Kondisi ekonomi makro, antara lain inflasi yang terjaga dan ketidakpastian perekonomian global yang berkurang, membuat Bank Indonesia memperlonggar kebijakan moneter sejak awal 2016.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Kamis (17/3) kembali memutuskan penurunan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6,75 persen. Adapun suku bunga deposit facility (penempatan kelebihan likuiditas perbankan di BI) turun menjadi 4,75 persen dan suku bunga lending facility (suku bunga pinjaman dari BI untuk memenuhi kebutuhan likuiditas harian perbankan) turun menjadi 7,25 persen.
Berdasarkan data BI, terakhir kali BI Rate pada angka 6 persenan adalah pada 15 Agustus 2013, yakni 6,5 persen. Pada 29 Agustus 2013, BI Rate naik ke level 7 persen, kemudian naik lagi menjadi 7,25 persen pada 12 September 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 12 November 2013, BI Rate naik menjadi 7,5 persen. Posisi ini bertahan hingga 18 November 2014, saat naik menjadi 7,75 persen. Namun, angka 7,75 persen hanya berlangsung hingga 17 Februari 2015, saat BI rate turun lagi ke 7,5 persen.
Saat itu kondisi perekonomian global sedang tak menentu, antara lain terkait rencana Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang akan menghentikan stimulus berupa pembelian obligasi. Kebijakan yang diberi nama quantitative easing sebesar 85 miliar dollar AS per bulan tersebut pada akhirnya secara bertahap dikurangi.
Berikutnya, seiring kondisi AS yang membaik, The Fed pun berencana menaikkan suku bunga acuan, yang semula mendekati 0 persen. Indonesia, seperti halnya negara-negara emerging market atau negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, bersiap menghadapi kenaikan suku bunga acuan The Fed. Salah satu langkah adalah menjaga BI Rate di atas 7 persen.
Dengan suku bunga yang menarik, modal asing tetap bertahan atau masuk ke pasar portofolio Indonesia. Indonesia berkepentingan terhadap dana asing untuk masuk ke pasar portofolio. Dari sisi pencatatan dalam neraca pembayaran Indonesia, dana di pasar portofolio ini akan masuk ke transaksi finansial. Jika transaksi finansial surplus, akan “menutup” transaksi berjalan yang defisit.
Kini, BI memandang kondisi eksternal lebih terkendali. Kondisi di dalam negeri pun, ditilik dari sudut ekonomi makro, juga lebih stabil. Beragam pertimbangan tersebut membuat BI memutuskan untuk menurunkan BI Rate. Tak tanggung-tanggung, penurunan BI Rate itu tiga bulan berturut-turut, Januari-Maret 2016, yang masing-masing 25 basis poin (bps) atau 0,25 persen.
Harapannya, penurunan suku bunga acuan dapat diikuti dengan penurunan suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. Salah satu unsur yang diperhitungkan dalam suku bunga kredit adalah besaran biaya dana. Artinya, biaya yang dikeluarkan bank dalam mengumpulkan dana. Jika bank harus memberikan suku bunga simpanan yang tinggi, bank akan membebankan biaya dana itu pada suku bunga kredit.
Pemilik dana yang meminta suku bunga simpanan tinggi tersebut bukan hanya korporasi. Dana besar yang disimpan di perbankan ada yang berasal dari APBN, APBD, badan layanan umum, BUMN, dan BUMD. Pemilik dana-dana besar itu umumnya meminta suku bunga simpanan tinggi. Maka, tak pelak, penurunan BI Rate belum ditransmisikan perbankan ke suku bunga simpanan dan pinjaman.
Untuk itu, perlu langkah lanjutan untuk mendorong suku bunga kredit turun, misalnya tak lagi meminta suku bunga simpanan khusus. Atau, perbankan semakin efisien sehingga biaya operasional tak lagi tinggi. Selain itu, keseimbangan suplai dan permintaan kredit yang seimbang-antara lain mendorong sumber dana dari pasar modal-akan membuat suku bunga kredit semakin rendah. Suku bunga memang tak semata-mata bergantung pada BI Rate. (DEWI INDRIASTUTI)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Maret 2016, di halaman 17 dengan judul “Tak Hanya BI Rate”.