalam 7.913 kantong darah di Indonesia. “Artinya, penerima darah donor dapat terinfeksi virus hepatitis B (VHB),” ujar Yuyun, setelah seminar “Hepatitis B: A Challenge for Science, Medicine, and Public Health in Indonesia”, Kamis (16/4), di Jakarta.
Virus hepatitis B merupakan penyebab penyakit hepatitis B yang dapat berlanjut menjadi sirosis dan kanker hati. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007, dari 10.391 sampel, terdapat 9,4 persen yang positif hepatitis B. Virus tersebut dapat tertular, antara lain melalui transfusi darah dan penularan dari ibu kepada anaknya pada saat hamil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia, skrining darah donor kebanyakan masih menggunakan serologi yang hanya dapat membuktikan ada tidaknya virus hepatitis B dengan melihat keberadaan protein permukaan VHB (HBsAg), bukan asam deoksiribonukleat (DNA) virusnya. Itu pun keberadaan HBsAg, paling cepat, dapat dilihat pasca 36 hari seorang terpapar VHB. “Ketiadaan HBsAg belum tentu meniadakan DNA VHB. Itulah virus hepatitis B tersamar,” ujar Yuyun.
Oleh karena itu, melalui skrining molekuler nucleic acid amplification test (NAT), DNA virus dapat teridentifikasi sehingga keberadaan virus diketahui.
Sejak 2009, Indonesia telah menerapkan skrining NAT. Namun, baru 12 unit transfusi darah kota/kabupaten yang mampu menerapkan cara itu. Beberapa daerah tersebut di antaranya Makassar, Bali, Semarang, dan DKI Jakarta. “NAT membutuhkan dana yang lebih besar, laboratorium khusus, dan keterampilan,” kata Yuyun.
Untuk serologi, biaya pengganti pengolahan darah sekitar Rp 360.000, sedangkan melalui NAT perlu membayar Rp 650.000. “Ini tidak mahal jika dibandingkan dengan dampak penyakit yang akan ditularkan,” kata Yuyun.
Terkait dengan pembiayaan, Yuyun menyatakan, pemerintah pusat telah memberikan subsidi 30 persen untuk pemerintah daerah. “Pemerintah daerah sebaiknya ikut menyubsidi,” ucapnya.
Susan Irawati dari unit Hepatitis Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengatakan, pencegahan penularan virus hepatitis B dapat dilakukan dengan memberikan vaksin hepatitis B, terutama untuk ibu hamil yang menderita hepatitis B. Vaksin harus diberikan kepada anak 12-24 jam setelah lahir.
Selain itu, seorang seharusnya melakukan deteksi dini secara molekuler untuk mengetahui apakah terpapar virus hepatitis B atau tidak. “Terlebih lagi, gejala klinis seperti penyakit kuning muncul beberapa tahun setelah terpapar virus tersebut,” kata Susan.
Namun, skrining molekuler NAT belum sempurna. Melalui NAT, DNA virus hepatitis B dapat terdeteksi setelah 15 hari seorang terpapar virus itu. (B05)
Sumber: Kompas Siang | 17 April 2015
———————
Perlu Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu Hamil
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, cakupan imunisasi lengkap, termasuk untuk penyakit hepatitis, di Indonesia sudah melebihi harapan Organisasi Kesehatan Dunia, yaitu 80 persen. Namun, tetap ada anak-anak yang menderita hepatitis B. Selain masalah cakupan imunisasi yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia, penularan dari ibu ke anak menjadi salah satu kemungkinan penyebab sehingga perlu ada deteksi dini juga pada ibu hamil.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengadakan seri seminar “Hepatitis B: A Challenge for Science, Medicine, and Public Health in Indonesia”, Kamis (16/4), di Jakarta. Penularan dari ibu ke anak menjadi salah satu kemungkinan penyebab tingkat kesakitan hepatitis B pada anak-anak usia 1-4 tahun tetap tinggi di Indonesia.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007, dari 10.391 sampel, terdapat 9,4 persen yang positif hepatitis B. Pada anak berusia 1-4 tahun, persentase yang positif hepatitis B mencapai 7,3 persen. “Ini keprihatinan, mengapa imunisasi sudah ada, tetapi anak-anak tetap terkena hepatitis. Salah satu yang jadi kemungkinan adalah penularan dari ibu selama kehamilan,” tutur Deputi Direktur Bidang Riset Translasional Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Handojo Muljono, Kamis (16/4), dalam seri seminar “Hepatitis B: A Challenge for Science, Medicine, and Public Health in Indonesia”, di Jakarta.
David mengatakan, potensi penularan hepatitis B dari ibu ke anak menjadi salah satu topik baru di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di Indonesia, dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada awal 2014, dari 1.000 perempuan yang melahirkan, terdapat 2,2 persen yang positif hepatitis B. Hal itu karena darahnya terdeteksi HbsAg positif.
Hasil sementara sebuah studi di Jakarta tahun 2013, pada 5.000 ibu hamil, didapatkan sampel darah dengan HbsAg positif dari 3,18 persen ibu hamil. Dari yang HbsAg positif tersebut, pada sampel darah 98 orang terdeteksi memiliki DNA virus hepatitis B. Sebanyak 98 ibu hamil itu sangat berpotensi menularkan hepatitis B kepada bayinya, bahkan sejak dalam kandungan.
Sementara itu, data sementara dari penapisan bulan Juni-Agustus 2014 di Makassar pada 943 ibu hamil, terdapat 64 orang atau 6,8 persen yang HbsAg positif. Transmisi hepatitis B dari ibu ke janin dipastikan sudah terjadi pada 11 persen ibu hamil yang mendapat penapisan.
Jadi penderita dan sumber penularan
David mengatakan, penularan hepatitis B kepada anak-anak harus dikhawatirkan. Penyebabnya, sekitar 95 persen anak yang tertular virus akan menjadi pembawa penyakit hepatitis B sepanjang hidupnya. Di kemudian hari, mereka rentan menderita penyakit hepatitis B atau menjadi sumber penularan. “Sementara itu, jika hepatitis B menyerang orang dewasa, 90-99 persen kemungkinan sembuh, hanya 1-12 persen yang menjadi pembawa dan bisa berlanjut menjadi sirosis dan kanker hati,” ujarnya.
Perwakilan WHO untuk Indonesia Muhammad Akhtar menyebutkan, WHO memperkirakan ada dua miliar orang di seluruh dunia yang pernah terpapar virus hepatitis B. Lebih dari 240 juta orang di dunia menderita infeksi hepatitis B jangka panjang. Penyakit itu mengakibatkan sekitar 780.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun.
Pemeriksaan USG pada ibu hamil di RS Bunda, Menteng, Jakarta, beberapa waktu lalu. Beberapa deteksi dini pada ibu hamil diperlukan untuk mengantisipasi gangguan, termasuk penyakit yang mungkin ditularkan kepada anak, misalnya hepatitis.Kompas/Riza Fathoni
J Galuh Bimantara
Sumber: Kompas Siang | 16 April 2015
—————-
Keragaman Etnis Menambah Varian Virus
Penelitian Hepatitis B Diperlukan untuk Mencegah Keparahan
Keragaman etnis menambah varian genetika pada virus hepatitis B di tingkat genotipe dan subgenotipe. Saat ini, ada 350-500 populasi etnis di sekitar 17.000 pulau di Indonesia. Karena itu, riset keragaman varian virus diperlukan untuk mencegah keparahan jika virus yang mutasi tidak dikenali sistem kekebalan tubuh.
Meski demikian, vaksin hepatitis B masih efektif terhadap semua varian virus itu. Jadi, program nasional imunisasi hepatitis B sejak dini harus dilanjutkan. “Di Indonesia, ada dua genotipe virus hepatitis B dominan, yakni genotipe B dan C,” kata Meta Dewi Thedja, peneliti senior pada Unit Hepatitis Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam seminar “Hepatitis B: A Challenge for Science, Medicine, and Public Health in Indonesia”, Kamis (16/4), di Jakarta.
Di dunia, ada 10 macam genotipe virus tersebut, mulai dari genotipe A hingga J. Virus hepatitis B adalah virus DNA (asam deoksiribonukleat) untai ganda dengan empat gen penyandi saling tumpang tindih. Pembedaan genetika virus dalam genotipe berdasarkan perbedaan susunan genetika lebih dari 8 persen. Jika ada perbedaan susunan genetika lebih dari 4 persen, genotipe dibagi jadi beberapa subgenotipe.
Virus hepatitis B genotipe B dan genotipe C yang dominan di Indonesia terbagi dalam sejumlah subgenotipe. Genotipe B memiliki sembilan subgenotipe di dunia, enam di antaranya ada di Indonesia. Dari 16 subgenotipe virus hepatitis B genotipe C, Indonesia punya 13 subgenotipe.
Meta menjelaskan, genotipe B dominan di wilayah Indonesia bagian barat hingga Sulawesi dan Nusa Tenggara, lalu wilayah timur didominasi genotipe C, mulai dari Minahasa dan Talaud di Sulawesi Utara hingga Papua. Keragaman virus di tingkat genotipe dan subgenotipe itu dipengaruhi keragaman genetika.
“Dari fisik, penduduk Indonesia beragam. Itu menunjukkan perbedaan genetika,” kata Meta. Variasi genetika manusia memengaruhi perbedaan respons sistem kekebalan tubuh antarindividu pada strain mikroorganisme, termasuk virus hepatitis B.
Faktor lain yang memengaruhi ialah karakter virus untuk mengenali sistem imun dari pejamu (inang). Namun, studi keragaman genetika antaretnis di Indonesia belum lengkap.
Manfaat riset
Menurut Meta, kelanjutan riset keragaman genetik virus hepatitis B di Indonesia bermanfaat untuk merencanakan strategi pencegahan virus yang bermutasi. Itu karena mutasi virus terus berjalan sehingga berpotensi tak dikenali sistem kekebalan tubuh pada masa depan dan menyebabkan wabah penyakit.
Ia mencontohkan, dibandingkan dengan penderita hepatitis B genotipe C, orang yang tertular genotipe B punya respons lebih baik pada terapi interferon dan proporsi lebih rendah berlanjut menjadi sirosis dan kanker hati. Jadi, belum perlu pembedaan terapi sesuai genotipe virus, tetapi perlu studi lebih lanjut.
Deputi Direktur Lembaga Eijkman Bidang Riset Translasional David Handojo Muljono menyatakan, saat orang keturunan Jawa dari Suriname berobat ke Amsterdam, Belanda, karena hepatitis B, virus di darahnya punya genotipe B dan subtipe adw, sama seperti etnis Jawa di Indonesia. Padahal, nenek moyang mereka dari Jawa bermigrasi ratusan tahun lalu, dan daerah itu didominasi genotipe lain. Jadi, perlu studi untuk mencegah kegagalan vaksinasi. (JOG/B05)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2015, di halaman 13 dengan judul “Keragaman Etnis Menambah Varian Virus”.