Vaksin Merah Putih Disiapkan Menghadapi Varian Baru

- Editor

Sabtu, 11 April 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Vaksin Merah Putih yang dikembangkan Eijkman ini menggunakan platform protein rekombinan yang prosesnya lebih rumit dibandingkan vaksin konvensional, seperti Sinovac yang berbasis virus yang dilemahkan.

Pembuatan vaksin Merah Putih oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman-PT Biofarma saat ini memasuki fase transisi riset dan pengembangan dari skala laboratorium ke skala industri. Calon vaksin yang dijadwalkan akan menjalani uji klinis fase pertama pada akhir tahun ini telah disiapkan untuk menghadapi berbagai varian baru yang saat ini mendominasi.

”Kami masih berupaya melakukan optimasi dan memperbesar skala untuk memenuhi kebutuhan industri sehingga lebih efisien. Uji awal pada hewan cukup menggembirakan, tetapi masih harus diuji pre-klinik,” kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio, yang menjadi peneliti utama vaksin Merah Putih, di Jakarta, Rabu (4/8/2021).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Amin, dengan perkembangan saat ini, uji klinis fase pertama kandidat vaksin ini bisa dimulai akhir tahun 2021 atau paling lambat di awal tahun 2022. ”Vaksin ini kami harapkan nantinya bisa menjadi booster (penguat), selain memenuhi kebutuhan vaksinasi pertama yang masih tinggi,” ujarnya.

Peneliti vaksin Lembaga Eijkman, Tedjo Sasmono, mengatakan, vaksin Merah Putih juga disiapkan untuk menghadapi berbagai varian baru SARS-CoV-2. Oleh karena itu, riset terus berlanjut. ”Saat ini sedang dibuat vektor ekspresi protein yang mengandung varian Delta,” ujarnya.

Tedjo menambahkan, kebutuhan vaksin di masa depan masih akan sangat tinggi, termasuk untuk penguat karena adanya penurunan antibodi. Temuan tentang penurunan antibodi dari vaksin Sinovac ini dilaporkan peneliti China dalam sebuah makalah yang diterbitkan di medRxiv pada hari Minggu (25/7/2021), yang belum ditinjau oleh rekan sejawat. Hasil kajian bisa diakses di https://bit.ly/3zGsxQt.

Studi tersebut menunjukkan, antibodi yang dipicu oleh vaksin Covid-19 buatan Sinovac Biotech (SVA.O) turun di bawah ambang batas sekitar enam bulan setelah dosis kedua untuk sebagian besar penerima. Selain pentingnya mempersiapkan suntikan ketiga, temuan ini merekomendasikan pentingnya monitoring penularan dan keparahan Covid-19 setelah vaksinasi.

Vaksin kuat
Menurut Tedjo, vaksin Merah Putih yang dikembangkan Eijkman ini menggunakan platform protein rekombinan yang prosesnya lebih rumit dibandingkan dengan vaksin konvensional, seperti Sinovac yang berbasis virus yang dilemahkan. ”Vaksin dengan protein rekombinan perlu rekayasa genetik di yeast (ragi) yang kesulitannya tinggi,” ujarnya.

Selama proses rekayasa genetik ini, hasilnya sering kali kurang bagus, sehingga perlu rekayasa lebih lanjut. ”Jadi, tidak bisa langsung jadi,” ujarnya.

Hingga saat ini vaksin Covid-19 berbasis protein rekombinan yang sudah hampir jadi adalah Novavax yang diproduksi oleh Amerika Serikat. Vaksin Novavax telah menjalani uji klinis fase 3, tetapi sejauh ini belum mendapat otorisasi untuk digunakan.

Uji klinis fase 3 vaksin Novavax diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada 30 Juni 2021. Analisis akhir mengonfirmasi kemanjuran keseluruhan 89,7 persen dengan lebih dari 60 persen kasus disebabkan oleh varian B.1.1.7 (Alfa), dan efikasi 96,4 persen terhadap non-B.1.1.7 (non-Alfa).

Dalam uji klinis terhadap 29.960 orang ini, vaksin Novavax menunjukkan kemanjuran keseluruhan sebesar 90,4 persen, hampir setara dengan vaksin berbasis mRNA yang dibuat oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna, dan lebih tinggi daripada vaksin satu dosis dari Johnson & Johnson. Vaksin Novavax juga menunjukkan kemanjuran 100 persen dalam mencegah penyakit sedang atau berat.

Selain efikasi yang tinggi, vaksin berbasis protein rekombinan juga memiliki keunggulan lain dalam penyimpanan yang tidak membutuhkan suhu minus seperti vaksin berbasis mRNA. ”Vaksin berbasis protein rekombinan bisa disimpan di suhu 4 derajat celsius,” ujarnya.

Dengan kelebihan ini, vaksin protein rekombinan diharapkan bisa didistribusikan ke daerah pelosok di Indonesia tanpa harus menyiapkan tempat penyimpanan khusus, sebagaimana vaksin berbasis mRNA.

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 4 Agustus 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB