Serangan Blas Ancam Produksi Padi Nasional

- Editor

Sabtu, 11 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perubahan Iklim Meningkatkan Risiko Penyakit
Serangan penyakit blas atau busuk leher pada padi merebak di lumbung-lumbung padi di Pulau Jawa. Penyakit yang disebabkan jamur Pyricularia oryzae itu dikhawatirkan mengancam ketahanan pangan nasional karena penurunan produksi padi di sawah yang terserang penyakit itu rata-rata 39 persen.

Demikian kesimpulan ekspedisi keliling Jawa yang dilakukan para peneliti dari Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagaimana dipaparkan ahli patologi tanaman Suryo Wiyono, Jumat (10/6), di Yogyakarta. Kegiatan itu dilakukan pada 25 Mei-2 Juni 2016, dengan mobil yang dimodifikasi sebagai laboratorium keliling.

Rute perjalanan menyusur jalur utara Pulau Jawa dari Karawang, Indramayu, hingga Madura, lalu kembali melalui jalur selatan Jawa hingga Bogor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Potong leher“Setiap 25 kilometer, tim berhenti dan turun ke sawah untuk melakukan pengamatan dan uji dengan mikroskopis. Total ada 40 titik pengamatan dari 23 kabupaten di empat provinsi,” ujarnya.

Selain Suryo, para pengajar IPB yang turut serta dalam ekspedisi itu adalah Widodo, Hermanu Triwidodo, dan Bonjok Istiaji. Survei dibantu lima mahasiswa.

Dari 40 titik amatan sentra padi di Jawa, menurut Suryo, ditemukan serangan blas di 23 lokasi. Angka penurunan produksi padi di daerah terserang rata-rata 39 persen. “Untuk perkiraan nasional, setelah dihitung dengan keragaman sawah, kemungkinan penurunan produksi padi 12,13 persen dari tahun-tahun sebelumnya,” ucapnya.

Jika produksi padi secara nasional sekitar 70 juta ton per tahun, penurunan akibat serangan blas mencapai 8,61 juta ton. “Angka ini amat besar untuk padi dan mengancam ketahanan pangan kita, tetapi belum jadi perhatian nasional. Jika harga gabah kering panen Rp 4.000 per kilogram, kerugiannya secara nasional bisa mencapai Rp 33,6 triliun,” tuturnya.

Penyakit padi
Suryo menjelaskan, blas merupakan penyakit padi yang disebabkan cendawan atau jamur Pyricularia oryzae. Penyakit itu bertahan pada jerami, rumput-rumputan, dan benih, serta disebarkan angin. Penyakit itu di daerah dikenal sebagai busuk leher, patah leher, atau teklik. Ciri-cirinya, ada bercak daun atau busuk pada leher saat bermalai. Ketika dipanen, bulir padi tak berisi atau puso.

Penyakit blas awalnya dikenal sebagai penyakit penting pada padi gogo. Menurut survei tim IPB tahun 1990-1992, penyakit itu tidak dijumpai sama sekali pada padi di pantai utara (pantura) Jawa Barat. Namun, sejak tahun 2007, penyakit itu mulai melonjak pada padi sawah.

Sebagai gambaran selama periode 10 tahun (2002-2012) data resmi Kementerian Pertanian, luas serangan itu meningkat 12 kali. Namun, data resmi 2014 dan 2015 belum tersedia. “Berdasarkan perjalanan keliling kami, luas serangan blas jauh di atas data resmi pemerintah. Ini harus jadi perhatian serius,” ujarnya.

Menurut Suryo, merebaknya serangan blas itu bisa dipengaruhi perubahan iklim. Seperti dibuktikan dalam percobaan, peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) meningkatkan infeksi penyakit tersebut.

Selain itu, perbedaan suhu maksimal dan minimum harian juga bisa meningkatkan serangan. “Indikasi pengaruh iklim ada, tetapi tak berdiri sendiri. Di lingkungan sawah yang sehat, penyakit karena perubahan iklim bisa dikurangi,” ucapnya.

Petani merugi
Dari pantauan di lapangan, serangan penyakit itu dikeluhkan sejumlah petani di Bantul, Yogyakarta. Rohgiyanto (43), petani yang juga Kepala Dukuh Wonotolo, Desa Canden, Kecamatan Jetis, Bantul, menyebutkan, penurunan produksi padinya akibat serangan penyakit blas mencapai 50 persen.

“Biasanya dari lahan sawah kami seluas 1 hektar bisa menghasilkan 7 ton sawah. Sudah dua kali panen ini hanya dapat 3 ton. Biasanya ditebaskan (diborong) laku Rp 25 juta, kali ini dipanen sendiri karena tak ada yang mau nebas, hanya menghasilkan Rp 12 juta. Padinya kelihatan gemuk, tapi isinya kosong,” tuturnya.

Semua anggota kelompok taninya yang berjumlah 100 orang di dusunnya mengalami nasib serupa. “Bahkan, ada anggota kami yang panennya turun 90 persen,” lanjutnya.

Suratel (52), petani dari Dusun Peranti, Desa Srihandono, Kecamatan Pundong, Bantul, mengatakan, penurunan produksi sawahnya mencapai sepertiga dari biasanya. “Kami mencoba memberi obat pestisida, tetapi belum ada hasil,” ujarnya. (AIK)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juni 2016, di halaman 13 dengan judul “Serangan Blas Ancam Produksi Padi Nasional”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB