Gempa di Sulawesi Tengah mengakibatkan pergeseran tanah yang sangat ekstrem di Palu. Ini menandai adanya jalur sesar aktif yang seharusnya dikosongkan dari bangunan.
Gempa bumi yang mengguncang Kota Palu, Sulawesi Tengah menyebabkan pergeseran tanah secara mendatar hingga 5,8 meter. Pergeseran tanah di permukaan ini menandai keberadaan jalur sesar aktif yang wajib dihindari untuk dijadikan bangunan lagi.
Pantauan Kompas di lapangan pada Selasa (6/11/2018), sebagian besar bangunan yang dilintasi jalur sesar aktif ini mengalami kerusakan paling parah, seperti di Kelurahan Pengawu, Kecamaan Tatanga. Jalur sesar ini memotong Jalan Pandanjakaya sehingga terputus. Satu ruas jalan bergeser ke arah utara dan lainnya ke selatan dengan jarak sekitar 3 meter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/PRIYOMBODO–Kondisi kawasan Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah yang luluh lantak karena likuefaksi yang dipicu oleh gempa bermagnitudo 7,4, Kamis (6/10/2018).
“Saat gempa guncangannya sangat kuat. Kami terombang-ambing sehingga tidak sanggup berdiri. Tak lama kemudian lantai rumah seperti terangkat dan kemudian pecah-pecah. Dinding samping rumah ambrol, untung tidak sampai roboh semua,” kata Mega (33), warga Kelurahan Pengawu.
Peneliti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Yudicara, saat ditemui di Palu, mengatakan, pergeseran tanah secara lateral atau mendatar ini ditemukan menerus ke selatan di wilayah Kabupaten Sigi.
“Kami menemukan adanya offset (pergeseran tanah lateral) di persawahan di Desa Bomba, Kecamatan Morawola, Sigi hingga 5,7 meter,” kata dia.
PUSGEN, 2017–Pergeseran tanah di Kota Palu di sepanjang jalur sesar aktif yang dipetakan setelah terjadinya gempa M 7,4. Pergeseran lateral ini diketahui maksimal hingga 5,8 meter.
Ekstrem
Yudicara dan tim saat ini tengah melakukan survei rekahan permukaan akibat sesar, dan studi mikrozonasi untuk mengetahui jenis-jenis tanah di wilayah Sigi. Sebelumnya, survei yang dilakukan peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik Rahmawan Daryono dan Danny Hilman Natawidjaja menemukan adanya pergeseran tanah secara lateral di Kota Palu hingga 5,8 m.
“Selain pergeseran horizontal, kami juga menemukan adanya pergeseran vertikal maksimal 3,5 meter. Pergeseran horizontal dan vertikal ini ekstrem sekali,” kata Mudrik.
Menurut Mudrik, pergeseran ini menandai adanya jalur sesar aktif. Kalau ke depan terjadi gempa lagi, di zona yang sama akan kembali hancur lagi. “Oleh karenanya kami mengusulkan di sepanjang jalur ini sebaiknya dikosongkan dari bangunan, minimal 20 – 100 meter di kanan-kirinya,” kata dia.
Menurut Danny, panjang surface rupture atau retakan permukaan yang menandai jalur sesar aktif ini mencapai 70 km di darat sedangkan yang ke arah laut mencapai 80 km. “Jadi total surface rupture akibat gempa ini mencapai 150 kilometer,” kata dia.
Panjang retakan permukaan yang menandai jalur sesar aktif ini mencapai 70 km di darat sedangkan yang ke arah laut mencapai 80 km.
Danny menambahkan, gempa di Sulawesi Tengah kali ini telah menggerakkan dua segmen sesar Palukoro sekaligus, yaitu segmen Palu dan Saluki. Kedua segmen ini yang dipisahkan jarak selebar sekitar 6 kilometer.
“Dilihat dari data empiris seluruh dunia, ini melampaui batas maksimum jarak pemisahan dua segmen yang bisa dilompati, yaitu 4 kilometer. Jadi ini kejadian di Palu sangat ekstrem yang bisa menjadi pelajaran penting segmentasi sesar untuk analisa seismic hazard (bahaya gempa),” kata Danny.
Rumah Kayu
Dari pantauan di lapangan, bangunan-bangunan di sepanjang sesar aktif yang rusak kebanyakan adalah rumah tembok. Sedangkan untuk rumah panggung dari kayu, rata-rata masih berdiri, sekalipun tanah di bawahnya bergeser.
“Sebenarnya, rumah-rumah di sini dulu rumah panggung dari kayu semua. Baru sekitar tahun 1970-an menjadi tembok. Gempa kali ini baru menyadarkan kami ternyata rumah kayu yang dibangun orang-orang tua dulu lebih cocok dan aman,” kata Yahya Yabido (57), warga Kelurahan Pengawu, yang rumah temboknya hancur total, sementara rumah tetangganya yang dari kayu masih berdiri tegak.
Gempa kali ini baru menyadarkan kami ternyata rumah kayu yang dibangun orang-orang tua dulu lebih cocok dan aman.
“Ke depan saya ingin bangun rumah dari papan. Hanya saja harga kayu saat ini tidak murah,” katanya.
Yudicara mengatakan, survei yang dilakukan timnya juga menemukan fenomena yang sama. Oleh karena itu, dia menyarankan masyarakat di Palu ke depan mempertimbangkan untuk membangun rumah panggung dari kayu. Jika pun hendak membangun rumah tembok, harus menggunakan konstruksi tahan gempa sesuai standar dengan atap yang ringan.–AHMAD ARIF / ANGGER PUTRANTO
Sumber: Kompas, 7 November 2018