Suryadi Ismadji (46) dan Catharina Badra Nawangpalupi (42), dua dari tiga dosen yang mendapat penghargaan dari Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia. Mereka dipilih tim juri yang diketuai Rektor Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Budi Widianarko bersama dua anggotanya, Robertus Wahyudi Triweko (Rektor Unika Parahyangan Bandung) dan Kuncoro Foe (Rektor Unika Widya Mandala Surabaya).
Suryadi Ismadji, Lektor Kepala Prodi Teknik Kimia Fakultas Teknik Unika Widya Mandala Surabaya, diberi penghargaan sebagai dosen berprestasi bidang penelitian dan pengembangan ilmu. Adapun Catharina Badra Nawangpalupi, Lektor Prodi Teknik Industri Unpar Bandung, merupakan dosen terbaik di bidang pengabdian kepada masyarakat. Sementara Elisabeth Rukmini, Lektor Departemen Kimia Fakultas Kedokteran Umum Unika Atma Jaya Jakarta, mendapatkan penghargaan di bidang pendidikan dan pengajaran. Masing-masing mewakili salah satu dari tiga pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi.
”Ketiga dosen terbaik itu hasil seleksi dari 72 peserta. Mereka semua dosen muda, berusia di bawah 45 tahun,” ujar Widianarko di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (9/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penghargaan yang diberikan berupa sertifikat ditambah uang tunai Rp 75 juta. Penghargaan yang ketiga kalinya itu disponsori Ignatius Djajus Adisaputro, pengusaha yang juga pembina Yayasan Sanjoyo sebagai pemilik Unika Soegijapranata, Semarang.
Sayangnya, ketika penghargaan itu diserahkan di Kupang, Senin menjelang malam, hanya Suryadi dan Catharina Badra Nawangpalupi yang hadir dan menerimanya secara langsung. Elisabeth Rukmini berhalangan sehingga penghargaan baginya diterima Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Lanny W Pandjaitan.
Bagi Suryadi, Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia (APTIK) Award melengkapi 11 penghargaan tingkat nasional hingga internasional yang pernah ia raih sebelumnya. Hal itu, antara lain, Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa dari Kementerian Pendidikan Nasional (2012). Lalu, peneliti muda terbaik dari Lembaga Pengetahuan Indonesia (2003), Australian Award bidang penelitian dan inovasi dari Pemerintah Australia tahun 2010, 2011, dan 2013. Ia juga dua kali menjadi finalis Alumni Award Australia bidang penelitian dan inovasi (2008) dan kategori keunggulan bidang pendidikan (2009).
”Saya senang dan bangga karena akhirnya memperoleh penghargaan dari rumah sendiri, APTIK,” tutur Suryadi di Kupang, Selasa (10/3) pagi.
Adapun Catharina Badra Nawangpalupi mengatakan, dirinya sangat bangga dengan penghargaan yang diraihnya kali ini. ”Inti kebanggaan saya adalah karena karya dan pengabdian yang ditekuni selama ini dihargai,” tutur ibu seorang anak itu. Bagi dia, APTIK Award adalah penghargaan kedua setelah sebelumnya dinobatkan sebagai dosen terbaik di lingkungan fakultasnya.
Catharina Badra Nawangpalupi melukiskan, penghargaan itu sebagai pengakuan bahwa yang dilakukannya benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Penghargaan itu sekaligus semakin menguatkan komitmen dirinya untuk terus mengabdi sebagai dosen yang menekuni bidang pengabdian kepada masyarakat.
Apa kehebatan ketiga dosen berprestasi itu? Menurut Budi Widianarko, Suryadi memiliki sejumlah keunggulan, antara lain tema penelitiannya konsisten. Suryadi juga memiliki kemampuan meningkatkan kapasitas penelitian bersama tim, serta melibatkan sejawat dosen dan mahasiswa. Ia berkemampuan mendapatkan hibah penelitian serta membangun jejaring dalam dan luar negeri. Ia juga produktif dengan penelitian yang bermutu dan berdampak luas.
Demikian pula Catharina Badra Nawangpalupi. Tim juri menilai bidang pengabdian kepada masyarakat yang ditekuninya selalu berbasis penelitian. Ia juga dinilai berkemampuan meningkatkan kapasitas lembaga melalui pengelolaan tim yang melibatkan sejawat dosen dan juga mahasiswa. Seperti Suryadi, Catharina Badra Nawangpalupi juga memiliki kemampuan membangun jejaring dalam dan luar negeri, serta kemampuan mendapatkan hibah untuk kegiatannya.
”Catharina Badra Nawangpalupi juga produktif dan kegiatan pengabdiannya berkelanjutan. Kegiatan pengabdiannya berkontribusi dalam penyelesaian berbagai permasalahan strategis untuk kepentingan bangsa,” tutur Budi Widianarko.
Sementara itu, Elisabeth Rukmini yang menjadi dosen berprestasi pada bidang pendidikan dan pengajaran juga memiliki beberapa keunggulan. Ia dinilai inovatif dalam pembelajaran serta memiliki kecintaan dan ketekunan dalam mengembangkan proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa.
Menurut Budi Widianarko, Elisabeth Rukmini memiliki kemampuan mengintegrasikan nilai dasar universitas ke dalam proses pembelajaran.
Sesuai program APTIK, tugas tambahan ketiga dosen berprestasi itu selanjutnya akan berkeliling ke sejumlah perguruan tinggi Katolik naungan APTIK yang kini meliputi 19 universitas di Indonesia. Salah satu tujuannya adalah menginspirasi kalangan sejawat agar semakin mencintai profesinya sebagai dosen.
Bagi Suryadi, ia akan memanfaatkan kesempatan berkeliling ke sejumlah kampus untuk membangkitkan minat penelitian di kalangan sejawatnya. ”Motivasi melakukan penelitian di lingkungan perguruan tinggi kita masih sangat rendah. Kegiatan penelitian yang dilakukan umumnya lebih untuk kepentingan sertifikasi dosen bersangkutan, bukan karena minat,” tutur Suryadi Ismadji.
Semoga yang dilakukan dosen teladan ini dapat menginspirasi sejawatnya untuk semakin mencintai profesinya, termasuk tidak gampang tergoda ke panggung politik.
Biodata
NAMA
Suryadi Ismadji
LAHIR
Surabaya, Jawa Timur, 23 Desember 1969
Istri
Hiannie Djodjoputro
Pendidikan
S-1 Jurusan Teknik Kimia Unika Widya Mandala Surabaya (1992)
S-2 Jurusan Teknik Kimia ITS Surabaya (1996)
S-3 Juruan Teknik Kimia Universitas Queensland, Australia (2002)
Jabatan
Lektor Kepala Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Unika Widya Mandala Surabaya
Nama
Catharina Badra Nawangpalupi
LAHIR
Bandung, Jawa Barat, 4 Desember 1973
Pendidikan
S-1 Teknik Industri ITB Bandung (1997)
S-2 Teknik Manufaktur Universitas New South Wales, Australia (2001)
S-2 Desain Industri dan Rekayasa, TU Delf, Belanda (2003)
S-3 Desain Industri Universitas New South Wales, Australia (2010)
Jabatan
Lektor Program Studi Teknik Industri Unpar Bandung
FRANS SARONG
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2015, di halaman 16 dengan judul “Jadi Teladan bagi Sejawat”.