Kegiatan Ekonomi Berbasis TI Dijaring
Kementerian Keuangan tengah menyiapkan regulasi yang akan menjaring pajak dari seluruh kegiatan ekonomi berbasis teknologi informasi di Indonesia. Regulasi ini akan menetapkan kategori subyek dan obyek pajak berikut tarif bagi setiap subyek dan obyek pajak itu.
“Peraturan Menteri Keuangan itu sudah ada rancangannya. Mudah-mudahan bisa keluar secepatnya,” kata Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa (29/3).
Soal subyek dan obyek pajak berikut tarifnya, Ken belum bersedia memberi gambaran. Sejauh ini, yang dapat dipastikan, akan ada dua sumber penerimaan pajak dari kegiatan ekonomi berbasis teknologi informasi (TI), yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi dan Pajak Penghasilan (PPh) badan atas keuntungan perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ken mengakui, Direktorat Jenderal Pajak belum bisa menjaring pajak dari semua perusahaan yang memiliki kegiatan ekonomi berbasis teknologi informasi, misalnya Facebook dan Google. Melalui aturan yang segera diterbitkan, potensi pajak dari perusahaan seperti ini diharapkan dapat ditangkap.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika akan membuat aturan, perusahaan asing yang kegiatan ekonominya berbasis teknologi informasi dengan pasar Indonesia harus mempunyai bentuk usaha tetap. Dengan demikian, perusahaan tersebut menjadi subyek pajak Indonesia.
“Sehingga, setiap transaksinya, PPN misalnya, bisa dikenakan. Usahanya juga harus membayar PPh badan. Hal ini supaya pelaku usaha asing punya kesetaraan dengan pelaku usaha domestik,” kata Bambang.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, selama ini pemerintah belum mampu menjaring pajak dari beragam kegiatan ekonomi berbasis teknologi informasi. Persoalan utamanya terkait regulasi.
“Sebenarnya hak dan kewajiban perpajakan perusahaan konvensional dan yang berbasis teknologi informasi sama. Yang jadi persoalan adalah implikasi dari penggunaan teknologi informasi membuat regulasi menjadi ketinggalan. Artinya, usaha ini jadi area abu-abu yang belum bisa dijaring potensi pajaknya,” tutur Prastowo.
Kesulitan
Persoalan lain, lanjut Prastowo, adalah cara memungutnya. Kesulitan pemerintah adalah karena secara fisik tidak ada kehadiran perusahaan di wilayah negara Indonesia. Dengan demikian, perusahaan bukan menjadi subyek pajak Indonesia. Selain itu, cara pembayaran yang melalui kartu kredit atau transfer melalui bank juga belum tertangkap pajak.
Memaksa perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendirikan kantor secara fisik di Indonesia pun, menurut Prastowo, tidak menjamin pajak bisa terjaring. “Buktinya, Facebook dan Google telah membuka anak perusahaan di Indonesia. Tapi, itu lebih untuk kepentingan pengurusan perizinan saja. Sementara anak perusahaan tersebut tidak memiliki penghasilan karena tidak menjalankan bisnis. Akhirnya, pajak dari mereka juga sangat minimal,” kata Prastowo.
Guna mencegah modus penghindaran pajak, Prastowo menyarankan pemerintah mendirikan layanan satu atap. Upaya ini melibatkan antara lain Badan Koordinasi Penanaman Modal, DJP, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Anti penghindaran pajak juga harus dirumuskan secara eksplisit dalam aturan yang sedang dibuat pemerintah. Praktik-praktik apa yang tidak boleh harus diatur secara jelas,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyampaikan, pihaknya menyiapkan peraturan setingkat menteri tentang aplikasi internet (over-the-top/OTT). Menurut rencana, substansi utama peraturan Menteri Kominfo tersebut mewajibkan perusahaan OTT mendirikan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Saat ini, tahapannya menuju konsultasi publik. Rudiantara berharap selama tahap uji publik itu, semua pemangku kepentingan turut berkontribusi menyumbangkan suara.
“Pemerintah tidak bisa begitu saja menerapkan peraturan. Saya menginginkan diskusi. Lagi pula, jika permenkominfo keluar, saya ingin ada masa transisi dulu,” ungkap Rudiantara.
Dia menambahkan, sambil menunggu permenkominfo terbit, akan dikeluarkan surat edaran terkait. Rudiantara menegaskan, BUT bertujuan memberi kesetaraan perlakuan perusahaan aplikasi lokal dan asing.
Sebelumnya, Ketua Umum Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama-mitra Uber di Indonesia-Agung Eko Ismawanto yang dihubungi Kompas, menyatakan, sebagai koperasi, mereka telah mengetahui kewajiban membayar pajak final sebesar 1 persen. Sejak Agustus 2015, koperasi mengurus dokumen yang diwajibkan sebagai angkutan nontrayek sewa. (LAS/MED)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2016, di halaman 19 dengan judul “Regulasi Pajak Disiapkan”.