Rainer Weiss, Kip S Thorne, dan Barry C Barish, Kisah Para Pemburu Riak Ruang-Waktu

- Editor

Jumat, 6 Oktober 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Saat mengungkap keberadaan gelombang gravitasi pertama kali pada 1915, Albert Einstein tak percaya gelombang itu bisa dideteksi oleh manusia. Pun sang genius ini tak percaya adanya lubang hitam yang bisa memicu gelombang tersebut. Satu abad kemudian terbukti semua keraguan itu pupus.

Adalah tim ilmuwan yang tergabung dalam proyek riset Observatorium Gelombang Gravitasi dengan Interferometer Laser (LIGO) yang berhasil mendeteksi pertama kali gelombang gravitasi itu pada 14 September 2015. Kolaborasi riset yang melibatkan lebih dari 1.000 peneliti dari 18 negara itu menangkap riak kecil ruang-waktu alam semesta yang dipicu oleh tumbukan dua lubang hitam 1,3 miliar tahun silam.

Sejak temuan pertama itu hingga hari ini, LIGO yang bekerja sama dengan observatorium serupa di Eropa bernama Virgo telah mendeteksi tiga gelombang gravitasi lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Andai Einstein masih hidup, dia pasti akan sangat gembira, tetapi juga akan tercengang keheranan karena dia tidak percaya akan lubang hitam (yang bisa menyebabkan gelombang gravitasi ini),” kata Rainer Weiss (85), satu dari tiga ilmuwan AS perintis LIGO yang diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel Fisika 2017, Selasa (3/10).

Weiss akan membawa pulang separuh dari total hadiah sebesar 9 juta krona Swedia (Rp 14,9 miliar). Sementara separuhnya lagi akan dibagi rata kepada dua astrofisikawan lain, yakni Kip S Thorne (77) dan Barry C Barish (81).

Prestasi ini diraih bukan tanpa susah payah. LIGO baru mendapatkan hasil pertamanya setelah beroperasi lebih dari 20 tahun. Upaya menuju pembuatan detektor itu telah dirintis Weiss dan Thorne sejak puluhan tahun sebelumnya.

Weiss muda pernah mengenyam kuliah di Institut Teknologi Massachusetts (MIT), tetapi keluar di tahun-tahun awal. Bingung karena menganggur, ia akhirnya mendaftar jadi teknisi elektronik di sebuah laboratorium di MIT. Di sana ia belajar menyolder rangkaian dan bergaul dengan banyak ilmuwan.

Dia memutuskan melanjutkan kuliahnya dan meraih gelar sarjana sampai doktor di MIT. Dia juga menjadi profesor di sana.

Hasratnya mendeteksi gelombang gravitasi muncul pada akhir 1960-an, saat ia masih mengajar mata kuliah Teori Relativitas Umum.

Waktu itu, dunia astrofisika tengah dihebohkan klaim seorang ilmuwan bernama Joe Weber yang mengaku berhasil mendeteksi gelombang gravitasi dengan metode antena “tiga batang”-nya.

Klaim itu tak terbukti, tetapi memicu Weiss memikirkan metode lain untuk mendeteksinya.

Weiss memilih mengidentifikasi dan mengumpulkan berbagai kendala yang mungkin dihadapi saat seseorang ingin mengukur gelombang gravitasi. Sampai akhirnya ia memilih metode interferometer laser sebagai salah satu peluang untuk mendeteksi gelombang ini.

Thorne dan Barish
Secara terpisah, Kip S Thorne, seorang fisikawan teori di Institut Teknologi California (Caltech), juga tengah merintis detektor serupa bersama seorang ilmuwan Skotlandia, Ronald Drever.

Saat diwawancarai Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia, Thorne mengatakan, hasratnya waktu itu tidak sekadar didorong keyakinannya akan eksistensi gelombang gravitasi. “Saat saya mulai mendalami ini, teknologi sudah berubah (dibandingkan era Einstein). Sudah ada laser dan superkomputer. Pemahaman kita akan sumber-sumber gelombang gravitasi mungkin juga sudah berubah,” tuturnya.

Namun, dengan teknologi dekade 1970-an waktu itu, alat yang mereka cita-citakan tak kunjung bisa diwujudkan.

Pada 1984, Thorne bertemu Weiss dan sepakat membangun LIGO di Caltech dengan dukungan pendanaan dari Yayasan Sains Nasional AS (NSF). Namun, hingga 1994, detektor yang mereka bangun saat itu sama sekali tak memberi hasil.

Pada 1994, Barish bergabung dalam LIGO sebagai salah satu peneliti utama. Tiga tahun berikutnya, ia ditunjuk menjadi Direktur LIGO.

Di bawah Barish, LIGO mendapatkan dana tambahan dari NSF untuk membangun dua interferometer raksasa di Hanford, Negara Bagian Washington, dan di Livingston, Louisiana. Dia juga yang mengubah LIGO dari penelitian yang hanya melibatkan 40 orang menjadi proyek kolaborasi internasional dengan lebih dari 1.000 peneliti.

Baik Weiss, Thorne, maupun Barish sama-sama menyatakan bahwa penghargaan ini seharusnya diberikan kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pengembangan LIGO. “Kita kini hidup di zaman ketika temuan ilmiah merupakan hasil kolaborasi raksasa dengan kontribusi utama berasal dari sangat banyak orang,” ujar Thorne.(AP/AFP/NOBELPRIZE.ORG)

DAHONO FITRIANTO

Sumber: Kompas, 6 Oktober 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB