Jika seluruh potensi sagu di Indonesia bisa dimanfaatkan, hal itu bisa menjawab kebutuhan pangan nasional yang saat ini bertumpu pada padi. Pemerintah Provinsi Riau sudah memulainya.
Tanaman sagu dinilai bisa menjawab kebutuhan pangan nasional yang saat ini lebih ditumpukan pada produksi padi. Selain memiliki kandungan karbohidrat lebih tinggi dari beras, sagu juga bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. Sagu yang bisa tumbuh di lahan dengan kadar asam tinggi juga bisa menjadi solusi pemanfaatan lahan gambut secara ramah lingkungan.
Hal itu mengemuka dalam seminar nasional tentang optimalisasi sagu di Institut Pertanian Bogor (IPB), di Bogor, Minggu (11/3). Dalam seminar ini juga ditampilkan aneka olahan makanan berbahan sagu, mulai dari bubur sempolet dari sagu khas Riau, mi sagu, papeda khas Indonesia timur, soto dengan lontong sagu, hingga berbagai jenis kue dari sagu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AHMAD ARIF–Bubur sempolet khas Riau berbahan sagu, sayur dan udang, disajikan salam seminar di IPB Bogor, Minggu (11/3).
“Dalam rangka menyosialisasikan sagu di Riau, pada tahun 2016 lalu kami memecahkan rekor dengan mengolah sagu menjadi 369 jenis makanan,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan Riau, Darmansyah. Dia menjadi salah satu pembicara yang diminta mempresentasikan upaya Pemerintah Provinsi Riau untuk kembali ke sagu.
Menurut dia, sagu merupakan jawaban kekurangan pangan di Riau. “Lahan sawah di Riau hanya 86.000 hektar dan mengalami alih fungsi lahan rata-rata 6.500 hektar per tahun, padahal lahan kelapa sawit yang mencapai 4 juta hektar. Untuk memenuhi kebutuhan beras di Riau, sebanyak 70 persen di antaranya harus di datangkan dari luar daerah. Kami cari beras sampai Sulawesi,” kata Darmansyah.
Sagu merupakan jawaban kekurangan pangan di Riau. Lahan sawah di Riau hanya 86.000 hektar dan mengalami alih fungsi lahan rata-rata 6.500 hektar per tahun.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Seminar tentang sagu di IPB Bogor, Minggu (11/3), memaparkan tentang potensi sagu untuk menjawab persoalan pangan dan lingkungan.
Sekalipun saat ini pemerintah pusat mendorong cetak sawah baru di Riau, namun hasilnya tidak signifikan karena sebagian besar lahan di Riau adalah gambut. “Maka sejak beberapa tahun terakhir, kami gencar mendorong perubahan konsumsi masyarakat untuk kembali ke sagu. Bahkan Riau sudah mencanangkan sebagai Provinsi Sagu,” kata dia.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Dinas Ketahanan Pangan Riau berhasil mengolah tepung sagu menjadi 369 jenis makanan, salah satunya adalah mi sagu yang disajikan dalam seminar di IPB Bogor, Minggu (11/3).
Dari aspek kebijakan, selain adanya peraturan gubernur juga telah dikeluarkan surat edaran gubernur tentang pemanfaatan pangan lokal berbasis sagu. “Hotel-hotel dan restoran sudah diminta menyajikan sagu, bahkan dalam perjamuan resmi kami selalu menyediakan sagu,” kata dia.
Provinsi Riau, saat ini merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia dengan produksi pada tahun 2017 mencapai 326.755 ton tepung sagu. Menurut Darmansyah, total luas lahan sagu di Riau sekitar 82.762 hektar.
Provinsi Riau, saat ini merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia dengan produksi pada tahun 2017 mencapai 326.755 ton tepung sagu.
Lima kabupaten penghasil sagu utama di Riau adalah Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir, Bengkalis, Siak, dan Pelalawan. Sagu dari Riau, utamanya adri Kepulauan Meranti saat ini kebanyakan dikirim ke Cirebon, dan sebagian diekspor ke Jepang serta Malaysia.
“Saat ini kami juga sudah membudidayakan tanaman sagu, rata-rata 500 hektar per tahun,” kata Darmansyah.
Menurut ahli sagu yang juga Guru Besar IPB M.H Bintoro, luasan sagu di Riau sebenarnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan lahan sagu di Papua yang mencapai 4,7 juta hektar dan 0,5 juta hektar di Papua Barat. Namun, produksi sagu di Riau cukup tinggi dengan kualitas yang bagus, sedangkan di Papua masih terbatas untuk konsumsi lokal.
Jika seluruh potensi sagu di Indonesia bisa dimanfaatkan, menurut Bintoro, Indonesia tidak akan mengalami persoalan kekurangan pangan, apalagi sampai impor beras dan gandum.
Jika seluruh potensi sagu bisa dimanfaatkan, Indonesia tidak akan mengalami persoalan kekurangan pangan, apalagi sampai impor beras dan gandum.
Tumpangsari
Bintoro dalam seminar ini menunjukkan pendampingan yang dilakukan timnya untuk mengembangkan budidaya sagu di lahan gambut Kepulauan Meranti. Tanpa adanya penanaman kembali, tanaman sagu di Kepulauan Meranti yang saat ini produksinya sudah tinggi, ke depannya bisa habis. Apalagi, tanaman sagu memiliki masa tumbuh hingga bisa dipanen hingga 8 – 10 tahun.
“Untuk menunggu masa panen sagu, bisa dilakukan tumpangsari dengan pertanian dan peternakan. Untuk pertanian yang sudah berhasil diujicobakan adalah kangkung, cabai, dan semangka. Selain itu, juga bisa dikembangkan ternak itik dan sapi dengan pakan ampas sagu, hasilnya sangat baik,” kata dia.
Sementara itu, peneliti Balai Besar Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Kementerian Pertanian Endang YP memaparkan rendahnya kualitas sagu di Papua karena proses pengolahannya yang kurang baik sehingga masih sulit diterima pasar lebih luas.
“Selain soal kualitas, sagu dari Papua juga sangat mahal. Harganya Rp 30.000 per kilogram sehingga masih kalah dengan terigu yang sekitar Rp 12.000 per kilogram,” kata dia. Padahal, sagu dari Meranti di Riau bisa dijual di pasaran kurang dari Rp 10.000 per kilogram.
Untuk itu, saat ini diupayakan penyediaan teknologi sederhana untuk mengolah sagu. “Kami mulai mengenalkan mesin parut sagu. Konsepnya seperti penggilingan padi di Jawa. Kami sediakan juga bak pengendapan dan juga membuat sumur komunal. Masyarakat biasanya menggunakan air rawa sehingga kualitasnya kurang baik,” kata dia.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 12 Maret 2018