“Sapi Laut”, Si Pendiam yang Rentan Punah

- Editor

Selasa, 15 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Seekor dugong yang dengan ekor diikat berenang ke sana-kemari dalam kerangkeng air dangkal bening menjadi pergunjingan di media sosial beberapa hari terakhir. Kondisi mengenaskan itu segera direspons dalam cuitan Twitter resmi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Kini, dugong itu lepas bebas di laut lepas.

Adalah Delon Lim, penyelam yang sehari-hari bekerja di Jakarta, Senin (14/3), yang mengunggah foto dugong nahas dalam akun media sosialnya. Saat itu, ia bersama 16 rekannya sedang beristirahat menyelam di Pulau Kokoya, pulau kecil di barat daya Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara. Satu dugong besar yang diduga induk diikat, sedangkan satu dugong yang diduga anaknya “hanya” dikerangkeng.

“Kondisi dugong yang terikat ekornya itu sangat mengenaskan. Banyak luka meski masih bisa bergerak,” katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Komunitas penyelam itu mengambil foto dugong, yang jadi viral (menyebar luas dan cepat) dan jadi pembicaraan di media sosial. “Pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kontak saya, meminta koordinat dan kronologi,” katanya.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Jenis KKP Agus Dermawan mengatakan, kedua dugong itu telah dilepaskan. “Satu ekor dilepas Sabtu lalu, yang lebih kecil dilepas Senin pukul 14.30 dipimpin Bupati Morotai,” katanya.

Pelepasan tak melibatkan dokter hewan karena tak tersedia di kabupaten pemekaran dari Halmahera Utara itu. Namun, laporan dari lapangan menunjukkan, dugong masih aktif sehingga bisa dilepasliarkan.

Pengakuan nelayan, kata Agus, kedua dugong betina itu terjebak jaring ikan sero pada 1 dan 3 pekan lalu. Lalu, dibawa ke dekat permukiman untuk hiburan. “Kami apresiasi bupati yang turun ke lapangan begitu dapat informasi ini,” katanya.

a5858b15d44547e7a2349034ce88d080ARSIP DELON LIM–Mamalia laut yang kian sulit ditemukan, dugong, Jumat (11/3), terikat di Pulau Kokoya, pulau kecil di barat daya Pulau Morotai, Maluku Utara. Dugong itu akhirnya dilepasliarkan pada Sabtu setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan merespons unggahan penyelam di media sosial.

Di KKP, dugong menjadi satu dari 20 spesies prioritas yang harus ditingkatkan populasinya. Tahun lalu, KKP juga menjumpai kasus serupa di Bintan, Tolitoli, Morowali, dan Kalimantan Selatan.

Meski jadi spesies prioritas, populasi dugong di Indonesia masih minim. “Informasi terakhir 5-10 tahun lalu, ada 1.000 ekor dugong di Indonesia. Itu saja sudah mengkhawatirkan. Apalagi sekarang,” kata Agus.

Terabaikan
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sekar Mira, mengatakan, Indonesia hanya punya dugong (Dugong dugon) dari dua ordo Sirenia. Di luar negeri, terdapat manatee (Trichechus manatus) yang berukuran lebih besar, berekor bulat seperti kipas tangan.

“Dugong ini sangat spesial sehingga bisa merupakan flagship konservasi mamalia laut di Indonesia,” katanya.

Dugong merupakan mamalia laut pendiam. Sangat beda dengan kerabat lainnya, seperti pesut mahakam, lumba-lumba, dan paus yang kerap beratraksi melompat di udara. “Mungkin saking pendiamnya, sampai tak banyak yang peduli,” katanya.

Sekar mengingatkan, penyelamatan dugong membutuhkan dukungan kondisi habitat yang baik, dalam hal ini ekosistem padang lamun di kawasan pesisir. Sebab, dedaunan tumbuhan lamun menjadi makanan utama “sapi laut” itu.

Ekosistem lamun itu pun diakui tak seseksi ekosistem terumbu karang yang relatif sudah banyak diperhatikan publik. “Padahal, ekosistem lamun menjadi koridor bagi beberapa ikan untuk bertelur, beruaya, nursery ground sebelum ke terumbu karang,” kata Sekar.

Faktanya, dugong yang adalah hewan langka itu tercatat mendiami perairan tropis Indo-Pasifik. Di daftar Badan Konservasi Dunia (IUCN), dugong kategori rentan punah.

IUCN mencatat, dugong terancam alat tangkap, seperti jaring. Ancaman lain, kerusakan ekosistem lamun akibat pembuangan limbah industri, reklamasi, trawl, tumpahan minyak, dan limbah pertanian. (ICH)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “”Sapi Laut”, Si Pendiam yang Rentan Punah”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 33 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB