Sekolah Masa Lalu…

- Editor

Kamis, 22 Juni 2000

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SEKOLAH DI DALAM KERATON YOGYAKARTA

Dalam bukunya yang kontroversial “Bebas Dari Sekolah”, Ivan Illich berpendapat bahwa hak manusia untuk belajar telah dihancurkan oleh kewajiban lembaga bernama sekolah. Nampaknya pendapat ini telah terjawab melalui buku “Toto Chan”, pengalaman seorang guru Jepang yang justru menerapkan konsep “Sekolah bebas”, yaitu sekolah yang dilakukan dimana saja, kontekstual, dan membebaskan anak untuk berkreasi. Walhasil “sekolah bebas” mampu mengembangkan anak-anak dari yang termiskin, terbandel. Bagaimana dengan sekolah di Indonesia ? Seorang pakar pendidikan Indonesia, Pater J. Drost Sj pun mengecam sistem sekolah yang terjadi di negeri ini, “Semangat belajar murid dirusak, mereka frustrasi. Mereka tidak diberi kesempatan belajar sesuai dengan kemampuan intelektual mereka”.

Melihat sistem sekolah yang morat marit -mahalnya biaya-kurangnya fasilitas- Apatis tentu bukan sikap yang dianjurkan. Karena banyak tokoh sejarah yang pernah merasakan kepahitan sekolah, tapi mereka tetap mampu berperan dalam pengembangan peradaban. Atau menengok pengalaman pendidikan negeri ini, ternyata banyak semangat yang dapat diserap ke masa sekarang. Dan ternyata begitu banyak usaha untuk memberikan alternatif belajar bagi masyarakat tanpa masyarakat tanpa harus muluk-muluk berbicara soal pemerataan. Tidak heran jika sampai saar ini Yogyakarta terkenal dengan sebutan kota pendidikan karena tradisi belajar telah ditanamkan sejak berdirinya Keraton Yogyakarta tegak berdiri, maka didalamnya dibangun gedung sekolah yang disebut Sekolah Tamanan dan pengajarnya adalah para abdidalem Keraton. Materi pelajarannya menyangkut pemahaman tentang budaya Jawa berikut tata negara Keraton. Misalnya Bahasa, Kesusteran Djawa Baru serta kawi dan sejarah Keraton di tanah Djawa – diajarkan oleh Reh Kawedanan Kapundjanggan. Kemudian pelajaran menembang [menyanyi]             diajar oleh para pesinden, abdidalem Kawedanan Reh Karawitan. Materi tata Negara, Undang-Undang Sepuluh dan Angger Pradata lan angger pidono [hukum perdata dan hukum pidana] diberikan oleh para Djaksa dan Suragama. Beberapa mata pelajaran lain dikategorikan dalam empat bidang yaitu agama Islam, ketentaraan, kebudayaan dan pertanian. Materi ketentaraan misalnya memilih dan menunggang kuda; latihan berperang setiap hari Sabtu di alun-alun utara; latihan melepas anak panah. Sedangkan materi kebudayaan mencakup pelajaran menari bagi kaum puteri dan pangeran, menatah dan meyungging wayang, membuat dan melaras gamelan. Dan yang terakhir adalah materi pertanian, seperti memelihara segala tanaman, sawah, perkebunan; saluran pengairan dan bendungan untuk pertanian rakyat. Mencermati materi pelajarannya, maka bisa terlihat bahwa sekolah sangat dekat dengan konteks kehidupan muridnya. Misalnya penguasa Keraton sangat tahu bahwa tipe daerahnya adalah agraris, sehingga sejak dini disiapkan para ahli pertanian. Mungkin hal ini bisa menjadi semangat bagi pendidikan jaman ini agar membuat kurikulum yang dekat dengan lingkungan kehidupan anak. Sayangnya sejak tahun 1830 banyak materi pelajaran sekolah yang dikurangi, hanya akhirnya hanya bisa bertahan hingga akhir tahun 1900-an, yaitu di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

PEMENANG HADIAH NOBEL, BERBICARA TENTANG SEKOLAH:

Albert Eistein [1879-1955] Pemenang nobel fisika tahun 1921.

“Waktu bekerja saya lebih banyak dihabiskan di laboratorium fisika. Sebagai penyeimbang, saya pergunakan waktu di rumah untuk mempelajari karya Kirchoff, Helmholtz, Hertz. Dalam belajar saya selalu mencari inti sebuah pelajaran, lalu mencoba merubah esensinya. Disinilah terjadi bentrokan, tentu saja, karena kenyataannya mereka menjejalkan seluruh materi ke kepala orang untuk ujian, tak peduli apakah murid suka atau tidak. Sebenarnya metode pendidikan modern belum memberikan tempat bagi eksperimen”.

Rabindranath Tagore [1861-1941]

Sastrawan India pertama yang memenangkan hadiah nobel di bidang sastra pada tahun 1913.

“sekolah seperti sebuah pabrik yang dirancang khusus untuk memproduksi manusia yang seragam. Ketika saya masuk ke bangku sekolah, saya sadar bahwa saya bukan ciptaan kepala sekolah bahkan saat saya lahir ke dunia. Tapi mengapa mereka harus memperlakukan murid penuh dendam. Melalui sekolah, pikiran saya telah disempitkan, seperti seorang wanita cina yang harus mengecilkan ukuran kaiknya sepanjang hidupnya. Saya termasuk orang beruntung yang dapat melepaskan diri sebelum terperangkap dalam sistem sekolah”.

Ketika saya memulai hidup sebagai penyair, banyak para sastawan dari komunitas akademis yang mengambil inspirasi karyanya dari bahan literatur Inggris. Saya sangat beruntung karena tidak pernah masuk dalam pendidikan sekolah seperti anak-anak dari keluarga terhormat. Memang tidak bisa dikatakan bahwa saya terbebas dari pengaruh yang menguasai pemikiran anak muda di masa itu, tapi tulisan saya terselamat dari bentuk-bentuk tiruan.

George Bernard Shaw [1856-1950], Dublin Pemenang nobel sastra di tahun 1925.

“….Bagi saya, sekolah adalah sebuah penjara, bahkan perlakuannya bisa lebih kasar daripada seorang narapidana.                   Dalam penjara, kita tidak ditekan untuk membaca buku yang ditulis oleh kepala penjara dan dipukul seandainya kamu tidak bisa ingat isinya. Di penjara kamu tidak ditekan untuk duduk sambil mendengarkan omongan yang tidak kamu sukai dan mengerti. Di penjara, tubuh kamu mungkin disiksa, tapi mereka tidak menyiksa otak. Buku sekolah telah menekan kita untuk membaca sesuatu yang tidak kita senangi dan sebenarnya kita tidak belajar apapun dari itu semua”.

Sigrid Undset [1882-1949]

Pemenang hadiah nobel tahun 1928 untuk bidang sastra.

“Saya sangat membenci sekolah yang telah mencampuri kebebasan saya. Selama di kelas, saya menghindar dari mata pelajaran dengan mengembangkan teknik-teknik melamun”

Winston Churchill [1874-1965]

Pemenang hadiah nobel di bidang literatur.

Dalam bukunya “my early life, 1930”, Winston Churchill mengungkapkan hari-hari pertamanya ketika ia memasuki bangku sekolah. “…memasuki usia 7 tahun, saya harus pergi ke sekolah dan harus pula pergi jauh dari rumah selama                   berminggu-minggu untuk belajar dari seorang guru. Tadinya saya berpikir, akan sangat indah jika bisa hidup dan berpetualang bersama anak-anak sebaya. Saya pun dibekali sebuah pemikiran bahwa hari-hari sekolah merupakan saat paling menyenangkan dalam kehidupan manusia. Setelah mengalami sendiri, ternyata begitu banyak hal yang membuat saya tidak menyukai sekolah.

Betapa hidup menjadi sangat membingungkan selama 2 tahun pertama di sekolah. Saya harus menghitung hari dan jam, menunggu segalanya berakhir. Yang paling indah bagi saya adalah saat membaca buku “Treasure Island” pemberian Ayah.  Guru langsung mengamati saya di belakang, ia pun langsung berusaha memaksa saya membuang buku itu. Menurutnya buku itu tidak sesuai untuk anak seumur saya. Tapi saya masih tetap keras kepala menghadapinya. Akhirnya saya memahami bahwa saya tidak bisa belajar selama segala imajinasi dan alasan saya tidak sesuai dengan guru”.

Sumber: Ensiklopedi Nasional Indonesia (Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1990) · Kota Yogyakarta 200 tahun · Microfilm Surat Kabar Perpustakaan Nasional, Soeloeh Peladjar, Kaoem Moeda dan Tjahaja Timoer · Ensiklopedi Indonesia edisi Khusus, Vol 4 ·Rethinking Schools, Volume 11, No. 4 – Summer 1997 · Wawancara dengan Prof. DR. RM. Wisnoe Wardhana pada tanggal 5 Mei 1998 di Padhepokan Puser Widya Nusantara Jawa Suryadiningratan MJ II/837 Yogyakarta (0274-372363) · My Early Life (1988 reprint), pages 8-9, 12-13 · Ivan Illich, Deschooling Society (1971) (In saying “we,”Illich is referring to his fellow teacher, Everett Reimer, author of School Is Dead (1974) ·  “Autobiographical Notes,” in Albert Eistein: Philosopher-Scientist, Paul Schilpp, ed. (1951), pp. 17-19 Ó 1951 by the Library of Living Philosophers, Inc. · “School is dead, Learning in freedom” by Karl M. Bunday, P.O. Box 337 Excelsior, MN 55331-0337 · “A Treatise on Parents and Children,” Preface to Misalliance (1909), reprinted in Bernard Shaw: Collected Plays with Their Prefaces, volume IV (1972), page 35 · Twentieth Century Authors, Kunitz and Haycraft,                   editors (1942), page 1432 · 200 tahun Kota Yogyakarta.

SOERAT KABAR TEMPO DOELOE SOELOEH PELADJAR

Menjoekakan Hati! [oentoek pembatja perempoean].

Demikian judul sebuah headline surat kabar “Soeloeh  Peladjar” yang terbit tanggal 15 Juni 1908. Beritanya begini:  “….diantara moerid2 perempoean soedah ada jang pergi ke Belanda menoentoet ‘ilmoe kepandaian. Sedikit waktoe lagi tentoe banjak moerid2 perempoean jang akan menoeroet teladan itoe. ….keloeloesan Raden Adjeng Fatimah dalam udjian masoek sekolah radja (C.B.S) sampai sekarang masih orang seboet2 joega. Maka sekarang SP membawa satoe khabar poela jang akan mendjadi boeah toetoer bagi pembatja perempoean. Seorang perempoean mendjadi klerk Departement van Onderwijs di Weltevreden! Siapakah namanja? Raden Roro Siti Hairani anak Padoeka Toean Demang Pension di Maester-Cornelis….dengan haknja tiada dibedakan dari hak klerk bangsa Belanda. Gadji dan kenaikannja kabarnya semata-mata sama. Mendengar ini tiada patoet kita bersoeka hati.” Selain berita aktual seputar kemajuan pendidikan jaman itu, surat kabar yang terbit petama tahun 1907 ini juga membuat rubrik Iptek. Misalnya saja tentang penemuan Thomas Alfa Edison, yang di surat kabar itu ditulis dengan “Toean Edison”. Ada pula surat pembaca yang jaman sekarang mungkin dianggap bertele-tele karena disertai pantun. Dan yang paling dominan adalah kisah-kisah moral. Seperti tulisan yang berjudul “Doea Ratoes Tjerita”. Dalam rubrik ini kadang memuat fabel, cerita nasehat, dan tak jarang dongeng-dongeng 1001 malam. Yang menarik, bahwa pengarang dalam surat kabar ini terdiri dari pelajar-pelajar penjuru Nusantara. Seperti dari Deli, Fort de Cock atau Maninjau, Muara Labuh, Palembang, Cimahi sampai Pontianak yang rata-rata kelas IV dan V sekolah jaman itu. Biasanya, setiap mengahiri tulisannya mereka selalu menambahkan kata-kata yang merendah, misalnya:”Salam dari Hamba”, atau “Kiriman hamba yang rendah, Siti Sjam binti D.G.R. (H.O) moerid klas IV Maninjau”, dan tak jarang pula mereka menuliskan nama gurunya seperti ini: “kiriman hamba yang bodoh dan dibantu oleh guru hamba St. Seri Alama” [No. 18/ 15 Desember 1909].  Ada pula rubrik dapurnya dibuat dengan nama “Beberapa Joeadah”. Mungkin Anda ingin mencoba satu resep berikut ini?

I. Joeadah Poetri Hitam Taboer namanja Ambillah minyak sapi 1 mangkok ketjil, merah telor, 4 butir telor, tepong gandum 1 mangkok ketjil, air mawar 1 mangkok ketjil dan gula. Ramoean ini dipoetar-poetar hingga mendjadi satoe. Setelah itu masoekkan ke dalam mangkok jang besar; sekarang djeranglah air di koeali, dan masoekkan mangkok jang telah berisi ramoean – laloe dikoekoes,. Djikalau soedah masak angkatlah, apabila soedah dingin dipersilahkan makan. Bagi pelajar sekarang, membaca Soeloeh Peladjar mungkin kedengaran lucu dan janggal. Menjadi klerk saja misalnya sampai menjadi headline. Tetapi itu semangat 80 tahun yang lalu. Gairah surat kabar pelajar semacam ini mungkin tidak dapat kita temukan lagi di masa sekarang. Padahal, teknologi komputer memberi peluang bagi siapa pun untuk mencetak tulisan. Pelajar kini mungkin hanya mengenal majalah dinding [mading] atau surat kabar intern sekolah mereka yang peredarannya tidak melampaui pagar sekolah.

Memang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah membuat surat kabar “Suara Pelajar” dengan klaim sebagai surat kabar pelajar pertama. Tapi dimana sekarang? Adakah para pelajar mendengar peredarannya? Bayangkan, seandainya pelaku atau para pengasuh dalam surat kabar di atas masih hidup. Tentu beliau tidak akan “bersoeka hati”. Sebab, surat kabar mereka telah berganti wajah menjadi majalah yang tak henti-hentinya mengiklankan siapa gerangan besok yang akan menjadi Putri Anu, atau Gadis Anu? Lengkap dengan tips mengecat kuku warna-warni. Alamaak!

SEKOLAH BOEATAN PENDJADJAH HINDIA BELANDA, DARI TAHOEN KE TAHOEN…

1876, didirikan Landbouw School (Sekolah Pertanian) yang juga dimasuki oleh putra-putra dari golongan priyayi tapi sekolah ini ditutup tahun 1903 didirikan lagi sebuah Landbouw School di Bogor dengan taraf pendidikan rendah. Tahun 1911 sekolah ini ditingkatkan menjadi sekolah menengah, sementara itu sekolah pertanian tinggi belum ada.

1879, didirikan sekolah raja.

Diadakan sistematisasi dalam pendidikan yaitu sekolah dasar dikelompokkan menjadi 2 macam: Eerste School [Sekolah Angka Satu] yang hanya menampung murid dari anak golongan priyayi dan hanya didirikan di Ibukota Karisidenan. Lama pendidikan lima tahun. Kurikulum meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah menggambar, ilmu alam dan ilmu ukur tanah. Dengan adanya Sekolah Angka Satu ini, semua sekolah raja yang didirikan sejak 1879 dihapus, kecuali yang di Magelang dijadikan sekolah kejaksaan. Masih di tahun yang sama didirikan pula jenis sekolah kedua, Tweede School (Sekolah Angka Dua). Sistem sekolah ini ditujukan kepada rakyat pada umumnya.

Di daerah pedesaan, lama pendidikan hanya 3 tahun dan kurikulumnya hanya menulis, membaca, dan  berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah setempat atau bila tidak ada bahasa daerah maka memakai bahasa Melayu. 1897, terjadi perubahan bahasa pengantar dari bahasa daerah ke bahasa Belanda, oleh karena itu lama pendidikan Sekolah Angka Satu ditambah menjadi 6 tahun.

1902, pemerintah Hindia Belanda yang beraliran etis itu mendirikan pula suatu sekolah kedokteran tingkat menengah dengan nama School Tot Opleiding Van Inlandse Artsen (STOVIA). Sekolah ini sebetulnya bukan ciptaan baru, tetapi merupakan penyempurnaan dari sistem pendidikan yang dimulai pada tahun 1851 dengan nama Sekolah Dokter Jawa yang bertujuan menciptakan tenaga-tenaga medis di berbagai daerah dan melaksanakannya di rumah sakit tentara Batavia. Lama pendidikan mula-mula hanya 2 tahun tetapi pada thun 1875 telah meningkat sampai 6 tahun. Dengan ditinggalkannya sistem pendidikan ini menjadi STOVIA pada tahun 1902, lulusannya pun dianggap sebagai dokter dengan gelar Inlandse Arts.

1907, Didirikan sekolah di daerah pedesaan yang pengajarannya disesuaikan dengan situasi desa setempat. Sebelum sekolah ini didirikan terjadi perdebatan dari para pejabat yang pro politik etis. Pendapat pertama menyatakan bahwa Sekolah Angka Dua tidak tepat dan harus digantikan dengan situasi di daerah pedesaan. Pandangan lainnya menyatakan bahwa sistem yang ada sudah baik hanya jumlahnya yang perlu ditambah. Pada akhirnya pandangan pertama-lah yang dilaksanakan karena  berasal dari Gubernur Jendral Van Heutz.

1909, Untuk tenaga-tenaga Kejaksaan dan pengadilan didirikan Rechtschool yang juga menggunakan bahasa  Belanda sebagai bahasa pengantar. Tuhan 1924 ketika lulusan sekolah menengah mulai banyak didirikan sekolah hukum tingkat tinggi dengan nama Recht Hogeschool (RH). Sekolah ini menghasilkan hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang lulusannya menggunakan gelar Mr. (Meester in de Rechten) yang juga digunakan oleh lulusan-lulusan universitas di negeri Belanda.

1914, terjadi tiga hal yang penting dalam sistem pendidikan penting dalam sistem pendidikan rendah. Pertama, pada tahun tersebut Sekolah Angka Satu diubah menjadi Hollands Inlandse School (HIS) yang berbahasa Belanda. Sekolah ini didirikan di Ibukota daerah dan dipergunakan oleh anak-anak priyayi tapi tidak tertutup bagi golongan lainnya. Kedua, pada tahun ini didirikan sekolah lanjutan yang dinamakan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) untuk lulusan Sekolah Angka Satu. Lama pendidikan 3 tahun dan bahasa Belanda dipakai sebagai bahasa pengantar. Ketiga, pada tahun ini didirikan Vervolgschool untuk menampung lulusan sekolah desa. Lama pendidikan sekolah ini adalah lima tahun dan bahasa Belanda dipakai sebagai bahasa pengantar tetapi kurikulumnya sama dengan HIS. Pendidikan lanjutan atas bagi penduduk kepulauan Indonesia adalah Algemeen Middelbare School (AMS) yang menerima lulusan MULO. AMS pertama didirikan di Yogyakarta dengan kurikulum A1 (Sastra Barat) dan di Surabaya A2 (Sastra Timur).

1924, Sekolah yang bernama Technische Hogeschool (TH) itu diambil alih oleh pemerintah. Lulusannya berhak menggunakan gelar Ir. yang juga digunakan oleh lulusan-lulusan sekolah tinggi di Belanda.

1927, pemerintah mendirikan sekolah tinggi kedokteran Geneeskundige Hogeschool (GH) yang mengambil lulusan AMS dan HBS. Lulusannya memakai gelar Arts dan disamakan dengan lulusan universitas di negeri Belanda.

MENERUSKAN, ATAU MENINGGALKAN SEKOLAH?

Di Indonesia, dalam satu minggu seorang murid kelas III SD harus mengikuti 38 jam pelajaran sedangkan kelas IV SD, 40 jam/minggu, kelas V & VI SD, 42 jam/minggu, yang masih ditambah lagi 42 X pekerjaan rumah. Di tingkat SMP murid mengikuti 48 jam pelajaran /minggu ditambah mata pelajaran keterampilan. Ibu Rita, seorang guru SMP 15 Yogyakarta mengungkapkan bahwa seorang muridnya pergi sekolah jam 06.00 pagi dan sampai di rumah jam 8 malam, karena selain sekolah mereka masih ikut les sana-sini. Pengamat dan praktisi pendidikan Indonesia, Pater J. Drost SJ mengatakan bahwa di seluruh dunia jumlah pelajaran tidak boleh lebih dari 35 jam/minggu! Artinya murid Indonesia terlalu dibebani oleh jam dan tugas sekolah yang justru melemahkan daya pikir mereka. Dan selanjutnya ia melihat sistem sekolah di Indonesia lebih diperuntukkan bagi anak pandai yang jumlahnya hanya 30 % dari populasi pelajar, sementara 70 % anak didik terlantar. Bisa terbayang bahwa pendidikan di negeri ini sebenarnya belum merata ! Kalau “merata” diartikan sebagai jumlah pembangunan fisik sekolah, kenyataannya ada sebuah sekolah dasar di Tangerang hanya memiliki dua guru tetap yang mengajar enam  kelas. Dan lebih 30 persen bangku di kelas tidak bisa digunakan karena rusak, sehingga murid duduk di bawah. Dengan fasilitas yang paling minim sekalipun, ternyata masih banyak orang tua yang tidak mampu membiayai sekolah anaknya. Tidak heran jika seringkali murid dihadapi sebuah pilihan “meneruskan atau meninggalkan sekolah? Keduanya sama-sama membutuhkan mental kuat. Meneruskan berarti menghadapi tembok sistem sekolah yang rumit dan membingungkan, atau meninggalkan sekolah berarti menghadapi tembok masyarakat yang menilai putus sekolah sebagai status tanpa masa depan dan tidak bertanggung jawab. Sesuai wisuda, seorang teman berkata lirih..”wisuda ini untuk keluarga saja, selesailah sudah tugas saya sebagai anak”. “Sebenarnya saya hanya membeli komunitas di sekolah, bukan ilmu”, ujar seorang teman lagi. “Saya harus selesai, karena di Indonesia ijazah tetap berharga sebagai pegangan dan peningkatan karir”. “Sekolah harus setingginya untuk menaikkan status kita”. “Sekolah tetap perlu, tapi selebihnya cari ilmu pengetahuan diluar sekolah “. “Sebenarnya saya lebih banyak belajar dari kantin daripada di ruang kuliah”. Begitu seringnya kita dengar ungkapan pahit ini bahwa sekolah tidak sepenuhnya berfungsi sebagai ajang menempuh ilmu. Dan Pendidikan tertinggi seakan menjadi pesta dari kesatiran berkepanjangan. Kesatiran yang sama kadang membuahkan keputusan meninggalkan sekolah! misalnya hari ini ribuan anak Indonesia pergi meninggalkan sekolah karena tidak punya uang. Seorang anak suku Dayak Bungan dilarang pergi sekolah karena dianggap mengganggu proses musim tanam. Juga mereka apatis karena banyak orang kampung yang sekolah ternyata tetap pengangguran dan tidak lagi kerja di hutan. Ada pula yang dengan sengaja meninggalkan sekolah karena muak terhadap sistem pengajarannya. Kebanyakan mereka telah menginjak bangku sekolah di Perguruan Tinggi dan tentunya lebih kuat secara mental. Beberapa teman menjelaskan, “Saya telah bekerja dan mendapatkan uang, untuk apa lagi cape-cape sekolah yang tidak memberikan apa-apa”. “Saya sakit hati  dengan perlakuan dosen yang tidak mendidik tapi justru menghancurkan. Dan apakah saya harus pura-pura tunduk selama bertahun-tahun? banyak yang menyayangkan keputusan saya, tapi inilah sikap yang tidak boleh disesali”. Nampaknya meninggalkan sekolah lebih berat daripada meneruskan sekolah, setidaknya rasa tidak aman menyelimuti seseorang disinilah mereka menyusun …..

INSTITUT KESENIAN WISNOE WARDHANA PADHEPOKAN PUSER WIDYA NUSANTARA JAWA

Masih ingat COLORS BENETON? semboyan ini merupakan simbol ekspresi jaman sekarang yang menginginkan kesamaan hak kehidupan setiap budaya di dunia ini. Diharapkan tidak ada lagi arogansi barat terhadap timur, putih terhadap berwarna. Ironinya, ketika memasuki jaman pluralisme ini, identitas budaya daerah kita semakin bergeser. Padahal setiap masyarakat di nusantara ini punya perangkat ajar mengajar untuk mensosialisasikan nilai-nilai masyarakatnya ke setiap generasi. Bentuknya bisa bermacam-macam, biasanya seperti sistem magang di seorang ‘guru’. Dengan adanya sistem sekolah dasar yang dimulai usia 7 tahun, perangkat tradisi inipun telah bergeser dan biasanya diganti dengan mata pelajaran bermuatan lokal. Kondisi ini sebenarnya sangat disayangkan, karena pengetahuan dan peresapan akan identitas budaya sendiri sangat penting. Sebagai contoh bangsa India, penduduk mereka miskin, padat, tapi ada satu hal yang membuat mereka menjadi bangsa terhormat dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia – yaitu keteguhan dan kebanggaannya pada budaya sendiri. Di tengah sistem sekolah formal yang telah menyeragamkan bangsa ini, ternyata masih ada “sekolah” yang mau bersusah payah mengajarkan praktek-praktek budayanya kepada siapapun. Salah satunya adalah Institut Kesenian Wisnoe Wardhana di Jl. Suryodiningratan, Yogyakarta. Sebuah sekolah yang ingin memperkenalkan nilai budaya Jawa dalam bentuk seni tari, teater, filsafat, dll.

Sekolah ini berdiri melalui proses yang cukup panjang, yaitu berawal dari keprihatinan Prof. DR. RM. Wisnoe Wardhana (yang sering dipanggil Romo Wisnoe) terhadap tarian daerah, khususnya Jawa, yang selalu mengambil tema tentang pemujaan dan juga kritik terhadap tari internasional, seperti balet, yang digambarkan terlalu jauh meninggalkan realita. Keprihatinan dan kritik ini kemudian menuntun Romo Wisnoe untuk menciptakan sebuah seni tari baru yang  disebutnya sebagai sebuah seni tari modern (contemporary dance) yang bersifat universal. Secara teknis, tarian ini menggabungkan antara seni tari Jawa, Hindu dan pencak silat. Sedangkan secara filosofis, seni tari modern ini lebih universal daripada seni tari yang bertaraf internasional sekalipun karena seni tari modern   menyandarkan dirinya pada kemanusiaan secara utuh tanpa membedakan antara seni barat dan seni timur.

Pada tahun 1957, secara mengejutkan Romo Wisnoe menampilkan sebuah tarian yang diberinya judul “tarian pekan olah raga”. Tarian ini ditampilkannya di depan forum Kongres Pemuda di Surabaya. Tanpa iringan musik dan tanpa busana tari yang rumit (hanya mengenakan semacam baju renang), Romo Wisnoe menampilkan tarian yang diciptakannya tahun 1956 tersebut. Tanggapan terhadap tarian-tariannya yang unik tersebut memang tidak mengecewakan. Antusiasme masyarakat dan perjalanannya ke luar negeri selama satu tahun untuk mempelajari berbagai tarian di banyak negara, telah mendorongnya untuk mendirikan sebuah sekolah tari sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1958. Sekolah tari tersebut bernama Contemporary Dance School Wisnoe Wardhana yang terletak di Sonobudoyo, cikal bakal dari Institusi Kesenian Wisnoe Wardhana. Pada saat sekolah tari tersebut dibuka, siswa yang masuk hanya 11 orang, namun pada tahun 1963 telah bertambah lima setengah kali lipat. Pada saat jumlah siswa bertambah banyak inilah, sekolah tari tersebut berubah nama menjadi Akademi Tari Wisnu Wardhana. Sesuai dengan namanya, akademi ini hanya memfokuskan dirinya pada bidang seni tari. Pada tahun 1967, Romo Wisnoe mencoba menampilkan sebuah pertunjukan wayang tiga dimensi (yang meliputi wayang golek, wayang kulit, dan wayang orang) dengan sekaligus menggunakan tiga bahasa (Indonesia, Inggris dan Jawa) dalam satu lakon. Pertunjukan yang berlangsung hanya dalam jangka waktu 30 menit tersebut merupakan sebuah eksperimen yang berhasil karena mendapatkan respon yang luar biasa. Hal ini kemudian mendorong Romo Wisnoe untuk merubah nama Akademi Tari yang dipimpinnya menjadi Institut Kesenian Wisnu Wardhana pada tahun 1972. Dengan merubah akademi tari menjadi sebuah institut kesenian maka Romo Wisnoe memperluas pendidikan keseniannya tidak hanya pada seni tari tapi juga teater, musik, perfilm-an, perdalangan, dan sebagainya. Selain itu pada tahun yang sama, Romo Wisnoe juga menerapkan sistem padhepokan dalam pendidikan di sekolahnya dan bukan sistem pendidikan formal seperti yang terdapat pada Institut kesenian lainnya.

Perlu diingat, Institut Kesenian Wisnu Wardhana ini berdiri 12 tahun lebih awal dari Institut Seni Indonesia (ISI) yang menggunakan sistem pendidikan formal. Pemakaian sistem padhepokan ini bertolak dari tujuan Romo Wisnoe untuk memberikan pendidikan tentang seluruh budaya Jawa tanpa kecuali. Sedangkan misi dari Institut Kesenian ini adalah Mamayu Hayuning Bawana membuat dunia ini selamat dan indah, atas budi luhurnya). Institut ini memberikan 25 mata pelajaran yang antara lain meliputi pelajaran batik, pijat tradisional, seni tari, karawitan, patung, puisi, arsitektur, pedalangan, dan sebagainya. Disamping mempelajari kebudayaan Jawa yang tampak secara fisik, siswa Institut Kesenian ini juga memperoleh pendalaman tentang falsafah spiritual Jawa (Kejawen). Lama pendidikan di Institut ini adalah 4 tahun yang berdiri dari 9 tingkatan (semester). Uniknya, acara wisuda dilakukan pada setiap kenaikan tingkat. Disamping itu, hal menarik lainnya adalah masing-masing tingkatan mempunyai sebutan yang unik yaitu ulu gantung untuk tingkat 1, indhung-indhung untuk tingkat 2, cantrik untuk tingkat 3, cekel untuk tingkat 4, manguyu untuk  tingkat 6, puthut untuk tingkat 7, ajar untuk tingkat 8 dan wasi untuk tingkat 9.

Namun meskipun lama pendidikan hanya sampai 9 tingkatan, siswa dapat meneruskan pelajarannya untuk pendidikannya untuk semakin menyempurnakan apa yang telah diterimanya selama ini. Tingkatan ini disebut rantun kasampurnan (terminal menuju kesempurnaan). Siswa dari Institut Kesenian ini terdiri dari berbagai kalangan. Bahkan meskipun Institut ini memusatkan perhatiannya secara penuh pada budaya Jawa, mereka juga membuka kesempatan bagi orang-orang luar Jawa bahkan luar Indonesia untuk masuk dalam Institut tersebut jika mereka memang berkeinginan untuk mempelajari budaya Jawa Institut inipun memberikan kesempatan bagi orang yang hanya ingin mempelajari satu bidang saja tentang kesenian Jawa (misalnya hanya ingin mempelajari tentang karawitan).

Sistem pembayaran di padhepokan ini tidak langsung dibayar selama satu semester namun dibayar setiap kali datang ke padhepokan untuk memperoleh pelajaran. Pelajaran biasanya diberikan dua minggu sekali, pada hari Sabtu atau Minggu, dan berlangsung dari jam 2 siang sampai jam 9 malam. Dengan demikian, maka siswa yang berasal dari luar kota Yogya diijinkan untuk menginapdi padhepokan tersebut setiap kali mereka mengikuti pelajaran. [santi]

BERITA “SEMBAKO” DAN KERUSUHAN PELAJAR DI SK. KAOEM MUDA

Siapa bilang kakek-kakek kita dulu adalah murid-murid yang patuh? Jauh dari kerusuhan seperti yang terjadi di banyak kota besar? Jangan percaya dulu sebelum Anda membaca berita di bawah ini:Namanja “Anak Sekolah”   Beberapa moerid sekolah melempari katja-katja gedung Jaarbeurs, sehingga ada 14 katja jang petjah. Orangtuanja dari si moerid jang “nakal” tadi dari sebab tida maoe beroeroesan dengan politie, maka dimintanja soepaja katja-katja jang petjah itoe di ganti sadja. Sebaliknja jang minta keroegian minta ganti oeang f. 20, tetapi si ajah tida mengganti jang sebegitu rupiah. Sekarang perkara itoe akan diteroeskan pada Landyerecht.

Berita di atas dikutip dari surat kabar Kaoem Moeda No. 55/ Senin 6 Maart 1922 atau 7 Radjab 1340-1850. Selain surat kabar Tjahaja Timoer, Oetoesan Hindia , Hindia Poetera, De Express yang dipimpin oleh E.F.E Douwes Dekker, Kaoem muda adalah salah satu surat kabar dimana Ki Hadjar Dewantara, tokoh Pendidikan Indonesia sekaligus pencetus “Tut Wuri Handayani” itu pernah bekerja. Surat kabar terbitan Bandung ini terdiri dari 8 halaman yang banyak memuat berita-berita politik baik dalam maupun luar negeri.   Salah satu berita tentang “Sembako”, juga menjadi jeritan rakyat jaman itu. Misalnya saja tentang kelangkaan beras yang diberitakan Kaoem Moeda pada Djumahat, 3 Maart 1922, dengan berita sebagai berikut:

Jaman Sesah! Kalaoe saja jadi orang hartawan dan soeka menambah barang perkakas roemah dan dapoer jang setiap hari ditaeawrkan orang ke roemah saja, tentoe saja soedah poenja satoe goedang besar jang berisikan perkakas tadi dari jang banjak maoe menjoeal. Jang mendjadikan mereka demikian itoe tida laen keterngan coema oentoek membeli beras! Adoeh beras! Beras! Soenggoeh piloe dan pedihlah rasa hati keadaannja orang di sana hampir semoea kedatangan setan soesah mentjari makanan!  Adoeh! Adoeh! 2 kali lagi.  Tidaklah perlu di Menes itoe keadaan joealan beras jang semoerah-moerahnya?

Berita “sembako” diatas mungkin suatu yang wajar dari sebuah negara yang berada dalam cengkraman imprialis yang bernama Belanda. Tapi nyatanya, mengapa jeritan itu mesti terulang lagi sekarang? Siapa penjajah itu? Pokoknya, segala pekabaran jang termuat dalem ini di luar tanggungannja oleh jang mentjitak Typ: KHO TJENG BIE, Batavia.

Sumber: Microfilm Surat Kabar Perpustakaan Nasional, Soeloeh Peladjar, Kaoem Moeda, dan Tjahaja Timoer. Ensiklopedi Indonesia edisi Khusus, Vol 4.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Napak Tilas 500 Tahun Pelayaran Ferdinand Magellan
Belajar “Meniti Angin” dari Korban Stigma Sejarah
Dahsyatnya Dampak Normalisasi Kehidupan Kampus
Berita ini 12 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 5 April 2018 - 09:53 WIB

Napak Tilas 500 Tahun Pelayaran Ferdinand Magellan

Kamis, 5 April 2018 - 09:30 WIB

Belajar “Meniti Angin” dari Korban Stigma Sejarah

Jumat, 26 Juni 2015 - 11:59 WIB

Dahsyatnya Dampak Normalisasi Kehidupan Kampus

Kamis, 22 Juni 2000 - 10:37 WIB

Sekolah Masa Lalu…

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB