Indonesia memiliki ekosistem rawa gambut tropis terluas di dunia. Namun, lahan penyimpan air tawar ini rusak akibat alih fungsi dan kebakaran. Tiga tahun terakhir, pemulihan dilakukan menyeluruh.
Indonesia menawarkan diri sebagai pusat gambut tropis dunia. Pengalaman Indonesia selama bertahun- tahun mengatasi kebakaran serta melakukan restorasi dan memberikan perlindungan gambut menjadi andalan.
Tawaran ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar saat diskusi di sela-sela COP-23 Bonn yang digelar Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), 15 November 2017. ”Ini sedang kami bahas konsepnya,” kata Agus Justianto, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (8/1), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tawaran jadi pusat gambut tropis ini juga menanggapi sambutan dunia internasional yang mengapresiasi kinerja Indonesia dalam perlindungan, pengelolaan, dan restorasi gambut yang terbakar. Selain membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) setelah kasus kebakaran tahun 2015, Indonesia memperkuat regulasi gambut lewat peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Warga mengabadikan proyek penutupan kanal primer bekas Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (15/6/2017). Kanal itu ditutup setelah 20 tahun beroperasi. Penutupan dilakukan untuk memulihkan kembali lahan gambut.
Menurut KLHK, upaya itu berkontribusi menurunkan titik api. Pada 2015-2017, jumlah titik api turun signifikan dari 21.929 titik jadi 2.581 titik (Satelit NOAA). Begitu pula data satelit Terra/Aqua (NASA) dengan tingkat kepercayaan di atas 80 persen, penurunan dari 70.971 titik menjadi 2.440 titik tahun 2017.
Tak hanya regulasi di atas kertas, peraturan itu diterapkan di lapangan. Sepanjang 2015-2017, pengawasan dilakukan pada 262 izin dan 88 perusahaan. Langkah ini menjadi kisah sukses untuk Indonesia tampilkan dalam pusat gambut tropis.
Sepanjang 2015-2017, pengawasan dilakukan pada 262 izin dan 88 perusahaan. Langkah ini menjadi kisah sukses untuk Indonesia tampilkan dalam pusat gambut tropis.
Kolaborasi
Menurut rencana, pengelolaan pusat ini berada di bawah KLHK dan berkolaborasi dengan BRG. Ini mengingat BRG sedang menggarap restorasi di 7 provinsi seluas 2 juta hektar hingga 2019.
Selain itu, BRG bersama Pemerintah Provinsi Riau pernah mendeklarasikan Riau sebagai laboratorium internasional gambut tropis di Kabupaten Meranti (Kompas, 1 Juni 2016). ”Nanti itu (laboratorium) akan nge-link (ke pusat penelitian ekosistem gambut tropis),” ujarnya.
Ia mengatakan, beberapa lokasi yang diusulkan antara lain berada di Sumatera Selatan. Di Sumsel, lokasinya berada di Sepucuk. Di lokasi ini, gambut yang terbakar pada 2012 dipulihkan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang. Usulan-usulan itu akan terus berkembang menyesuaikan keunggulan lokasi dan dukungan dari pemerintah daerah.
Kepala BRG Nazir Foead, saat ditemui terpisah sebelumnya, membenarkan rencana pembentukan pusat gambut ini. Pihaknya sedang menggarap konsep dan kelembagaannya. Namun, laboratorium lapangan berada di Riau atau Jambi dan pusat pengetahuan dan metodologi berada di Bogor, Jawa Barat.
”Fungsi (pusat gambut) untuk mendokumentasikan dan berbagi informasi. Saling belajar dari seluruh dunia. Orang ingin tahu tentang gambut dan riset-riset seperti apa. Jika mau ke lapangan, lebih bagus lagi,” katanya.
Terkait Malaysia yang juga memiliki pusat serupa bernama Institut Penyelidikan Tanah Gambut Tropika di Sarawak, Nazir menilai itu tak menjadi soal. Sebab, Indonesia memiliki gambut tropis 18,9 juta hektar atau terluas di dunia. Selain itu, Indonesia memiliki banyak riset dan pengalaman mengelola gambut.
Potensi ekonomi
Indonesia juga sedang membuka potensi ekonomi dari rawa gambut yang tetap dijaga kelembaban dan kebasahannya. Potensi itu antara lain berupa kayu-kayuan asli rawa gambut sebagai pengganti akasia hingga potensi kopi gambut (liberica), madu hutan, karet, dan nanas.
Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG Haris Gunawan mengatakan, ketertarikan internasional terhadap pengalaman Indonesia mengelola gambut dimulai sejak beberapa tahun lalu bersama Komunitas Gambut Internasional (IPS). Kemudian, IPS bersama BRG menggelar pertemuan yang menghasilkan Deklarasi Jakarta.
”Poin pertama membangun gambut tropis,” ujarnya. Usulan itu disambut baik oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar. (ICH)
Sumber: Kompas, 9 Januari 2018