Riset Wolbachia Dilanjutkan

- Editor

Selasa, 20 September 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hasil analisa resiko pada riset nyamuk Aedes aegypti yang diberi bakteri wolbachia untuk mengatasi demam berdarah dengue menunjukkatn, riset aman dan bisa dilanjutkan. Untuk itu, riset dilanjutkan ke fase pembuktian efektivitas teknologi demi menekan kasus penyakit itu.

”Wolbachia ada di 70 persen dari serangga-serangga yang pernah diteliti di berbagai negara. Jadi wolbachia aman,” ucap Prof Damayanti Buchori, ketua tim kajian analisis risiko yang juga pakar ekologi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, Jumat(2 9), di Jakarta. Di Tiongkok, bakteri wolbachia untuk mengendalikan hama wereng coklat dan lalat buah.

Tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogakarta, sejak 2011, riset penyebaran nyamuk A aegypti yang diberi bakteri wolbachia, dengan pendanaan Yayasan Tahija Indonesia, lewat program Eliminate Dengue Project (EDP). Jadi nyamuk A aegypti yang diberi bakteri wolbachia disebarkan agar kawin dengan A aegypti alami. Wolbachia ampuh untuk melumpuhkan virus dengue dan menekan populasi nyamuk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tim kajian analisis risiko terdiri dari 25 anggota independen, termasuk sejumlah pakar dari 4 universitas, yang dipilih Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Tim mengkaji 53 kriteria, dikelompokkan jadi 4 potensi dampak. Jika nyamuk ber-Wolbachia dilepaskan, dampak ekologi nyamuk, manajemen efikasi teknologi pada nyamuk, dan kesehatan masyarakat, bisa diabaikan. Potensi dampak sosial, ekonomi, dan budaya berisiko rendah.

Peneliti utama EDP dari FK UGM, Prof Adi Utarini, menyatakan, hasil analisis risiko itu jadi dasar tim melanjutkan riset ke fase ketiga untuk mengetahui besaran penurunan kasus DBD lewat pelepasan nyamuk ber-wolbachia di Kota Yogakarta. Fase ketiga berakhir 2019. (JOG)

Sumber: Kompas, 3 September 2016

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB