Perlu Kolaborasi agar Manfaat Penelitian Dirasakan Luas
Pemerintah belum serius mengelola budaya riset di perguruan tinggi. Pada 2015, anggaran untuk riset di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi hanya Rp 1,3 triliun untuk 989 perguruan tinggi. Sebagian besar riset hanya mendapat bantuan dana Rp 15 juta.
Di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), anggaran riset termasuk dalam bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN). Anggaran riset dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 tersebut meningkat dibandingkan dengan 2014 yang besarnya Rp 900 miliar.
Namun, dana riset untuk perguruan tinggi itu kecil dibandingkan dengan anggaran Ditjen Dikti Kemdikbud yang dalam RAPBN 2015 sebesar Rp 41,5 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
10.000 penelitian
Kepala Subdirektorat Penelitian Ditjen Dikti Desmelita mengungkapkan, alokasi anggaran sekitar 90 persen untuk membiayai kegiatan penelitian di 989 perguruan tinggi negeri dan swasta. Dalam satu tahun, Ditjen Dikti membiayai sekitar 10.000 judul penelitian dengan anggaran tersebut.
”Anggaran yang kami miliki mayoritas dialokasikan untuk membiayai penelitian sehingga kami memiliki keterbatasan dana untuk pelatihan peneliti dan publikasi jurnal ilmiah hasil penelitian tersebut,” ujar Desmelita, di Jakarta, Senin (6/10). Padahal, dua fokus utama Ditjen Dikti terkait penelitian ialah meningkatkan kapasitas dosen atau peneliti serta pengembangan riset melalui kemitraan.
Terdapat dua jalur pengajuan penelitian. Pertama, pengajuan judul yang dihimpun perguruan tinggi dari dosen dan akademisi pascasarjana. Selain itu, pengajuan penelitian melalui kompetisi nasional yang dinilai langsung oleh Ditjen Dikti.
Dengan keterbatasan dana, mayoritas penelitian di perguruan tinggi mendapat bantuan Rp 15 juta per judul penelitian. Sementara itu, hanya sekitar 900 judul penelitian, yang melalui jalur kompetisi nasional, dibiayai hingga Rp 100 juta per judul.
Perlu kolaborasi
Peran Kemdikbud melalui Ditjen Dikti, ujar Desmelita, ialah menciptakan sumber daya manusia, sedangkan produksi hasil riset untuk pengembangan masyarakat dan lingkungan butuh kolaborasi dengan lembaga pemerintah lain serta industri. ”Perguruan tinggi tidak bisa berjalan sendiri. Karena itu, untuk menciptakan produk dari hasil penelitian harus ada kerja sama dengan berbagai pihak,” tuturnya.
Dia menambahkan, guna menciptakan hasil penelitian yang bermanfaat, setiap universitas memiliki program penelitian unggulan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan di wilayah perguruan tinggi itu.
Direktur Riset dan Inovasi Institut Pertanian Bogor (IPB) Iskandar Z Siregar mengharapkan pemerintah memacu iklim penelitian dengan kebijakan investasi riset. Menurut dia, itu akan memacu akademisi menghasilkan penelitian yang tidak hanya bermanfaat di masyarakat, tetapi juga bernilai komersial tinggi.
Iskandar mengatakan, perlu ada kolaborasi antara industri, pemerintah, peneliti, dan masyarakat untuk berbagi peran memanfaatkan dan mengembangkan hasil penelitian nasional.
IPB memiliki lima agenda riset, yaitu pangan, energi, lingkungan, mengurangi kemiskinan, dan biomedis. Pangan merupakan fokus penelitian dengan porsi terbesar, yaitu 34 persen. Setiap tahun ada sekitar 500 judul penelitian yang dibiayai dengan anggaran dari BOPTN yang mencapai Rp 30 miliar.
Sementara itu, Wakil Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia Budiarso mengungkapkan, UI memiliki 10 fokus penelitian dengan beberapa bidang kajian terbesar, yaitu kebijakan publik, penelitian genetik, dan kajian ilmu sosial.
”Untuk menentukan fokus dan relevansi penelitian dengan kebutuhan masyarakat, kami melakukan analisis kebutuhan,” ujar Budiarso. UI mengalokasikan sekitar Rp 40 miliar untuk membiayai 279 penelitian selama 2014. (A07)
Sumber: Kompas, 7 Oktober 2014