Saat Sumber Pangan Tercemar

- Editor

Rabu, 12 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemerintah gencar mengampanyekan gerakan makan ikan sebagai salah satu upaya perbaikan gizi bangsa. Dengan luas lautan yang mencakup dua pertiga wilayah negara, Indonesia seharusnya tak perlu khawatir kekurangan ikan dari lautan. Belum lagi perikanan budidaya yang juga potensial.

Namun, sejumlah riset menunjukkan, lautan kita tercemar antara lain oleh sampah plastik dan logam berat. Sampah plastik ukuran nano kini menjadi ancaman lingkungan. Jadi, warga perlu lebih hati-hati mengonsumsi ikan dan olahannya.

Pengawasan sepanjang 2016 oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 1.574 sampel ikan dan olahannya di seluruh Indonesia menemukan, ada sampel mengandung logam berat di atas ambang batas maksimal. Sampel itu berupa ikan segar, ikan kalengan, bakso, abon ikan, siomay, dan terasi. Dari semua sampel, 688 jenis ialah produk olahan dalam negeri yang pengawasannya jadi tanggung jawab BPOM.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hasilnya, 7,4 persen dari produk olahan memiliki kandungan cemaran kimia melebihi batas yang ditetapkan. Dari sisa sampel di luar produk olahan didapati 12,5 persen yang kandungan cemaran kimianya di atas batas diizinkan. Jadi, total cemaran logam berat pada ikan dan hasil olahannya dari sampel yang diteliti 10 persen.

Indikator cemaran kimia untuk mengukur sampel ialah kandungan arsen, kadmium (Cd), merkuri (Hg), timah (Sn), dan timbal (Pb).

Peraturan Kepala BPOM tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan menyebut, batas maksimal kandungan merkuri dalam ikan olahan ialah 0,5 ppm (bagian per juta); ikan predator olahan 1 ppm; kerang- kerangan, moluska, dan teripang olahan 1 ppm; sedangkan udang dan krustasea lainnya 1 ppm.

Dimusnahkan
Bagi Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Pangan BPOM Tetty Sihombing, angka 10 persen itu termasuk kecil. Demi keamanan pangan, BPOM merekomendasikan produk dengan kadar logam beratnya di atas batas ditarik dari peredaran dan dimusnahkan.

Kandungan logam berat dalam produk olahan ikan yang diekspor ke Eropa pun sedikit. Pada 2017, dari semua produk yang diekspor ke Eropa, ada 15 notifikasi, tiga di antaranya ialah produk olahan ikan. Tiga notifikasi itu terkait kandungan logam berat melebihi batas maksimum yang diizinkan.

Selain itu, dari 99 penolakan produk ekspor dari Amerika Serikat, 43 di antaranya ialah produk ikan. Namun, penolakan produk ikan itu tak ada yang terkait kandungan logam berat.

Meski mengawasi produk olahan ikan laut sebelum dan sesudah produk dipasarkan, BPOM tak bisa mengawasi semua pangan. Pihak lain berwenang melakukan pengawasan, mulai dari pemerintah daerah sampai kementerian terkait.

Tantangan ke depan yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia, adalah mengintegrasikan pengawasan obat dan makanan di satu lembaga agar efektif. Pengawasan obat dan makanan tak bisa terpisah seperti di Indonesia. Pengawasan terfragmentasi tak maksimal menjamin keamanan pangan.

Co-founder Medicuss Foundation, Jossep Frederick William, menilai, pemerintah kurang peduli terhadap pencemaran lingkungan akibat logam berat yang sudah sangat gawat. Pemerintah tak punya gambaran, logam berat yang mencemari lingkungan terakumulasi secara biologis pada sumber pangan seperti ikan. Dalam jangka panjang, hal itu berbahaya bagi kesehatan masyarakat. (ADH)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Saat Sumber Pangan Tercemar”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB