SETELAH penggunaan berbagai alat berteknologi tinggi dalam pelayanan kesehatan, pada akhirnya sentuhan kemanusiaan dari dokter yang diperlukan pasien. Sapaan penuh perhatian, empati atas penderitaan dan kebutuhan pasien, bisa memberikan ketenangan di samping kemampuan dan keterampilan dokter dalam mengobati.
Hal ini disadari betul oleh para pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FKUA) Surabaya. Institusi pendidikan dokter itu kini menyambut satu abad berdirinya.
Tantangan praktik kedokteran saat ini adalah high tech(nology). Namun, semua itu tidak terlepas dari high touch (sentuhan kemanusiaan) dari pelaku pelayanan kesehatan. Demikian pendapat Prof Nancy Margarita Rehatta, Ketua Medical Education, Research, and Staff Development Unit FKUA.
Karena itu, di samping kemampuan akademis tinggi, diperlukan profil psikologi dari calon mahasiswa yang sesuai dengan tugas pelayanan kemanusiaan itu. Calon yang sesuai kemudian dididik dengan contoh konkret dari para pengajar untuk menjadi dokter yang baik dan beretika tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nancy Margarita akan mengajukan usulan rekomendasi perlunya tes psikologi bagi calon mahasiswa kedokteran sebelum tes masuk perguruan tinggi. Hal itu untuk mengukur kesesuaian mereka dengan profesi yang akan dijalani. Dengan demikian, diharapkan diperoleh calon dokter yang memiliki emosi stabil, perhatian, kemauan berkorban, empati, dan moral tinggi selain kemampuan akademis tinggi.
Arah pendidikan
Pendidikan dokter di Hindia Belanda diprakarsai oleh dr W Bosch pada Oktober 1847 di Jakarta. Tujuannya mendidik pemuda Jawa menjadi ahli praktik kesehatan untuk mengatasi wabah berbagai penyakit pada masa itu. Pada 1 Juli 1913 didirikan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya dan resmi menerima murid pada 15 September 1913.
Dalam usia satu abad, perlu dipertanyakan arah pendidikan dokter. Apalagi, Indonesia bersiap menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional 2014 dan era pasar bebas ASEAN 2015.
Menurut Dekan FKUA Prof Agung Pranoto, selama satu abad, institusi pendidikan itu menghasilkan sekitar 8.000 dokter umum. Kurikulum dan sistem pengajaran mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Dulu, demikian Agung, fakultas memiliki otoritas penuh untuk meluluskan dokter dan bisa langsung praktik. Kini, untuk bisa praktik, selain ujian dari fakultas, dokter harus lulus Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang diselenggarakan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. Selanjutnya, dokter melaksanakan internship (pemagangan) sebelum mendapat izin praktik mandiri.
”FKUA mendidik dokter sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menghasilkan dokter five stars, yaitu sebagai care provider, decision maker, communicator, community leader, dan manager,” katanya.
FKUA mewujudkan antara lain melalui salah satu unit unggulannya, Badan Koordinasi Kesehatan Masyarakat (BKKM). Badan ini membimbing mahasiswa tingkat klinik (dokter muda) untuk bekerja di komunitas (puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya) selama satu bulan. Selain belajar tentang praktik kedokteran, mahasiswa mempraktikkan pembelajaran tentang cara berkomunikasi dengan pasien dan belajar memahami masalah kesehatan masyarakat.
Terkait dengan dualisme peran dokter, semula lebih bersifat sosial dan kini makin bergeser ke arah industri jasa, Agung menyatakan, pihaknya berupaya mendidik dokter untuk beretika, excellent with morality. Memahami dan melaksanakan pemberian pelayanan kesehatan secara setara bagi semua orang.
Dokter dididik mampu melaksanakan pelayanan primer, sekaligus mampu menggunakan peralatan canggih. Dengan demikian, selain siap bekerja di daerah terpencil, juga siap bersaing dengan dokter dari negara lain pada era pasar bebas.
”Pelaksanaan ini menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan dalam menyediakan sarana dan prasarananya,” kata Agung.
Sambut pasar bebas
Nancy Margarita menyatakan, persiapan menghadapi pasar bebas dilakukan antara lain dengan memperkuat kemampuan bahasa internasional, pemahaman pasar global, pemanfaatan teknologi tinggi, dan sertifikasi lembaga. ”TOEFL calon mahasiswa minimal 450. Kemudian, setiap enam minggu di akhir blok pelajaran ada diskusi atau presentasi dalam bahasa Inggris,” ujarnya.
FKUA bekerja sama dengan Universitas Groningen dan Universitas Rotterdam, Belanda, untuk pertukaran mahasiswa. Selain itu, berupaya melakukan sertifikasi institusi di tingkat ASEAN bekerja sama dengan Badan Akreditasi ASEAN, yakni ASEAN University Network (AUN) di bawah WHO.
”Dengan demikian, lulusan FKUA akan dianggap setara dengan FK negara lain di ASEAN yang telah disertifikasi dan bisa bekerja di negara lain,” katanya.
Pusat unggulan
Agung menambahkan, unggulan lain adalah program D-3 pengobat tradisional (battra). Ini merupakan upaya menghargai kekayaan intelektual bangsa. Lulusan D-3 battra bekerja dalam tim di bawah pimpinan dokter sebagaimana perawat, ahli fisioterapi, dan sebagainya.
FKUA juga mengembangkan pusat obat tradisional bekerja sama dengan Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga (Unair) dan Fakultas Farmasi Unair. Agung menjadi temporary advisor untuk pengobatan tradisional WHO SEARO untuk ikut menyusun panduan riset pengobatan tradisional
Ada pula Tim Kembar Siam RS dr Soetomo-FKUA yang menjadi pusat rujukan penanganan dan pemisahan bayi kembar siam serta Surabaya Regenerative Medicine and Stem Cell Center yang merupakan kerja sama FKUA dengan Institute of Tropical Disease Unair. Di lembaga ini dilakukan berbagai riset dasar sel punca dan terapi sel punca pada pasien.
Dengan berbagai hal itu, upaya mempertahankan konsep community medicine yang modern diharapkan tercapai. (Atika Walujani Moedjiono)
Sumber: Kompas, 17 Oktober 2013