Terapi Target; Memerangi Kanker, Mengurangi Kerusakan

- Editor

Sabtu, 27 September 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kanker sering diidentikkan dengan kematian. Hal itu tak sepenuhnya benar. Penemuan berbagai terapi baru telah membuat kanker tak ubahnya penyakit lain. Jadi, ada harapan besar orang bisa selamat dari kanker dan hidup dengan kualitas baik.

Jesme Fox, Direktur Medis Yayasan Kanker Paru Roy Castle Inggris yang juga Sekretaris Koalisi Kanker Paru Global yang bergerak di bidang advokasi, menyatakan, perlu perspektif lebih positif dalam memandang kanker. ”Penderita kanker memiliki harapan sembuh besar jika ditemukan dini. Karena itu, masyarakat awam perlu mendapat lebih banyak informasi gejala kanker dan mewaspadainya,” kata Fox, di Chicago.

”Gejala kanker paru umumnya baru tampak setelah bertahun-tahun sel kanker tumbuh. Kerap kali mirip gejala penyakit tak serius seperti flu. Batuk kronis lebih dari tiga minggu merupakan salah satu gejala awal kanker paru. Gejala lain adalah batuk darah, sesak napas, sakit atau pegal di pundak, punggung, dada, dan lengan. Itu disebabkan sel kanker menekan saraf.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hal senada dikemukakan Prof Martin Reck, Kepala Departemen Onkologi Toraks, Klinik Paru Grosshansdorf, Jerman. Umumnya pasien didiagnosis pada stadium lanjut. Operasi hanya bisa dilakukan pada kanker paru stadium awal. Jika sudah lanjut, hanya bisa ditangani dengan radioterapi, kemoterapi, atau terapi target. Jika pengobatan lini pertama gagal, hanya 50-70 persen pasien mendapat obat lini kedua. Sisanya berhenti berobat, bisa karena kehabisan biaya atau kondisi fisik tak mampu lagi menerima pengobatan.

Kanker paru merupakan kanker paling umum di dunia. Ada 1,8 juta kasus baru dan 1,6 juta kematian per tahun. Kasus pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Kasus tinggi terjadi di Eropa timur dan selatan, Amerika utara, serta Asia timur. Hampir 80 persen kasus kanker paru didiagnosis pada stadium lanjut, hanya 7 persen pasien hidup lima tahun setelah didiagnosis.

Hampir 85 persen kanker paru karena asap rokok, pada perokok aktif atau pasif, orang yang menghirup asap rokok. Penyebab lain kontak dalam waktu lama dengan asbes, gas radon, dan bahan kimia tertentu. Penyakit paru lain bisa meningkatkan risiko kanker paru.

14750911hPenemuan kemoterapi untuk kanker merupakan kemajuan besar bidang kedokteran paruh kedua abad ke-20. Namun, pada kanker tertentu, seperti leukemia limfoblastik, limfoma Hodgkin, dan limfoma non-Hodgkin, kemoterapi tak mempan. Selain itu, kemoterapi juga tak mampu membedakan sel kanker dengan sel normal sehingga justru merusak sel normal. Akibatnya, pasien bisa terganggu ginjal, jantung, ataupun organ vital lain.

Terapi target
Kini, zat kemoterapi diganti dengan zat terapi generasi baru yang mampu mengenal target tertentu dalam sel kanker. Dengan terapi target, efikasi zat ditingkatkan dan efek samping dikurangi.

Umumnya, terapi target fokus pada protein yang terlibat dalam proses pertumbuhan dan pembelahan sel kanker. Kelompok zat terapi target antara lain penghambat transduksi sinyal, yakni zat penghambat enzim spesifik dan reseptor faktor pertumbuhan tertentu yang terlibat dalam pertumbuhan sel kanker.

Jenis zat terapi lain adalah penghambat angiogenesis, yakni menghambat pertumbuhan pembuluh darah yang mengantar nutrisi dan oksigen ke sel kanker. Ada pula penghambat siklus sel kinase, yakni protein yang mengontrol perintah pembelahan sel (mitosis), dan monoklonal antibodi yang punya banyak fungsi di antaranya menandai sel kanker agar dibasmi sistem kekebalan tubuh, mencegah pembentukan pembuluh darah baru menuju sel kanker, dan membawa zat radiasi ke sel kanker.

Salah satu zat terapi target penghambat transduksi sinyal untuk kanker paru adalah afatinib. Zat itu sudah diizinkan beredar di lebih dari 40 negara, termasuk Jepang, Taiwan, Kanada, Meksiko, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa.

Analisis terbaru menunjukkan, afatinib bisa menurunkan 19 persen risiko kematian pada kanker paru bukan sel kecil (NSCLC) dengan mutasi epidermal growth factor receptor
(EGFR) berupa delesi pada ekson 19 ataupun ekson 21. Pasien hidup rata-rata 3 bulan lebih lama jika mulai pengobatan dengan afatinib dibandingkan yang mulai dengan kemoterapi. Hal itu diumumkan pada pertemuan tahunan Perkumpulan Onkologi Klinik Amerika (ASCO) pada 30 Mei-3 Juni serta konferensi pers di Chicago, AS, akhir Mei lalu.

Peneliti utama Prof James Chin-Hsin Yang dari RS Universitas Nasional Taiwan menyatakan, ”Hasil dua uji afatinib yang independen menunjukkan, pemakaian afatinib sebagai obat lini pertama bisa memperpanjang usia pasien kanker paru dengan mutasi EGFR delesi exon 19 dibandingkan kemoterapi.” Waktu kesintasan (survival) pasien sejak diobati sampai meninggal rata-rata lebih panjang satu tahun dibandingkan pasien yang mengawali dengan kemoterapi.

Prof Martin Schuler dari Pusat Kanker Jerman Barat di RS Universitas Essen, Jerman, yang juga peneliti utama menyatakan, ”Melanjutkan terapi afatinib bersama kemoterapi jika afatinib saja tak mempan, bisa memperpanjang usia pasien dibanding penghentian afatinib dan hanya memakai kemoterapi.”

Sebagai gambaran, 47 persen pasien yang diterapi dengan afatinib dan kemoterapi bertahan hidup dan tak kambuh seusai satu tahun diterapi. Pasien yang hanya dikemoterapi, hanya 2 persen bertahan hidup. Pasien yang tumornya mengecil 2-3 kali lebih banyak pada kombinasi afatinib dan kemoterapi.

Efek samping afatinib yang umum adalah diare, ruam kulit, jerawat, radang mulut, dan tenggorokan. Adapun efek samping kemoterapi umumnya mual, muntah, nafsu makan turun, letih, dan penurunan sel darah putih.

Obat lain yang dibahas adalah nintedanib, obat oral penghambat angiogenesismenarget pada reseptor yang terlibat pembentukan pembuluh darah baru dan pertumbuhan sel kanker. Itu adalah obat lini kedua setelah kemoterapi tak mempan. Hasil uji menunjukkan, nintedanib dikombinasi kemoterapi menurunkan 17 persen kematian dibanding hanya memakai kemoterapi dan meningkatkan kesintasan pasca satu tahun terapi.

Belum populer
Di Indonesia, menurut Achmad Hudoyo, dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/SMF Paru RS Persahabatan, terapi target relatif baru dan terbatas pemakaiannya. Selain baru digunakan untuk kanker paru, harganya relatif mahal, sekitar Rp 800.000 per tablet. Meski bisa diperoleh dengan fasilitas Askes/Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, disyaratkan ada diagnosis berdasarkan pemeriksaan histopatologi dan mutasi EGFR positif.

”Masalahnya, kasus kanker paru dengan mutasi EGFR di Indonesia hanya sekitar 30 persen. Sisanya, kanker paru akibat merokok, bukan karena mutasi EGFR. Selain itu, laboratorium pemeriksaan mutasi EGFR di Indonesia terbatas dan biayanya sekitar Rp 3,5 juta per pemeriksaan,” katanya.

Dari pengalaman Achmad, angka kesintasan terapi target tak jauh beda dengan kemoterapi, tetapi mutu hidup pasien jauh lebih baik karena efek samping minimal. ”Hanya jika ditemukan mutasi EGFR, angka keberhasilan bisa sampai 70 persen,” katanya. Hal itu berdasarkan IPASS Study, penelitian di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Data RS Persahabatan menunjukkan peningkatan kasus kanker paru beberapa tahun terakhir. Kasus pada laki-laki dibandingkan perempuan adalah 6:1. Usia tersering saat diagnosis 40-70 tahun, rata rata 55 tahun. Pada 20 tahun lalu, rata-rata usia pasien 60 tahun. Saat terdiagnosis, kebanyakan sudah terlambat, stadium 3-4. Pada kondisi itu tak bisa dioperasi. Hanya 1,3 persen bisa dioperasi. Masa tengah kesintasan (median survival) riil 1 bulan sampai 9 tahun. Itu karena perbedaan respons dipengaruhi kondisi tubuh pasien, jenis mutasi EGFR, perubahan mutasi ekson, dan perubahan mutasi sel.

Menurut Achmad, faktor yang berpengaruh dalam terapi kanker paru adalah kondisi fisik dan penerimaan obat oleh tubuh, stadium penyakit, jenis histopatologik, penurunan berat badan, efusi pleura (ada cairan di antara lapisan pelindung paru), sindroma vena kava superior (gangguan aliran darah dari kepala dan leher menuju jantung), serta ada penyakit lain. ”Pasien kanker paru dengan tampilan rendah dan stadium penyakit lanjut akan punya prognosis buruk,” katanya.

Di atas semua itu, kanker tetap bukan vonis mati, apalagi jika ditemukan sejak dini dan diobati dengan tepat.

Oleh: Atika Walujani Moedjiono

Sumber: Kompas, 27 September 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB