Meski tantangan yang dihadapi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam usia 40 tahun sekarang sangat berbeda dengan tahun 1960 an, terdapat benang merah yang bisa diikuti bahwa ide agar universitas bersifat nasional tak pernah dilepaskan. Statuta UGM Yang termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 1950, berisi ide dasar dan makna bahwa UGM bertindak sebagai universitas yang mengabdi kepada kepentingan nasional, persatuan dan kesatuan bangsa.
Demikian ditegaskan tiga orang mantan Rektor UGM masing masing Prof Dr Ir Herman Johannes (1961 1966), Prof Dr Sukadji Ranuwihardjo (1973 1981), Prof Dr Teuku Jakob(1982 1986), serta rektor UGM sekarang Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri, dalam Panel diskusi Peringatan 100 Tahun Lahirnya Prof Dr Sardjito, sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Peringatan Dies Natalis Ke 40 UGM, 19 Desember hari ini. Almarhum Prof Dr. Sardjito adalah pakar bakteriologi dan farmakologi, salah seorang pendiri UGM, dan pernah menjabat sebagai Presiden (sebutan rektor waktu itu)UGM.
Pada kesempatan itu, diumumkan juga rencana pembentukan Yayasan Prof Dr Sardjito, yang memberikan beasiswa bagi mahasiswa UGM. Dari edaran sumbangan yang dibagikan, langsung terkumpul kesanggupan memberi sumbangan sekitar Rp 3 juta dari para hadirin.
Soekadji Ranuwihardjo mengatakan sesudah 40 tahun berdiri, UGM dan Perguruan Tinggi (Perti) di Indonesia menghadapi berbagai tantangan berbeda. Kalau dahulu hanya ada dua universitas dan satu perguruan tinggi swasta, sekarang terdapat 44 perguruan tinggi negeri (PTN), sebuah Universitas Terbuka (UT), dan 826 PTS di seluruh Tanah Air.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia sependapat dengan Johannes, yang menilai bahwa founding fathers UGM punya pandangan yang sangat jauh yaitu berwawasan nasional. “Walaupun PT bersifat rasional, namun hati yang berciri nasional tak dilepaskan,” katanya.
Nilai kemanusiaan dan budaya, menurut Soekadji telah menjadi lain akibat ketergantungan global dunia pada akhir abad XX. Kondisi itu akan mempengaruhi pula pribadi-pribadi warga masyarakat suatu bangsa, dan itulah tantangan dalam pengembangan perguruan tinggi. “Internasionalisasi harus kita sesuaikan dengan tata nilai kebudayaan Indonesia. Walaupun sifat ilmu mengacu pada kebenaran antarbangsa”.
Bukan sosialis
Atas pertanyaan salah seorang peserta yang menyebut UGM pernah dinyatakan sebagai universitas sosialis Indonesia, Prof Dr Herman Johannes mengatakan membenarkan adanya dokumen tertulis keputusan senat universitas yang menyatakan hal itu, pada akhir masa jabatan Prof. Dr. Sardjito tahun 1961. “Saya kemarin memang mencari dokumen itu sampai tidak tidur. Rupanya bahan dan arsip UGM itu telah dicuri orang. Oleh karenanya, saya imbau agar siapa pun yang mengambil keputusan senat itu dikembalikan kepada rektor. Dan kalau perlu keputusan itu kita cabut,” kata Johannes.
“Saya sendiri selama ini belum pernah melihat dokumen itu,” kata Soekadji sambil menambahkan bahwa lahirnya UU No. 22 Tahun 1961 tak pemah lepas dari sesuatu yang berkaitan dengan istilah Manipol Usdek yang mela hirkan istilah sosialis tadi. Oleh karenanya, kalau kita mau menyebut sosialis,maka sebenarnya seluruh Perti, baik universitas, institut, politeknik, maupun akademi yang ada, hingga tanggal 23 Maret 1989 lalu adalah Perti sosialis, yaitu selama UU Tahun 1961 itu berlaku sebelum diganti UUPN yang baru.
Bibit daerah
Menyoroti kedudukan UGM sebagai universitas nasional, dan sifat almarhum Prof Dr Sardjito yang dinilai memiliki integritas tinggi sebagai ilmuwan, Koesnadi Hardjasoemantri mengatakan sifat nasional yang dimiliki UGM dapat tercapai, dengan akan dilaksanakannya konsep Penjaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD), disamping tetap adanya ujian tertulis mulai tahun depan.
Konsep PBUD memungkinkan tiap propinsi memperoleh jatah untuk mengirim bibit unggulnya dengan kriteria yang ditetapkan oleh rektor UGM. “Ini bisa saja sekadar political move. Kita terima anak-anak daerah, tapi dalam dua tahun mereka semua rontok di UGM. Itu tentu tidak kita inginkan. Oleh karena itu, matrikulasi (kuliah persiapan) akan dilaksanakan agar anak-anak daerah bisa mengikuti kegiatan ilmiah UGM.”
Sementara itu Teuku Jacob mengagatakan berbagai gagasan almarhum Prof Sardjito masih tetap berguna dan relevan di masa sekarang dan yang akan datang. Almarhum Sardjito dinilai aktif dalam keempat aspek ilmu pengetahuan, yaitu pengembangan, penerapan, pendidikan. dan pengawetan/konservasi, dengan berbagai pengalaman dan pengabdian di berbagai bidang masalah dan daerah.
Johannes dalam kesempatan itu juga mengemukakan enam buah konsep almarhum Prof Sardjito dalam pengembangan UGM. Keenam konsep itu adalah UGM bercorak nasional atau kebangsaan dan harus mengabdi pada pembangunan bangsa dan negara, UGM berdasarkan Pancasila, melakukan Penelitian untuk menggali kenyataan atau kebenaran yang ada dalam alam. “Tamatan UGM haruslah ilmuwan yang berbudi dan budiman yang berilmu,” katanya. (hrd)
diambil dari Kompas, 19 Desember 1989