Peneliti dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengembangkan termometer otomatis dengan desain yang bisa diakses semua orang sehingga bisa dibuat secara mandiri.
Penggunaan termometer dengan sensor otomatis untuk memeriksa suhu tubuh selama pandemi sangat dibutuhkan di tempat-tempat tertentu, terutama tempat publik. Namun, termometer tersebut belum banyak digunakan secara luas karena dianggap masih mahal dan premium.
Itulah yang mendorong peneliti dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengembangkan termometer otomatis dengan desain yang bisa diakses publik secara gratis. Tujuannya agar memungkinkan semua orang bisa meniru dan membuatnya secara mandiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada masa pandemi Covid-19, suhu tubuh normal menjadi salah satu syarat bagi masyarakat untuk menjalankan aktivitas di luar ruangan atau saat akan memasuki area tertentu. Mayoritas pemeriksaan tubuh di tempat-tempat umum saat ini masih menggunakan thermometer gun (termometer tembak) atau thermometer handheld (termometer genggam) yang difungsikan oleh operator.
Padahal, berdasarkan hasil sejumlah penelitian, penggunaan termometer tembak justru membuat penyebaran Covid-19 semakin rentan. Sebab, termometer jenis ini sering digunakan secara bergantian dari satu operator ke operator lain. Bahkan, setiap orang juga dimungkinkan untuk saling berdekatan karena termometer ini dioperasikan oleh operator dengan cara mendekatkan sensor ke arah kepala atau tangan.
Salah satu upaya mengurangi aktivitas yang memungkinkan orang saling berdekatan saat pemeriksaan suhu tubuh yaitu dengan menggunakan termometer pemindai otomatis. Termometer jenis ini sudah digunakan di beberapa perusahaan besar dan tempat-tempat publik lainnya seperti stasiun, bandara, dan terminal.
Namun, penggunaan termometer otomatis belum luas karena mahal dan premium. Dari penelusuran di berbagai toko daring, termometer dengan sensor otomatis mayoritas masih dijual dengan harga di atas Rp 1 juta, beberapa kali lipat lebih mahal dibandingkan termometer tembak yang harganya berkisar Rp 100.000-Rp 200.000.
Kondisi tersebut membuat pengajar dan peneliti dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Tomy Abuzairi dari Program Studi Teknik Elektro dan Nur Imaniati Sumantri dari Program Studi Teknik Biomedik, mengembangkan termometer dinding secara otomatis tanpa operator yang dinamai iThermowall.
Tomy menyampaikan, iThermowall dikembangkan karena saat awal pandemi di Indonesia terdapat kelangkaan termometer. Bahkan, tidak sedikit termometer otomatis yang dijual dengan harga yang sangat tinggi. Padahal, dari sisi desain, masyarakat atau pihak tertentu dapat membuat termometer otomatis dengan biaya yang masih terjangkau.
Secara konsep, termometer otomatis bukanlah hal baru. Namun, mayoritas termometer otomatis yang tersedia saat ini didesain dalam bentuk jadi dan sudah dikomersialisasikan.
Ingin agar siapapun dapat mempelajari dan membuatnya sendiri, Tomy dan Nur Imaniati kemudian membuat seluruh modul pengembangan iThermowall dengan konsep open source atau pemberian lisensi secara terbuka dan gratis.
“Dengan adanya kebutuhan yang mendesak saat itu, kami dan komunitas open source Covid-19 di dunia membuat desain yang bisa diakses publik. Ini memungkinkan semua orang dapat mempelajari, membuat, serta memodifikasi desain termometer otomatis tersebut. Jadi kami juga dapat berkontribusi meski termometer itu alat sederhana,” ujarnya, Sabtu (1/5/2021).
Komponen
Agar dapat dipelajari dan dibuat masyarakat umum, iThermowall menggunakan sejumlah komponen yang mudah didapat dengan harga relatif terjangkau. Komponen tersebut terdiri dari unit pengendali mikro (MCU), layar organic light emitting diode (OLED), light emitting diode (LED), sensor termometer infra merah, sensor jarak inframerah, penanda suara (bel/ buzzer), pengisi daya, konverter step-up, dan baterai.
Pengendali mikro yang digunakan berjenis Arduino Nano dengan memori flash 32 kilobyte (Kb), SRAM 2 Kb, dan EEPROM 1 Kb. Alat ini memiliki kemampuan membaca data dari sensor termometer inframerah dan menulisnya ke layar OLED. Adapun sensor inframerah menggunakan modul GY-906 yang mudah diintegrasikan dengan Arduino Nano.
Termometer ini dilengkapi dengan LED hijau yang digunakan untuk menunjukkan suhu di bawah 38 derajat celcius dan LED merah untuk suhu di atas 38 derajat celcius. Bel aktif digunakan untuk memperingatkan selama lima detik jika nilai sensor suhu lebih dari 38 derajat celcius.
iThermowall mendapatkan sumber tenaganya dari dua buah baterai Lithium-ion paralel 18.650 dengan kapasitas 2200 miliampere per jam (mAh) dan tegangan 3,7 volt. Hasil pengujian menunjukkan, daya dari baterai ini dapat bertahan selama tiga hari penggunaan tanpa diisi ulang. Daya tahan baterai bisa lebih lama tergantung dari pemakaian.
“Semua komponen tersebut bisa dibeli di Indonesia. Dari sisi wadahnya, kami sediakan desain yang bisa dicetak sendiri memakai pencetak tiga dimensi (3D). Jasa untuk mencetak 3D saat ini juga sudah banyak di toko-toko daring,” katanya.
Termometer iThermowall dirancang agar mudah direproduksi dengan menggunakan modul yang mudah diakses. Siapapun dapat mengunduh modul tersebut secara gratis di jurnal HardwareX volume 9 yang terbit pada April 2021. Modul tersebut berisi data desain pencetak wadah 3D, pengkodean firmware microcontroller, skema rangkaian, dan tutorial cara merakitnya.
Dalam jurnal tersebut, disertakan pula laman yang dapat menjadi rujukan pembelian komponen beserta total estimasi biaya pembuatannya yakni 35 dolar AS atau sekitar Rp 500.000. Namun, perakit dapat mengganti atau memodifikasi jenis komponen lainnya seperti wadah (casing) sehingga biaya yang dikeluarkan bisa lebih murah.
“Semua komponen tersebut bisa dibeli di Indonesia. Dari sisi wadahnya, kami sediakan desain yang bisa dicetak sendiri memakai pencetak tiga dimensi (3D). Jasa untuk mencetak 3D saat ini juga sudah banyak di toko-toko daring.”
Diaplikasikan masyarakat
Nur Imaniati Sumantri mengatakan, saat ini sejumlah pihak sudah mencoba membuat dan menduplikasikan iThermowall sejak dipublikasikan secara open source pada akhir Desember 2020. Antara lain, organinasi nirlaba di Oakland, Amerika Serikat dan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dari Nusa Tenggara Barat.
Selain itu, pengurus Masjid Al Marjan Cipayung Depok juga membuat iThermowall untuk memeriksa suhu tubuh jamaah sholat Isya dan Tarawih di bulan Ramadhan. Sebanyak empat iThermowall di masjid tersebut dibuat dengan bantuan dari mahasiswa FTUI.
Dekan FTUI Hendri Budiono menyatakan, desain iThermowall yang dikembangkan ini merupakan bagian dari komitmen FTUI dalam menciptakan inovasi yang dibutuhkan di bidang kesehatan. Ia berharap, dengan dipublikasikan secara open source, desain iThermowall bisa dipelajari dan dibuat banyak orang sehingga manfaat dari teknologi ini dapat tersebar secara luas ke masyarakat.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas, 3 Mei 2021