Semen Rembang; UGM Kaji Sanksi bagi Dua Dosen

- Editor

Kamis, 16 April 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Universitas Gadjah Mada mengkaji pemberian sanksi terhadap dua dosennya, yakni Eko Haryono dan Heru Hendrayana, terkait kesaksian dalam sidang gugatan penerbitan izin lingkungan pendirian pabrik semen di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kesaksian mereka dinilai melanggar asas kepatutan.

“Keputusan memberi sanksi administratif itu berdasar kajian tim independen UGM untuk meneliti kesaksian kedua dosen itu,” kata Wakil Rektor UGM Bidang Kerja Sama dan Alumni, Paripurna, dalam konferensi pers, Rabu (15/4), di Yogyakarta.

Pada 19 Maret 2015, dosen Jurusan Geografi dan Ilmu Lingkungan UGM Eko Haryono dan dosen Jurusan Teknik Geologi UGM Heru Hendrayana, menjadi saksi ahli untuk PT Semen Indonesia (PTSI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Mereka bersaksi dalam perkara gugatan penerbitan izin lingkungan pendirian pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kesaksian Eko dan Heru itu lalu diprotes warga Rembang yang menolak pendirian pabrik semen, karena dianggap bertentangan fakta lapangan. Kesaksian keduanya juga dinilai melegitimasi penambangan gamping di Pegunungan Kendeng Utara. Pada 20 Maret 2015, ratusan warga dan mahasiswa berunjuk rasa memprotes kesaksian Eko dan Heru di Kampus UGM.

Melanggar
Paripurna mengatakan, menindaklanjuti pengaduan masyarakat, UGM membentuk tim independen beranggotakan sejumlah dosen dan mahasiswa. Tim yang bekerja 1-10 April 2015 itu mengkaji apakah kesaksian Eko dan Heru melanggar aturan atau tidak. “Dosen dalam tim itu dipilih berdasar keahlian, berasal dari berbagai disiplin, misalnya ilmu geografi, hukum, antropologi, dan kehutanan,” ujarnya.

Berdasar kajian tim, menurut Paripurna, kehadiran Eko dan Heru dalam sidang sebenarnya sah dan sesuai keahlian. “Namun, dalam komunikasi selanjutnya (di sidang), muncul kesaksian yang tak sesuai asas kepatutan saksi ahli, antara lain memberi kesaksian yang dapat mengarahkan satu kesimpulan tertentu. Padahal, kedua pakar itu tidak melakukan penelitian langsung di wilayah Rembang,” katanya.

Dihubungi Rabu malam, Heru membantah penilaian kesaksiannya mengarahkan pada kesimpulan tertentu. Saat bersaksi dalam sidang, ia menyatakan tak memberi penjelasan spesifik lokasi karst di Rembang yang akan ditambang PT Semen Indonesia.

“Saya memang menjelaskan soal kondisi geologi kawasan regional Rembang. Dalam ilmu geologi, regional Rembang itu mencakup wilayah sangat luas, tidak spesifik pada lokasi yang menjadi obyek perkara,” katanya.

Ia menilai ada kesalahan persepsi tentang kesaksiannya dalam sidang di PTUN Semarang. Itu muncul karena keterangannya yang berdasar ilmu geologi dinilai pakar disiplin ilmu lain.

Sementara, Eko mengatakan, kesaksiannya sesuai kaidah disiplin ilmunya. Saat menjawab pertanyaan dalam sidang, ia tak bermaksud mengarahkan pada kesimpulan tertentu. “Hanya menjawab pertanyaan,” ujarnya.

Belum diputuskan
Bentuk sanksi administratif kepada Eko dan Heru belum diputuskan. Rektor UGM akan berkomunikasi dengan anggota senat universitas sebelum memutuskan. “Sanksi administratif macam-macam, dari peringatan hingga pemberhentian. Bentuk sanksi untuk keduanya saya belum bisa menyatakan,” katanya.

Ketua tim kajian independen UGM, Pujo Semedi, mengatakan, UGM berpendapat saat ini tak ada kebutuhan mendesak bagi industri semen meningkatkan produksi. “Tapi, UGM tidak dalam posisi menerima atau menolak,” katanya.

Terkait pemberian sanksi, Joko Prianto, warga Rembang yang berunjuk rasa ke UGM beberapa waktu lalu, mengatakan, kedua dosen melukai rakyat. “Bagaimana bisa ilmuwan tanpa penelitian ke lapangan mengatakan di sana layak di tambang dan tidak ada air. Kalau mau ke lapangan dan jujur, mereka akan menemukan fakta yang benar,” ujar Joko.

Riwanto, ahli demografi sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang meneliti Pegunungan Kendeng, mengatakan, ilmuwan wajib berbicara berdasar data. Ilmuwan juga harus memperhatikan kepentingan publik.(HRS/AIK)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 April 2015, di halaman 13 dengan judul “UGM Kaji Sanksi bagi Dua Dosen”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma
Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Berita ini 30 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 12 November 2025 - 20:57 WIB

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB