Suhu permukaan laut dan daratan di sebagian besar dunia diperkirakan di atas normal pada September-November 2019, padahal tidak sedang terjadi El Nino. Peningkatan temperatur itu mengindikasikan pemanasan global dan berdampak pada meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologi.
El Niño dan Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena memanasnya suhu permukaan laut di Pasifik bagian tengah dan timur khatulistiwa. Fenomena itu biasanya berkaitan dengan meningkatnya ancaman bencana alam, seperti hujan lebat, banjir di wilayah Amerika Selatan, dan kekeringan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Koteng (55), memanen ikan hias jenis memphis yang dibudidayakan di Situ Telaga Biru, Parigi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/8/2019). Musim kemarau berdampak pada menurunnya debit air situ. Hal itu menyebabkan turunnya kuantitas ikan hias karena banyak yang mati akibat tiadanya sirkulasi air. Musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia diperkirakan baru mencapai puncak pada Agustus 2019. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan kemarau tahun ini akan lebih kering dibandingkan 2018 akibat adanya El Nino. Kompas/Hendra A Setyawan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut data ENSO triwulanan yang dirilis oleh Badan Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO) pada Selasa (3/9), suhu permukaan laut di Pasifik secara umum berada di ambang batas ke tingkat El Nino lemah sejak Oktober 2018. Namun, kondisi ini kembali ke tingkat netral pada bulan Juli. Indikator atmosfer juga beralih ke netral.
“Juli 2019 adalah bulan terpanas dalam catatan, dengan gelombang panas dan cuaca ekstrem lainnya, bahkan tanpa peristiwa El Nino yang kuat,” kata Maxx Dilley, Direktur Bidang Adaptasi dan Prediksi Iklim WMO. Beberapa rekaman badan meteorologi di sejumlah negara di Eropa menunjukkan, anomali suhu di bulan Juli tercatat 2 derajat celsius di atas normal.
“Sinyal dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia sekarang telah menjadi lebih kuat,” kata Dilley.
El Nino biasanya memiliki pengaruh pemanasan pada suhu global, sementara La Nino memiliki efek sebaliknya. Akan tetapi, ketika saat ini ENSO dalam kondisi netral, temperatur ternyata lebih hangat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dilley mengatakan, kondisi itu disebabkan suhu udara dan permukaan laut meningkat akibat terjadi perubahan iklim. Dengan lebih dari 90 persen energi yang terperangkap oleh gas rumah kaca masuk ke lautan, kandungan panas lautan mencapai tingkat rekor baru pada tahun 2018.
Menurut perkiraan WMO, suhu permukaan laut diprediksi akan di atas rata-rata untuk sisa 2019 hingga awal 2020. Kondisi curah hujan mendekati rata-rata diperkirakan bakal terjadi di Pasifik khatulistiwa tengah dan timur, sedangkan curah hujan di atas normal terjadi di Pasifik barat dan Samudra Hindia barat daya meluas ke Afrika khatulistiwa.
Daerah yang diperkirakan mendapatkan curah hujan di bawah normal selama tiga bulan mendatang termasuk Afrika bagian selatan dan barat, Oceania dan Australia, serta Karibia dan Amerika Selatan bagian timur laut. Ada kemungkinan kondisi lebih basah daripada kondisi normal di Tanduk Afrika.
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan, pemanasan global telah menaikkan temperatur rata-rata dari tahun ke tahun. Kondisi itu akan menyebabkan variabilitas iklim antar tahunan El Nino atau La Nina akan berfluktuasi mengikuti tren kenaikan temperatur global tersebut.
Sejalan dengan data global, rekam data BMKG menunjukkan suhu di Indonesia rata-rata lebih tinggi ketimbang rata-rata tahunan. Contohnya, selama Juni lalu, suhu di Indonesia lebih tinggi 1,25 derajat celsius daripada periode 1981-2010. Itu terpantau di Jakarta, Sumatera, sebagian besar Kalimantan, dan Sulawesi.
“Indonesia juga akan terpengaruh perubahan ini,” kata Siswanto. Meskipun terjadi anomali suhu di bawah normal di beberapa daerah di Indonesia pada puncak musim kemarau kemarin, tetapi temponya singkat. Sementara analisis kenaikan suhu dari rata-rata tahunannya terus naik.
“Proyeksi masa depan mengindikasikan tren kenaikan suhu global terus naik dan memiliki konsekuensi terhadap peningkatan siklus hidrologi. Daerah yang basah cenderung lebih basah dan yang kering semakin kering,” katanya.
Kebakaran lahan
Selain itu WMO memperingatkan, kebakaran hutan yang melanda sejumlah wilayah, mulai dari Amazon, Siberia yang merupakan bagian dari Antartika, Greenland dan Alaska, hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan berdampak pada kondisi amosfer.
Selain dampak langsung dari kebakaran kepada penduduk di sekitarnya, kebakaran hutan juga mengeluarkan polusi, meliputi partikel berbahaya dan gas toksik seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, dan berbagai gas lain ke atmosfer.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Dengan peralatan seadanya, anak-anak di Jalan Tampung Penyang 4, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, berusaha memadamkan api yang kian dekat dengan pemukiman mereka, Selasa (3/9/2019). Meskipun demikian, kebakaran tersebut dipicu oleh api dari lahan gambut yang masih terbakar di lokasi-lokasi yang lama.
The European Union’s Copernicus Atmosphere Monitoring System (CAMS) melaporkan, sebanyak 255 megaton karbon dioksida telah terlepas ke atmosfer dalam periode 1 sampai 25 Agustus. “Setiap hari sejak 9 Juni total radiasi dari kebakaran hutan di wilayah Antartika berada di atas rata-rata dibandingkan 15 tahun terakhir. Ini membuat musim panas 2019 menjadi musim api yang luar biasa untuk area ini,” kata ilmuwan ECMWF Mark Parrington.
Partikel dan gas dari pembakaran biomassa hutan dapat dibawa hingga jarak jauh. Contohnya, gumpalan asap dari wilayah Amazon telah menimbulkan kabut asap ke São Paulo, lebih dari 2.500 km dari sumbernya. Bahkan, menurut CAMS, asap menyebar hingga ke pantai Atlantik.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 4 September 2019