Saat Korona Belokkan Imunitas Jadi Senjata Makan Tuan

- Editor

Rabu, 8 April 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Untuk menghindari kefatalan, selain mengandalkan vaksin yang sampai sekarang masih dalam proses percepatan riset, sangat penting upaya untuk menjaga dan memperkuat sistem kekebalan tubuh.

Mengapa virus korona jenis baru (novel coronavirus) ini bisa sangat mematikan?

Bagaimana virus bernama resmi Covid-19 ini menyerang tubuh, dan mengapa bisa menyebabkan korban meninggal dalam waktu sangat cepat antara 4-7 hari? Padahal, pada pasien HIV/AIDS umumnya perlu waktu bertahun-tahun menuju kefatalan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kalau HIV/AIDS ibarat perang gerilya, Covid-19 menghancurkan dalam perang kilat (blitzkrieg). Gambaran kerusakan itu bisa dilihat dari sebuah video yang disebar di medsos. Dokter Keith Mortman, Kepala Bedah Toraks RS Universitas George Washington menunjukkan permodelan 3D untuk memperlihatkan betapa cepatnya Covid-19 menyerang paru-paru.

Mulai dari tahap membanjiri alveoli dan akhirnya paru-paru berhenti berfungsi. Seluruh proses sejak pertama terinfeksi hingga paru-paru lumpuh ini hanya butuh satu minggu, bila pasien sudah tak memiliki imunitas lagi. ”Saya ingin orang melihat ini dan mengerti apa yang bisa dilakukan. Orang-orang perlu menganggap ini serius,” katanya di tayangan itu.

Covid-19 ini awalnya memang diremehkan. Karena saat tubuh positif terpapar, gejala awalnya hanya seperti flu. Disertai batuk dan sesak napas. Tapi, bisa juga tak bergejala sama sekali pada orang usia muda yang sehat dan fit. Artinya, kesehatannya membuat virus belum mempan menyerang, tapi bisa jadi kapal induk virus yang bisa menularkan.

Berbeda halnya bila virus merasuki orang yang rentan. Misal usia lanjut atau orang segala usia dengan riwayat penyakit kronis. Gejalanya itu bisa langsung nampak mencolok. Yakni, langsung drop dan harus ditolong dengan alat bantu.

Cara bekerjanya, virus yang sudah berhasil masuk ke sel-sel di daerah tenggorokan atau saluran pernapasan akan beranak pinak. Ini berlangsung secara cepat, lalu membajaknya secara dominan. Daerah tenggorokan berubah menjadi pabrik yang terus-menerus memproduksi virus korona. Tanpa henti. Jumlah virus pun makin banyak, dan terus menginfeksi lebih banyak sel tubuh.

Karena pasukan virus makin banyak dan terus menekan dan menyerang, akhirnya dapat menembus benteng pertahanan. Masuk ke saluran napas paling dalam, yaitu paru-paru. Tubuh sebenarnya mengenali virus yang masuk. Sistem pertahanan memberi isyarat ke seluruh tubuh, bahwa ada virus masuk dan harus dibasmi. Dikerahkanlah bahan kimia yang disebut sitokin (semacam protein kimiawi). Tugasnya memperkuat sistem kekebalan tubuh hingga melakukan serangan balik untuk merusak virus asing itu.

Menggempur kawan sendiri
Pada kondisi ini muncul rasa nyeri, sakit dan demam pada tubuh. Sel-sel tubuh yang diserang oleh virus ini akan teriritasi hingga menimbulkan batuk. Awalnya batuk kering. Namun bisa berlanjut hingga muncul batuk berdahak dengan lendir tebal, yang mengandung sel-sel paru-paru yang sudah mati terbunuh virus. Tahap ini berlangsung sekitar seminggu. Ketika sistem kekebalan tubuh berhasil memberantas virus, maka tubuh pulih kembali. Namun bila kalah berperang, akan jatuh ke tahap sakit yang lebih serius.

Ironisnya, kekalahan perang tubuh itu bukan karena imunitas tak bersemangat melawan Covid-19. Tapi justru karena sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan dalam menghadapi virus, seperti ngamuk tak terkendali. Sitokin yang dihasilkan secara masif ini menyebar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan peradangan masif juga atau terjadi ”badai sitokin”. Dalam kondisi ini pun masih bisa diatasi jika didukung segera dengan perawatan intensif.

Jika penyebaran sitokin terlalu berat, proses berlanjut ke peradangan berat yang akan menyebabkan kerusakan di seluruh bagian tubuh. Terutama enam organ penting: jantung, paru-paru, otak, ginjal, liver, saluran pencernaan. Prosesnya, saat virus merangsek ke saluran napas yang paling dalam (paru-paru), seluruh kantong-kantong udara berukuran kecil yang disebut alveoli akan terinfeksi. Padahal, pada gelembung-gelembung alveoli inilah oksigen bergerak mengalir ke dalam darah, dan karbon dioksida (CO2) bergerak keluar ke alam bebas.

Inilah kondisi pneumonia, yaitu kantung-kantung alveoli mulai kebanjiran cairan pekat dan mengakibatkan kesulitan bernapas. Cairan pekat ini kaya protein, sehingga sangat menarik bagi segala kuman untuk datang memangsa. Paru-paru pun makin rusak. Ditambah akibat ”badai sitokin”, pasien tak bisa bernapas (seperti tenggelam di udara). Mau tak mau pasien butuh ventilator untuk membantu bernapas. Dalam kasus HIV/AIDS, perlu waktu hingga 10 tahun sebelum pneumonia menjadi fatal. Tapi untuk Covid-19 bisa hanya dalam hitungan 4-7 hari.

Ketika organ-organ tubuh mulai gagal berfungsi, peluang sembuh makin sayup. Seluruh bagian tubuh sakit karena enam organ vital gagal sudah diliputi kuman destruktif pula. Tekanan darah turun drastis ke tingkat yang sangat berbahaya, dan organ-organ penting tadi berhenti bekerja atau gagal total. Dalam situasi ini tubuh tidak mendapatkan pasokan cukup oksigen, yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Salah satu akibatnya, ginjal gagal bekerja untuk membersihkan darah, atau rusaknya lapisan usus di saluran pencernaan hingga berdarah.

Walhasil, penyebaran sitokin yang awalnya dimaksudkan untuk menghadapi virus, akhirnya malah memicu ketidakseimbangan respons sistem kekebalan tubuh, sehingga mengakibatkan peradangan hebat. Seperti senjata makan tuan, serangan virus itu ternyata justru memicu munculnya serangan dari sitokin yang mestinya membela tubuh.

Kinerja sistem pertahanan tubuh menjadi sangat hiper reaktif bahkan tidak efisien. ”Badai sitokin” malah menggempur kawan sendiri, yakni limfosit atau sel T. Padahal kelompok sel darah putih ini tentara utama pada sistem kekebalan tubuh. Ujungnya, jumlah limfosit drop seketika. Inilah akhir periode pertahanan tubuh pasien.

Untuk menghindari kefatalan, selain mengandalkan vaksin yang sampai sekarang masih dalam proses percepatan riset, sangat penting upaya untuk menjaga dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Caranya dengan menjalani pola hidup sehat, bersih, sering cuci tangan untuk mencegah virus ini masuk ke saluran napas atau saluran yang terhubung ke pernapasan.

Wajib pula disiplin hidup sehat dan mengisolasi diri agar tidak ikut menyebarkan, dan memenuhi nutrisi serta vitamin serta tidur pulas dan cukup. Jangan mengabaikan, apalagi meremehkan. Dan, jangan lupa berdoa kepada Yang Maha Menyembuhkan. Semoga gelombang maut global oleh jasad renik ini segera berlalu.

(Djoko Santoso, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga)

Sumber: Kompas, 8 April 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB