Teknologi Bawa Optimisme Masa Depan Pertanian Indonesia

- Editor

Selasa, 4 Desember 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Teknologi membawa harapan baru bagi masa depan pertanian Indonesia. Melalui pemanfaatan teknologi, petani tak lagi dipandang sebagai pekerjaan yang lusuh, melainkan menarik dan menjanjikan. Diharapkan, anak muda pun semakin berminat untuk menggeluti sektor pertanian.

“Setelah memanfaatkan beberapa teknologi, pertanian menjadi lebih menarik. Anak muda dan teknologi ini jika disatukan akan menawarkan satu konsep bertani yang berbeda. Artinya, ada optimisme bahwa pertanian Indonesia akan bangkit,” ujar Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa Samsul Widodo seusai acara pemilihan Duta Petani Muda 2018 di Jakarta, Sabtu (1/12/2018).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Ilustrasi – Petani memanen ‘tebon’ (pohon jagung muda) yang digunakan sebagai pakan ternak di kawasan Kiteran, Pacitan, Jawa Timur, Kamis (21/6/2018).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemilihan Duta Petani Muda merupakan ajang pemilihan inspirator muda pertanian yang bertujuan untuk mendorong peningkatan minat anak muda agar terjun ke dunia pertanian. Pemilihan ini dilakukan setiap dua tahun sekali sejak 2014. Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong perubahan pola pikir bertani di kalangan anak muda bahwa petani merupakan pekerjaan yang menyenangkan dan menjanjikan.

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Pemilihan Duta Petani Muda 2018

Samsul mengatakan, banyak ragam teknologi yang sudah diaplikasikan di bidang pertanian, misalnya melalui konsep smart farming. Pada konsep ini, petani bisa memanfaatan data raksasa sehingga lebih mudah dan cepat mengetahui kondisi kesuburan tanah. Bahkan, cukup mengirimkan profil daun yang terserang hama ke suatu program bisa langsung mengetahui jenis hama dan cara mengatasi hama tersebut.

“Konsep ini menjadi cara anak muda untuk beradaptasi dengan situasi saat ini. Mereka bisa menjadi petani, tetapi petani modern. Selain itu, anak muda inilah yang bisa menjamin sistem ketahanan pangan Indonesia di masa depan. Indonesia adalah negara agraris. Potensinya sangat besar,” ujarnya.

Shintia Arwida, peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) menilai, pemanfaatan teknologi pertanian mutlak diperlukan untuk mewujudkan sistem pangan yang inovatif dan berkelanjutan. Teknologi juga mempermudah ekosistem sistem pangan antara produsen dan konsumen.

“Dulu, petani tidak pernah tahu apa yang diinginkan konsumen. Begitu pula, konsumen tidak tahu juga apa kesulitan petani. Melalui teknologi, masalah bisa lebih mudah diatasi. Mata rantai pertanian yang panjang juga bisa diputus sehingga harga di konsumen bisa lebih rendah dan harga di produsen bisa lebih baik,” kata Shintia.

Untuk itu, dukungan semua pihak menjadi sangat penting. Dukungan ini mulai dari sektor pendidikan, pendanaan, dan pemasaran. Sistem pendidikan di Indonesia belum memuat pengetahuan mengenai pertanian dan potensi yang bisa dikelola. Itulah yang membuat pertanian tidak diminati.

Salah satu petani muda yang juga terpilih menjadi Duta Petani Muda terbaik 2018, Gestianus Sino (35) telah membuktikan, pertanian menjadi lahan mata pencaharian yang menjanjikan. Dengan inovasi yang dilakukannya, lahan yang sebelumnya berupa lapisan batu karang, kini bisa menjadi lahan budidaya berbagai macam sayur dan buah organik, seperti papaya, selada, dan sawi. Ia pun memanfaatkan hewan ternak sebagai penghasil pupuk kandang. Pangan ternak pun diberikan dari produksi yang berlebihan.

“Anak muda itu yang penting berbuat dulu baru berpikir. Jangan terlalu banyak berpikir dan menimbang-nimbang risiko. Solusi bisa dipecahkan sambil berjalan. Kita ini tumbuh di lahan subur. Kalau bisa menghasilkan pangan sendiri, kenapa harus beli dari orang lain, bahkan sampai ke luar negeri?” ujarnya.–DEONISIA ARLINTA

Sumber: Kompas, 3 Desember 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB