Perubahan Iklim Meningkatkan Risiko Penyakit
Serangan penyakit blas atau busuk leher pada padi merebak di lumbung-lumbung padi di Pulau Jawa. Penyakit yang disebabkan jamur Pyricularia oryzae itu dikhawatirkan mengancam ketahanan pangan nasional karena penurunan produksi padi di sawah yang terserang penyakit itu rata-rata 39 persen.
Demikian kesimpulan ekspedisi keliling Jawa yang dilakukan para peneliti dari Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagaimana dipaparkan ahli patologi tanaman Suryo Wiyono, Jumat (10/6), di Yogyakarta. Kegiatan itu dilakukan pada 25 Mei-2 Juni 2016, dengan mobil yang dimodifikasi sebagai laboratorium keliling.
Rute perjalanan menyusur jalur utara Pulau Jawa dari Karawang, Indramayu, hingga Madura, lalu kembali melalui jalur selatan Jawa hingga Bogor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Setiap 25 kilometer, tim berhenti dan turun ke sawah untuk melakukan pengamatan dan uji dengan mikroskopis. Total ada 40 titik pengamatan dari 23 kabupaten di empat provinsi,” ujarnya.
Selain Suryo, para pengajar IPB yang turut serta dalam ekspedisi itu adalah Widodo, Hermanu Triwidodo, dan Bonjok Istiaji. Survei dibantu lima mahasiswa.
Dari 40 titik amatan sentra padi di Jawa, menurut Suryo, ditemukan serangan blas di 23 lokasi. Angka penurunan produksi padi di daerah terserang rata-rata 39 persen. “Untuk perkiraan nasional, setelah dihitung dengan keragaman sawah, kemungkinan penurunan produksi padi 12,13 persen dari tahun-tahun sebelumnya,” ucapnya.
Jika produksi padi secara nasional sekitar 70 juta ton per tahun, penurunan akibat serangan blas mencapai 8,61 juta ton. “Angka ini amat besar untuk padi dan mengancam ketahanan pangan kita, tetapi belum jadi perhatian nasional. Jika harga gabah kering panen Rp 4.000 per kilogram, kerugiannya secara nasional bisa mencapai Rp 33,6 triliun,” tuturnya.
Penyakit padi
Suryo menjelaskan, blas merupakan penyakit padi yang disebabkan cendawan atau jamur Pyricularia oryzae. Penyakit itu bertahan pada jerami, rumput-rumputan, dan benih, serta disebarkan angin. Penyakit itu di daerah dikenal sebagai busuk leher, patah leher, atau teklik. Ciri-cirinya, ada bercak daun atau busuk pada leher saat bermalai. Ketika dipanen, bulir padi tak berisi atau puso.
Penyakit blas awalnya dikenal sebagai penyakit penting pada padi gogo. Menurut survei tim IPB tahun 1990-1992, penyakit itu tidak dijumpai sama sekali pada padi di pantai utara (pantura) Jawa Barat. Namun, sejak tahun 2007, penyakit itu mulai melonjak pada padi sawah.
Sebagai gambaran selama periode 10 tahun (2002-2012) data resmi Kementerian Pertanian, luas serangan itu meningkat 12 kali. Namun, data resmi 2014 dan 2015 belum tersedia. “Berdasarkan perjalanan keliling kami, luas serangan blas jauh di atas data resmi pemerintah. Ini harus jadi perhatian serius,” ujarnya.
Menurut Suryo, merebaknya serangan blas itu bisa dipengaruhi perubahan iklim. Seperti dibuktikan dalam percobaan, peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) meningkatkan infeksi penyakit tersebut.
Selain itu, perbedaan suhu maksimal dan minimum harian juga bisa meningkatkan serangan. “Indikasi pengaruh iklim ada, tetapi tak berdiri sendiri. Di lingkungan sawah yang sehat, penyakit karena perubahan iklim bisa dikurangi,” ucapnya.
Petani merugi
Dari pantauan di lapangan, serangan penyakit itu dikeluhkan sejumlah petani di Bantul, Yogyakarta. Rohgiyanto (43), petani yang juga Kepala Dukuh Wonotolo, Desa Canden, Kecamatan Jetis, Bantul, menyebutkan, penurunan produksi padinya akibat serangan penyakit blas mencapai 50 persen.
“Biasanya dari lahan sawah kami seluas 1 hektar bisa menghasilkan 7 ton sawah. Sudah dua kali panen ini hanya dapat 3 ton. Biasanya ditebaskan (diborong) laku Rp 25 juta, kali ini dipanen sendiri karena tak ada yang mau nebas, hanya menghasilkan Rp 12 juta. Padinya kelihatan gemuk, tapi isinya kosong,” tuturnya.
Semua anggota kelompok taninya yang berjumlah 100 orang di dusunnya mengalami nasib serupa. “Bahkan, ada anggota kami yang panennya turun 90 persen,” lanjutnya.
Suratel (52), petani dari Dusun Peranti, Desa Srihandono, Kecamatan Pundong, Bantul, mengatakan, penurunan produksi sawahnya mencapai sepertiga dari biasanya. “Kami mencoba memberi obat pestisida, tetapi belum ada hasil,” ujarnya. (AIK)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juni 2016, di halaman 13 dengan judul “Serangan Blas Ancam Produksi Padi Nasional”.