Masyarakat pada masa Kerajaan Mataram kuno yang menghuni kawasan situs Liyangan telah memiliki pengetahuan dan pemahaman teknologi pembangunan maju dan unik. Hal itu ditunjukkan oleh sejumlah temuan di situs Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Pada tahun kelima ekskavasi, berbagai temuan mematahkan beberapa hipotesis awal para arkeolog. Mereka semula beranggapan, bangunan-bangunan dan jalan di situs itu dibangun dengan desain dan teknik konvensional.
Ketua Tim Peneliti Situs Liyangan dari Balai Arkeologi Yogyakarta Sugeng Riyanto mengemukakan hal itu, Selasa (1/7), di Temanggung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Sugeng, desain dan teknik pembangunan unik itu, antara lain, ditunjukkan dari dua tangga batu yang baru ditemukan tim peneliti situs Liyangan pada Juni 2014. Dua tangga itu terdapat di dua lokasi berbeda, yakni di ujung jalan batu dan jalan tanah.
”Semula kami berpikir semua jalan merupakan jalan batu. Namun, setelah kami gali lagi, jalan batu itu hanya sepanjang 50 meter. Setelah itu beralih menjadi jalan tanah, diakhiri dengan jalan batu,” ujarnya.
Jalan batu, jalan tanah, dan tangga batu itu diyakini dibangun dengan mempertimbangkan fungsi dan kegunaan. Perbedaan jalan itu akan diteliti lebih lanjut oleh Balai Arkeologi Yogyakarta.
Satu tangga batu lain menghubungkan daerah permukiman dan area peribadatan. Temuan itu mematahkan hipotesis para arkelog sebelumnya yang beranggapan kedua area itu hanya dihubungkan jalan batu biasa.
Temuan unik lain adalah ditemukannya kompleks khusus pembuatan logam, gerabah, dan lumbung padi. Pada situs itu juga ditemukan sisa bangunan kayu serta sisa pertanian padi, jagung, pala, dan kelapa.
Sugeng mengatakan, ekskavasi yang dilakukan selama 18 Juni hingga 3 Juli ini adalah tahap akhir dari penelitian jangka menengah pertama. Tahun depan, Balai Arkeologi Yogyakarta akan memulai jangka menengah kedua dengan membuat buku berisi data temuan di situs Liyangan.
Menurut juru pelihara situs Liyangan, Budiono, temuan-temuan itu kerap kali diperoleh dari aktivitas penambangan di sekitar situs. Bersama para petambang, ia dan pihak Balai Arkeologi Yogyakarta telah berkoordinasi dan meminta mereka menjauhi lokasi-lokasi tertentu di mana pernah ditemukan benda cagar budaya.
”Di sekitar lokasi temuan, para petambang juga tidak diizinkan menggali hingga kedalaman 1 meter,” ujarnya. (EGI)
Sumber: Kompas, 3 Juli 2014