Porsi penggunaan bahan bakar minyak dalam bauran energi final nasional selama satu dasawarsa terakhir 58,3 persen.
Itu artinya, ketergantungan pemenuhan kebutuhan energi nasional terhadap BBM masih tinggi. Tingkat konsumsi BBM tumbuh rata-rata 6-8 persen setiap tahun, dengan tingkat konsumsi BBM saat ini mendekati 1,1 juta barrel per hari (bph).
Namun, pertumbuhan dan tingkat konsumsi itu tidak diimbangi dengan penambahan kapasitas kilang (refinery) yang memadai. Kapasitas terpasang kilang nasional memang mencapai 1,15 juta bph. Namun, dalam operasionalnya tahun 2011, kilang yang ada hanya mampu mengolah minyak mentah (intake) sebesar 823.000 bph saja (ReforMiner Institute, 2012).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari pengolahan itu tidak semuanya menghasilkan BBM, tetapi hanya sekitar 652.000 bph saja, berarti hanya 79 persen. Output lainnya adalah LPG, produk petrokimia, aspal, dan residu lainnya. Dengan tingkat konsumsi BBM mendekati 1,1 juta bph, berarti ada sekitar 448.000 bph (40 persen) dari kebutuhan BBM nasional dipenuhi dari impor.
Dengan ketergantungan energi nasional terhadap BBM masih tinggi dan sekitar 40 persen BBM impor, ketahanan energi nasional jelas sangat rentan. Gangguan keamanan produksi minyak mentah dan BBM dunia berarti juga gangguan serius terhadap ketersediaan pasokan BBM nasional.
Saling berlomba
Patut dicatat bahwa saat ini dan ke depan, negara-negara di dunia akan saling berlomba memenuhi kebutuhan minyaknya. Dari perbandingan tingkat produksi dan konsumsi yang ada, negara-negara di kawasan Amerika Tengah, Eropa, dan Asia Pasifik rata-rata mengalami defisit masing-masing 9,3 persen, 1,1 persen, dan 21,3 persen. Hanya negara-negara di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Selatan yang masih surplus, masing-masing 1,9 persen, 8,4 persen, dan 21,3 persen.
Artinya, persaingan untuk mendapatkan minyak di pasar internasional akan sangat ketat. Memiliki minyak mentah dan BBM dalam bentuk barang (inkind) akan jauh lebih berharga dan lebih strategis daripada sekadar memiliki uang (daya beli).
Membangun kilang untuk memproduksi BBM bukan lagi pilihan, melainkan keharusan jika kita bersungguh-sungguh memikirkan ketahanan energi nasional. Dari proyeksi konsumsi hingga tahun 2015, kita membutuhkan setidaknya dua kilang baru masing-masing dengan kapasitas 300.000 bph.
Hingga tahun 2020, kita memerlukan lagi tambahan tiga kilang baru dengan kapasitas kurang lebih sama. Negara lain di Asia Pasifik, seperti China, India, Thailand, dan Vietnam, menyadari betul urgensi pembangunan kilang baru untuk memenuhi kebutuhan BBM negaranya.
Mereka berlomba menawarkan insentif fiskal dan nonfiskal untuk mendorong pembangunan kilang. Keringanan pajak, pembebasan bea masuk impor, pembebasan atau pengurangan biaya sewa lahan, hingga kemudahan birokrasi diberikan untuk mempercepat pembangunan kilang.
Gerus devisa
Indonesia sudah lebih dari satu dekade tidak membangun kilang baru dan hanya sibuk membicarakan dari waktu ke waktu. Membangun sendiri dengan dana atau penjaminan pemerintah tidak mau, menjadi fasilitator dengan memberikan kemudahan dan insentif kepada investor pun enggan. Dampaknya sudah kita rasakan bersama, impor BBM makin lama semakin meningkat hingga mencapai 40 persen dari total kebutuhan.
Akibat lain yang tak kalah strategis adalah fakta bahwa impor yang semakin meningkat itu terus menggerus devisa negara. Sejak tahun 2011, neraca perdagangan migas kita untuk pertama kalinya dalam sejarah bahkan sudah defisit, yaitu 851 juta dollar AS. Faktor terbesar adalah impor BBM yang menggerus devisa 26,5 miliar dollar AS. Pada triwulan pertama tahun 2012, nilai impor BBM bahkan sudah 7,4 miliar dolar AS sehingga neraca perdagangan migas keseluruhan defisit 849 juta dollar AS.
Devisa dari ekspor migas ternyata tak cukup untuk membiayai impor. Dari sisi makroekonomi dan ketahanan ekonomi nasional, khususnya menyangkut stabilitas nilai tukar rupiah, impor BBM yang menggerus devisa ini jelas kontraproduktif.
Jika berkomitmen menjaga ketahanan (energi) nasional, pemerintah harus segera merealisasikan pembangunan kilang baru dan berhenti berwacana. Pemerintah dapat memilih sikap progresif: membangun dengan dana yang disisihkan dari pengurangan anggaran subsidi BBM dan kemudian menugaskan Pertamina melaksanakan; atau memilih moderat: pemerintah sekadar memberikan penjaminan, insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang saat ini tengah menjajaki kerja sama dengan Pertamina. Jika terus berlama-lama tidak memilih, berarti pemerintah tidak sungguh-sungguh memikirkan ketahanan energi nasional.
PRI AGUNG RAKHMANTO Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
Sumber: Kompas, 26 Juni 2012