Siklus Tsunami yang Menghancurkan Aceh

- Editor

Kamis, 20 Juni 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tumbuh dan hancurnya Aceh masa lalu tidak bisa dilepaskan dari sejarah keberulangan tsunami. Siklus bencana alam ini seharusnya menjadi dasar penataan Aceh, termasuk juga kota-kota lain di Indonesia yang rentan tsunami.

Tsunami dahsyat terbukti pernah melanda Aceh pada tahun 1394. Kawasan pesisir yang hancur kemudian ditinggalkan sebelum kembali dipadati penduduk seiring datangnya pedagang dari mancanegara. Namun, Kota Banda Aceh yang tumbuh di atas tapak bencana itu kembali hancur saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004.

KOMPAS/ZULKARNAINI–Perumahan penduduk di Desa Alue Deah Teungoh, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, seperti terlihat pada Kamis (27/12/2018). Saat tsunami 2004, wilayah ini luluh lantak. Kini, wilayah yang termasuk zona merah itu kembali ramai dihuni warga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Rekonstruksi pola penghunian penduduk di Aceh pada masa lalu itu diketahui berdasarkan kajian kolaboratif tim peneliti yang dipimpin Patrick Daly dan Kerry Sieh dari Earth Observatory of Singapore (EOS), Universitas Teknologi Nanyang. Hasil kajian dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) akhir Mei 2019. Selain dari EOS, peneliti yang terlibat juga berasal dari Insight Centre for Data Analytics (Universitas Maynooth), Universitas Syiah Kuala, dan Centre for Islamic Studies (Universitas Oxford).

Kajian dilakukan dengan menganalisis sebaran puluhan ribu pecahan keramik dari abad ke-11 hingga abad ke-14 dan lebih dari 5.000 ukiran batu nisan, yang ditemukan di pesisir utara Banda Aceh, Aceh Besar. Ada bukti bahwa tsunami yang terjadi sekitar 600 tahun lalu telah menghancurkan sembilan komunitas di sepanjang 40 kilometer pantai ini. ”Hanya kawasan Lamri, yang berada di atas tebing di ujung tanjung, yang selamat dari tsunami saat itu,” sebut Daly dan tim.

Temuan itu melengkapi kajian-kajian sebelumnya, yang telah menemukan perulangan tsunami di Aceh. Contohnya, kajian paleotsunami oleh Monecke dan Widjo Kongko di jurnal Nature, 2008, menemukan dua endapan tsunami besar di Aceh sebelum tahun 2004, yaitu pada 1300 dan 1500.

Kemudian, ada kajian lebih rinci melalui paleogeodesi dengan mengukur pergerakan naik-turun koral mikroatol mengikuti siklus gempa besar pada masa lalu oleh Meltzner dan Kerry Sieh serta tim dipublikasikan di jurnal Geophysical Research, 2010. Kajian itu memastikan tsunami pernah terjadi di Aceh pada 1394 dan 1450.

Lihat video https://www.youtube.com/watch?v=bmKpUxUZPIk&feature=youtu.be

Mitigasi bencana
”Kajian kami kali ini memberikan pembelajaran penting untuk mitigasi bencana ke depan. Tsunami terbukti telah berulang kali terjadi di Aceh, tetapi warga ternyata selalu kembali ke pesisir hingga kemudian hancur lagi,” kata Nazli Ismail, Ketua Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan, Universitas Syiah Kuala, yang terlibat dalam kajian ini.

Menurut Nazli, selain melaksanakan kajian arkeologi, tim peneliti juga mewawancarai para tetua setempat. Kawasan Lamri yang disebut selamat dari tsunami pada 1394 kini masuk dalam Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. ”Lokasi Lamri ini memang di atas bukit, lebih dari 20 meter dari pantai,” katanya.

Rekonstruksi jejak arkeologi menunjukkan, ada sembilan kawasan permukiman yang berada sepanjang 40 kilometer garis pantai yang ditinggalkan karena hancur akibat dilanda tsunami pada 1394. Dengan membandingkan kehancuran daerah pesisir akibat tsunami 2004, para peneliti menyimpulkan, kekuatan tsunami sekitar 600 tahun lalu itu setara kekuatannya dengan tsunami 2004.

Kejayaan Lamri
Lamri yang aman dari tsunami 1394 lalu tumbuh pesat sehingga namanya dikenal di sejumlah negara sebagai pusat perdagangan rempah di Selat Malaka. Pada awal abad ke-15 itu, nama Lamri atau Lamuri banyak disebut dalam referensi China, Arab, dan Melayu.

Salah satu naskah China menyebutkan, Laksamana Zheng He atau dikenal sebagai Cheng Ho pernah berkunjung ke Lamri pada 1405, 1408, dan 1416.
Berdasarkan periode pembuatannya, empat pecahan keramik yang ditemukan Daly dan tim di Lamri diduga adalah sisa persembahan yang dibawa Zheng He.

Lamri yang berhadapan dengan Selat Malaka semakin berkembang hingga 1450 ketika tsunami kembali terjadi di pesisir Aceh. Namun, tsunami pada tahun itu diperkirakan tak sebesar tahun 1394.

Memasuki awal abad ke-16, kawasan Lamri kemudian ditinggalkan. Sebaliknya, pesisir Aceh di sebelah barat Lamri, yang sebelumnya hancur dilanda tsunami pada 1394 dan 1450 kembali ramai, ditandai dengan temuan pecahan keramik yang diproduksi pada periode 1550-1650 di kawasan ini. Sebaliknya, di Lamri tidak lagi ditemukan pecahan keramik pada periode itu.

Salah satu dugaan pergeseran pusat perdagangan dari Lamri ke pantai sebelah barat atau ke arah pesisir Banda Aceh saat ini diduga terkait dengan kedatangan Portugis di Malaka pada tahun 1511. Pedagang Arab kemudian memilih tempat yang lebih terlindung dari Selat Malaka. Kawasan pesisir inilah yang lalu berkembang menjadi Kesultanan Aceh dan kemudian menjadi Kota Banda Aceh, yang hancur dilanda tsunami 2004.

Dengan melihat data ini, kita bisa melihat pembangunan kembali pelabuhan dagang dan permukiman di pesisir Aceh hanya membutuhkan waktu sekitar satu abad setelah tsunami 1394. Namun, setelah tsunami 2004, penghunian kembali pesisir yang sebelumnya hancur karena tsunami terjadi lebih cepat lagi.

Kajian dari Syamsidik dan tim dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala di jurnal Natural Hazard 2017 menunjukkan, hanya dalam sepuluh tahun setelah tsunami, rumah-rumah dan aktivitas ekonomi baru telah dibangun kembali di pesisir yang sebelumnya hancur. Rencana rehabilitasi dan rekonstruksi awal untuk menjauh minimal 500 meter dari garis pantai gagal.

Berdasarkan wawancara terhadap 457 keluarga yang kembali ke zona terdampak, risiko tsunami hanya menjadi perhatian kecil. Beberapa faktor lain justru lebih menjadi perhatian meliputi antara lain harga tanah atau biaya sewa, kedekatan dengan tempat kerja, dan ketersediaan fasilitas publik.

Pembangunan kembali Aceh yang berisiko tsunami menjadi siklus yang berulang. Bahkan, risiko bencana ke depan bisa lebih besar karena jumlah penduduk yang bertumbuh di zona rentan lebih padat dari sebelumnya dan memori tentang bencana yang memudar.–AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 20 Juni 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 79 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB