ARSIP KOMPAS, 28 AGUSTUS 1967
Perlu waktu 10 tahun membangun Waduk Serbaguna dan PLTA Ir H Djuanda. Peletakan batu pertama oleh Presiden Soekarno pada 1957 dan peresmian penggunaannya oleh Penjabat Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967.
Meski nama resminya Waduk Serbaguna dan PLTA Ir H Djuanda (sebagai penghargaan kepada perdana menteri saat itu, lihat https://jatiluhurdam.wordpress.com), bendungan ini lebih populer dengan sebutan Waduk Jatiluhur. Nama ini mengikuti letak waduk di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Ini waduk serbaguna pertama di Indonesia dan pada masanya terbesar di Asia Tenggara. Disebut serbaguna karena memiliki enam manfaat, yakni mencegah banjir di kawasan Karawang dan sekitarnya, mengairi teratur sepanjang tahun kawasan pertanian seluas 242.000 hektar, membangkitkan listrik 187,5 megawatt, menjadi sumber air baku untuk Jakarta, perikanan darat, serta pariwisata dan olahraga air.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pastilah seorang visioner yang dapat memikirkan pentingnya mendirikan bendungan dengan luas genangan 8.300 hektar dan daerah tangkapan keseluruhan 4.500 kilometer persegi dengan segera setelah Indonesia merdeka.
Saat bendungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum itu direncanakan, pemerintah menghitung panen padi dapat dilakukan dua kali setahun di daerah persawahan yang diairi, yaitu Tarum Barat dan Tarum Timur. Itu artinya ada tambahan produksi beras 300.000 ton sehingga meringankan neraca pembayaran Indonesia 30 juta dollar AS pada 1967.
Bendungan ini dibangun bekerja sama dengan Pemerintah Perancis yang menyediakan kredit pembiayaan serta bantuan teknis dan tenaga ahli. Biaya pembangunan waduk 130 juta dollar AS berasal dari Pemerintah Perancis. Pemerintah Indonesia menyediakan dana pendamping Rp 50 miliar uang lama, ditambah Rp 500 juta uang baru.
Selama pembangunan yang berkepanjangan hingga 10 tahun, sebab pemerintah sibuk dengan ”prestise politik” (Kompas, 28 Agustus 1967), 50 bayi Perancis lahir di Jatiluhur karena 325 ahli dari Perancis dan negara Eropa lain bekerja di sana. Apabila dihitung dengan anggota keluarga, total 800 orang Eropa berada di Jatiluhur selama 10 tahun.
Menteri Perindustrian M Jusuf saat peresmian bendungan mengatakan, pembangunan waduk menelan korban 181 orang meninggal—termasuk 1 tenaga ahli Indonesia, 3 orang dari Perancis, dan 1 orang asal Italia—serta 30 orang cacat berat.
Usia Jatiluhur
Dalam perjalanan waktu, tantangan yang dihadapi Waduk Jatiluhur adalah pendangkalan dan penurunan kualitas air meskipun di arah hulu Citarum ada Bendungan Saguling dan Cirata. Kedua bendungan tersebut membuat Jatiluhur lebih terlindungi karena sedimentasi akibat erosi mengendap lebih dulu di dua waduk di bagian atas Jatiluhur.
Meski demikian, peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi di sepanjang DAS Citarum ikut memengaruhi optimalisasi fungsi Jatiluhur.
Sungai Citarum tercemar berat limbah industri dan rumah tangga. Laju degradasi hutan di DAS Citarum melebihi penghijauan kembali kawasan itu.
Dampak kerusakan DAS terasa saat musim hujan basah tahun 2011. Curah hujan yang tinggi menyebabkan tinggi air di waduk di atas tinggi normal 107 meter dari permukaan laut. Akibatnya, air waduk melimpas sehingga membanjiri permukiman penduduk dan waduk rawan jebol.
Waduk Jatiluhur sudah menjalankan fungsinya selama 58 tahun. Apabila manfaatnya ingin dipertahankan hingga 200 tahun lagi, tidak ada cara lain kecuali menghijaukan kembali DAS Citarum, memberikan sanksi berat kepada industri yang membuang limbah ke sungai, dan membantu warga mengelola sampah rumah tangga.–NINUK MARDIANA PAMBUDY
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2015, di halaman 15 dengan judul “Waduk Serbaguna Ke-1”.