Jauh sebelum penutur Austronesia membawa budaya bercocok tanam, Masyarakat Punan telah mempraktikkan tradisi berburu dan meramu, warisan dari leluhur mereka. Seiring menyusutnya hutan, budaya itu kini makin menghilang.
–Para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Ristek tengah mengumpulkan data genetik dan profil kesehatan masyarakat di pedalaman Punan Tubu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Sabtu (7/2). Pemeriksaan ini merupakan bagian dari pemetaan asal-usul dan kesehatan manusia Indonesia.
Masyarakat Punan di Kalimantan ternyata memiliki identitas genetik yang berbeda dengan masyarakat Dayak. Analisis berbasis data DNA dan bahasa juga menunjukkan, tradisi hidup berpindah-pindah untuk berburu dan meramu yang masih dipraktikkan sebagian Punan merupakan warisan leluhur mereka jauh sebelum kedatangan penutur Austronesia ke Nusantara yang membawa budaya bercocok tanam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Penelitian kami menunjukkan, Punan bukan hanya identitas etnik sebagaimana banyak dibahas secara antropologis sebelumnya, namun juga bisa dibedakan secara genetik berdasarkan riwayat pembauran DNA leluhur mereka,” kata Pradiptajati Kusuma, peneliti genetik populasi dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi, di Malinau, Kalimantan Utara, Minggu (8/3/2020).
Pradipta dan tim Eijkman selama sepekan terakhir mengumpulkan data-data genetik tentang Punan Tubu di pedalaman Kalimantan Utara. Pengambilan sampel dilakukan bersama peneliti dari Complexity Science Hub Vienna, Swiss, J. Stephen Lansing.
Kepala Laboratorium Genetika Populasi Lembaga Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, pengambilan sampel kali ini dilakukan guna melengkapi data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya tentang orang-orang Punan. Ini merupakan bagian dari upaya pemetaan genetika manusia Indonesia yang telah dilakukan sejak 20 tahun terakhir.
“Pemetaan DNA manusia Indonesia ini penting untuk membangun dasar saintifik mengenai asal-usul kita. Selain itu data ini juga untuk kepentingan kesehatan dan penyakit, yang saat ini sudah mengarah pada pengobatan presisi, yaitu pengobatan berbasiskan spesifikasi genetiknya. Tanpa data dasar DNA manusia Indonesia yang beragam ini, pengobatan presisi akan sulit dilakukan,” kata dia.
Sejauh ini Lembaga Eijkman telah mengumpulkan 7.000 sampel genetik dari 110 etnis di Indonesia. Sejak tiga tahun terakhir mereka mengambil sampel genetik masyarakat Punan Aput di Long Sule dan Punan Tubu yang sudah dipindahkan di Respen di Kota Malinau serta Punan Batu di Kabupaten Bulungan dan Basap di Kalimantan Timur. Sebagai perbandingan, mereka juga mengumpulkan data-data genetik masyarakat Dayak yang memiliki budaya bercocok tanam, seperti Lundayeh dan Kenyah.
–Para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan tim harus menyusuri sungai selama sembilan jam dari Kota Malinau ke Kuala Rian, Desa Rian Tubu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Rabu (4/2).
Berburu dan Meramu
Pradiptajati mengatakan, analisis genetik telah dilakukan terhadap Punan Aput, Batu, dan Tubu Respen yang saat ini hidup berpisah dan memiliki variasi perbedaan bahasa serta budaya. “Mereka dulunya memiliki nenek moyang yang sama, yang berbeda dengan nenek moyang Lundayeh dan Kenyah,” kata dia.
Orang Punan, memiliki leluhur dari Asia Daratan (Mainland Asia) seperti orang Aslian di Malaysia, yang kalau dirunut juga berbagi leluhur dengan orang Andaman. Komposisi Asia Daratan ini juga terdapat pada populasi Dayak Kenyah dan Lundayeh.
Namun, Punan mendapatkan tambahan bauran genetik dari leluhur pra-Austronesia dari Asia Timur. Sedangkan Kenyah dan Lundayeh, mendapatkan bauran genetik dari Kankanaey atau Igorot-Filipina yang menjadi salah satu penciri penutur Austronesia. “Berbeda dengan Dayak, Punan tidak memiliki bauran genetik Austronesia,” kata Pradiptajati.
Tiadanya DNA Austronesia ini, membuat orang Punan tetap mengembangkan budaya hidup berpindah-pindah sebagai pemburu dan peramu di hutan-hutan Kalimantan. Mereka tidak terpapar dengan budaya bercocok tanam yang dibawa oleh penutur Austronesia, yang mendominasi sebagian besar komposisi penduduk di Indonesia bagian tengah dan barat.
“Dari data-data genetik ini kita bisa melihat bahwa tradisi berburu dan meramu orang Punan ini sudah sangat tua dan tidak ada tanda mereka pernah menjadi petani sebelunya. Kemungkinan mereka adalah kelompok pemburu dan peramu awal di Nusantara yang masih bertahan karena luasnya hutan Kalimantan di masa lalu,” kata Pradipta.
Sensus yang dilakukan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) pada tahun 2003-2004 menemukan adanya 8.956 orang Punan di Kalimantan Timur, yang waktu itu belum mekar menjadi Kalimantan Utara. Dalam laporan survei itu disebutkan, survei saat itu mencangkup 90 persen populasi Punan di Kalimanan Timur, kecuali kelompok yang terisolasi di hutan yang diduga masih ada, yaitu Punan Batu dan Basap.
Pada tahun 2018, Kompas mengikuti survei Tim Eijkman, yang menemukan keberadaan Punan Batu yang masih hidup berpindah-pindah di goa-goa karst dan hutan di hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulugan, Kalimantan Utara. Setidaknya 80 penduduk Punan Batu telah didata dan diambil genetiknya oleh tim Eijkman, sekalipun sebagian besar belum memiliki identitas kependudukan. Bahkan, Punan Batu juga belum masuk dalam daftar Komunitas Ada Terpencil (KAT) yang dibuat Kementerian Sosial.
Namun demikian, seiring terus menyusutnya luasan hutan dan berkurangnya daya dukung hutan Kalimantan, budaya berburu dan meramu orang Punan pun semakin menghilang. Fenomena ini terutama terjadi sejak awal 1970-an, ketika esktraksi hutan Kalimantan mulai dilakukan secara masif oleh Orde Baru.
Sebagian komunitas Punan terpaksa beralih menjadi petani, sekalipun masih ada sebagian kecil yang bertahan hidup berpindah-pindah sebagai pemburu dan peramu seperti Punan Batu. Perubahan pola hidup secara tiba-tiba ini membuat banyak orang Punan kesulitan beradaptasi. Sedangkan yang masih mempertahankan budaya berburu dan meramu seperti Punan Batu terancam karena hutan yang menyempit.
Oleh AHMAD ARIF
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 10 Maret 2020