Tim peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan sistem deteksi tsunami dan arus laut berbasis teknologi akustik tomografi pantai. Hal ini untuk memperkuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami.
Sejumlah inovasi teknologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk memperkuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami di Indonesia telah banyak dikembangkan. Selain belajar dari kejadian tsunami besar Aceh pada 26 Desember 2004, hal ini juga menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.
Salah satu inovasi peringatan dini gempa bumi dan tsunami dari BPPT yang telah dikembangkan sejak tahun 2005 yakni teknologi buoy atau pelampung bernama Ina-Buoy. Selain itu, ada Indonesia Cable-Based Tsunamimeter (Ina-CBT) atau sistem deteksi tsunami berbasis kabel bawah laut. Kombinasi buoy dan CBT bisa mendeteksi tsunami jarak jauh dan dekat pesisir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini BPPT juga berhasil mengembangkan sistem deteksi tsunami dan arus laut berbasis teknologi akustik tomografi pantai yang disebut Indonesia Coastal Acoustic Tomography (Ina-CAT). Teknologi ini berfungsi mendeteksi gelombang tsunami pada transmisi rambatan gelombang suara yang bisa diterima pasangan stasiun akustik.
Menurut Peneliti Divisi Tomografi Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Wilayah BPPT Reni Sulistyowati, Ina-CAT dikembangkan karena adanya berbagai potensi tsunami di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di selat. Tsunami Selat Sunda yang melanda pesisir Banten dan Lampung akhir Desember 2018 lalu merupakan salah satu contohnya.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA—–Kabel laut atau Cable Based Tsunameter (CBT) yang telah selesai dibuat tim Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) sedang bersiap dilepaslautkan, di tempat kerja Pusat Penelitian Teknologi (Puspitek), Serpong, Kamis (18/12/2019). Kabel laut adalah salah alat peringatan dini tsunami yang mengirimkan informasi anomali tinggi muka air menggunakan kabel fiber optik bawah laut.
Saat itu, perairan di Selat Sunda mengalami gelombang besar karena adanya longsoran akibat letusan vulkanik Gunung Anak Krakatau. Kejadian tersebut belum pernah terjadi sebelumnya sehingga belum ada sistem peringatan dini yang dapat mengantisipasi tsunami maupun dampak yang ditimbulkan.
“Ina-CAT dikembangkan dan diterapkan untuk melengkapi kemampuan deteksi dini tsunami dari sensor Ina-Buoy dan Ina-CBT. Inovasi teknologi dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini karena dapat menangkap sinyal arus yang dibangkitkan oleh tsunami,” ujarnya dalam acara media gathering di Jakarta, Selasa (8/6/2021).
Menurut Reni, kemampuan sensor tekanan atau tide gauge memang dapat menangkap sinyal tsunami. Akan tetapi, sensor tersebut sulit memisahkan antara sinyal tsunami dengan proses fisik lainnya seperti angin di permukaan laut. Jadi, Ina-CAT didesain untuk menangkap frekuensi tinggi lebih dari 20 meter per detik. Sebagai perbandingan, kecepatan gelombang pasang surut berada di kisaran 0,6-2,4 meter per detik.
Reni menjelaskan, Ina-CAT merupakan sistem yang menggunakan analisis inversi rambatan gelombang suara pasangan stasiun di bawah permukaan. Adanya sistem ini membuat Ina-CAT bisa mengukur perubahan muka laut akibat tsunami dan kecepatan radial ketika gelombang tersebut bergerak ke pantai.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA—-Alat pendeteksi dini tsunami bernama Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL) terpasang di Pantai Marina Jambu, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, Senin (23/12/2019). Alat buatan Kementerian Kelautan Perikanan ini mendeteksi tsunami dengan mengamati anomali muka air laut dengan sensor dan kamera CCTV.
Salah satu kelebihan metode ini yaitu dapat memperluas bidang tangkapan untuk mendeteksi gelombang tsunami dibandingkan dengan penempatan sensor pasang surut yang berada pada satu titik lokasi. Lokasi penempatan yang berada di sekitar pesisir juga diharapkan dapat lebih menjaga teknologi ini dari kerusakan atau vandalisme. Namun, hal ini juga perlu adanya kerjasama dengan masyarakat pesisir.
Perangkat sistem
Ina-CAT memiliki sistem yang saling terhubung atau berpasangan dengan platform lain. Minimal terdapat dua alat untuk membuat Ina-CAT dapat berfungsi dan dioperasikan karena cara kerja alat ini yaitu mengirim dan menerima sinyal. Sedangkan dalam membangun sistem Ina-CAT perlu minimal tiga sensor yang terpasang di satu lokasi.
Reni mengatakan, BPPT mengembangkan dua perangkat sensor sistem akustik tomografi yang ditempatkan di darat dan laut. Perangkat sistem ini memiliki komponen transduser yang berfungsi mengirim dan menerima sinyal gelombang suara dari stasiun. Alat ini dikembangkan untuk mendeteksi sifat fisik baik kecepatan arus, suhu, maupun salinitas di semua wilayah perairan baik laut, danau, maupun sungai.
Alat tersebut dapat memberikan informasi secara langsung atau real time karena di dalamnya terdapat sistem telemeteri dan bisa mendapat visualisasi secara spasial di suatu lokasi tertentu dengan tampilan dua atau tiga dimensi. Peralatan ini juga disinkronisasi dengan sistem pemosisi global (GPS) untuk mengetahui posisi dan titik koordinatnya.
“Frekuensi dari peralatan ini juga bisa disesuaikan tergantung dari kebutuhan jangkauan yang diperlukan atau resolusi yang diinginkan,” kata Reni. Adapun frekuensi yang dapat disesuaikan yakni 800 hertz hingga 5 kilohertz.
Hingga 2024, sistem Ina-CAT ini ditargetkan telah dipasang di tiga lokasi, yakni di Selat Lombok (Nusa Tenggara), Teluk Palu (Sulawesi), dan Selat Sunda (Jawa). Tahun ini pemasangan sensor baru dilakukan di wilayah Selat Lombok yakni Karangasem Bali, Gili Trawangan, dan Suar Senggigi. Penempatan sensor yang berada di laut berbeda-beda di setiap wilayah. Untuk sensor yang berada di Selat Lombok ditempatkan pada kedalaman 10 meter di bawah permukaan laut.
“Tahun ini kami ingin mengubah platform wahana apung menjadi buoy seperti yang digunakan Ina-Buoy. Tetapi penempatannya bukan di lepas pantai melainkan di pesisir. Nantinya seluruh komponen elektronik dan sumber tenaga akan dimasukan ke dalam pelampung serta dilengkapi sistem lampu untuk penanda lokasi,” tuturnya.
Menurut Reni, sistem CAT pertama kali dikembangkan oleh para peneliti di Universitas Hiroshima, Jepang, sejak 1990-an. BPPT kemudian bekerjasama dengan Universitas Hiroshima untuk mengembangkan alat ini. Namun, pengembangan awal pada 2014 hanya bertujuan untuk membuat metode pengukuran Indonesian Throughflow (ITF) untuk wilayah selat. Sementara pengembangan untuk deteksi tsunami baru dilakukan pada 2019.
“Sistem ini merupakan satu-satunya sistem deteksi tsunami di dunia yang menggunakan Coastal Acoustic Tomography. BPPT menjadi pengembang pertama alat ini,” katanya.
Kepala BPPT Hammam Riza menyampaikan, seluruh sensor dalam sistem peringatan dini tsunami atau Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) dapat mengirimkan data secara berkesinambungan kepada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Seluruh data akan diolah dan kemudian disebarluaskan kepada masyarakat sebagai upaya mitigasi bencana tsunami.
“BPPT mengembangkan prediksi kebencanaan berbasis kecerdasaan artifisial dengan memanfaatkan sensor di buoy, ocean bottom unit, kabel serat optik, coastal acoustic tomography, dan pemodelan lainnya. Ini merupakan potensi besar jika kita bisa menggabungkan seluruh sensor dengan internet of things,” tambahnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 14 Juni 2021